Bias
Hati
Oleh: Dian
Novianti
“Anak
baru yah?”
“Kalo
anak baru emangnya knapa, mo dipalak?”
“Duuh,
kok pake bahasa Betawi siiih? Mentang-mentang dari Jakarta? Ini Medan, Dik!
Bukan Jakarta,” laki-laki itu nyengir. Mending cakep, omel Gea. Gea diam,
meneruskan langkahnya menuju kantor guru.
“Perlu
bantuan gak?” Laki-laki itu menghalang langkahnya.
“No, thanks!” Gea mencoba tersenyum. Biar
laki-laki itu tau, dia punya senyum yang cukup manis.
“Okelah,
Dik. Kalo gitu Abang tinggal dulu, kalo ada apa-apa, panggil Abang aja yah?”
Laki-laki itu akhirnya pergi juga.
Abang,
abang…emangnya abang becak, Gea terus melaju menemui Bu Karin, wali kelasnya yang baru.
“Ooh,
namanya Fey, Ge. Dia mantan ketua OSIS di sini,” jelas
Sana teman sekelasnya yang juga teman baru satu kompleks di perumahan dinas sebuah instansi pemerintah.
“Mantan ketua OSIS? Gak salah, Na?
Kalian gak salah pilih?’ Gea tertawa ngakak.
“Gayanya tengil amat sih, kayak preman di terminal aja,” sungut Gea.
Sana
tersenyum. Mereka berjalan santai melewati taman kompleks, kebetulan letak
sekolah mereka tidak jauh dari kompleks perumahan mereka, sehingga mereka bisa
pulang dengan berjalan kaki.
“Biar
gitu fansnya lumayan banyak lho, Ge. Yah, dia rada playboy juga sih, gak bisa liat cewek cakep, pasti diembat,” jelas
Sana.
“Apa
playboy? Gak salah tuh, Na? Di
Jakarta model gitu sih gak bakalan laku, waaah mata cewek di sekolah ini pada rabun-rabun kali, Na?
Coba deh pada diperiksain ke dokter mata,” Sana tertawa. Dia senang berteman dengan
Gea, walau dia anak pejabat tinggi di kantor ayahnya, tapi sikap Gea low profile, tidak pernah memperlihatkan
kalo dia anak pejabat. Walau mereka baru seminggu berteman, namun rasanya
mereka sudah berteman lama.
“Oya,
Ge…jangan lupa Senin besok kita ada tes untuk mengikuti Lomba Olimpiade
Matematika, untuk mewakili sekolah kita. Nama kamu kan termasuk yang ikut tes
kan?”
“Termasuk
kamu juga kan, Na? Kalo besok kamu gak ada acara weekend, mendingan kita belajar di rumahku, yuuk!” Ajak Gea.
“Weekend mo
kemana sih? Paling di rumah aja, Ge. Tapi kebetulan besok
Fey juga mo ke rumah, Ge. Dia mo ngembaliin buku catatan kimiaku,” info Sana.
“Kalo besok aku ajak Fey, boleh gak?” Sana menatapnya penuh harap.
“Kalian
berteman akrab yah, Na?” Tanya Gea hati-hati.
“Dia
sepupuku, Ge…”
“Sepupumu? Aduuuh,
Na…Sori yah, aku udah nyela sepupumu, abis…” Gea kehilangan kata-kata. Sana
tersenyum lagi. “Udah ga papa kok. Dia emang anaknya gitu. Tapi sebetulnya dia
anak baik kok…dan pinter, Ge. Dia juara umum dari kelas satu sampai naik kelas
tiga kemarin. Dia bisa ngajarin kita belajar,” jelas Sana lagi.
Gea terdiam. Pertama
dia jadi tidak enak hati dengan Sana karena sudah mencela sepupunya dan kedua,
ternyata ada beberapa kelebihan yang dimiliki laki-laki itu.
“Kalian berteman aja
dulu, mudah-mudahan kalian cocok,” kata Sana sebelum menghilang di tikungan
jalan. Rumah Sana dua blok dari rumah Gea yang terletak di depan perumahan.
Sebagai pimpinan, ayah Gea mendapatkan rumah di depan kompleks.
Jam sepuluh on time, Sana menepati janjinya untuk
berkunjung ke rumah Gea. Di tidak sendirian, dia mengajak Fey. Laki-laki itu
terlihat rapi dengan celana jins dan kemeja biru kotak-kotak. Sedangkan Gea
cuek bebek dengan celana jins pendek dan kaos ketat
Mickey Mouse berwarna merah.
“Ge, celananya gak
diganti? Bisa keenakan tuh Fey, “ bisik Sana ketika ikut masuk ke dapur untuk membantu Gea membuatkan
minuman.
Tubuh Gea mungil dengan
kulit putih bersih tentu saja menarik perhatian Fey. Sana tidak mau sepupunya
jatuh hati pada Gea. Bisa merusak pertemanannya dengan Gea.
“Oooh, ya lupa gue kalo
dia mata keranjang…eh, sori lho San!” Gea menuju kamarnya untuk berganti celana
dengan celana Capri selutut. Sana hanya tersenyum sambil membawa minumannya.
“Fey, aku minta kamu
jangan macem-macem dengan Gea. Aku suka berteman dengan dia, jangan rusak pertemananku
dengan Gea,” ancam Sana ketika menyodorkan segelas sirup markisa untuk Fey.
“Duuh, nyantai aja napa
sih, San? Dia juga gak cakep-cakep amat kok. Aku cuma seneng aja ngegodain dia kok.”
“Belajar
kita sekarang,” ajak Gea semangat. Tadinya dia meremehkan kemampuan Fey, namun
sampai soal kesekian, Gea selalu kalah
dalam waktu pengerjaannya. Dia harus mengakui keunggulan Fey.
“Wah,
gimana nih anak Jakarta masak kalah ama anak Medan?” ledek Fey. Gea hanya
tersenyum saja. Dia menyadari bahwa tidak boleh menilai seseorang dari kulitnya
saja. Ibarat hape, jangan dilihat dari chasingnya
aja, kata Gea dalam hati.
“Karena
aku kalah, aku telaktir bakso deh,” Gea membereskan buku-bukunya. “Bakso yang
enak dimana, San?” Tanya Gea.
“Waduh,
tanya Fey tuh. Dia kan paling sering ngajak pacarnya ngebakso, Ge. Biasa, nyari
yang mur-mer, murah meriah,” ledek Sana.
Pacar?
Waduh, berarti Fey udah punya pacar dong? Kalo udah punya juga, ngapain gue
pikirin sih? Tapi kenapa gue jadi gak rela yah? Pikir Gea.
“Wah,
gimana sih, cowok kere dong,” ledek Gea. Yang diledek hanya senyum-senyum aja.
Tidak sengaja Gea melihat senyum itu. Entah mengapa hati Gea jadi gak
karu-karuan seperti itu. Duuuh, gue kenapa sih? Tanpa sengaja Gea membanting
bantal mungil yang tengah dipeluknya.
“Knapa,
Ge? Udah laper? Bentar lagi yah, aku lagi nyalin jawaban soal yang terakhir.
Mumpung abangku sedang berbaik hati mengajariku, Ge. Soalnya dia suka gak ada
waktu buat ngajarin aku, Ge. Maklum fans
yang minta nerangin pelajaran ke dia bejibun,” Sana masih asyik mencatat.
Fey
melirik Gea dengan senyum pongah. Yang dilirik pura-pura tidak melihat. Dia
pura-pura asyik melihat tulisan Sana yang rapih.
“Kita
makan dimana, Bang?” tanya Sana setelah memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.
“Bakso di
Jalan Sakti Lubis juga enak, biasa aku ajak cewekku ke sana,” jawab Fey ketika
mereka tengah menunggu Sudako, angkutan umum di kota Medan.
“Cewek
yang mana, Bang?” Ledek Sana. Yang diledek hanya mesem-mesem aja seraya melirik
wajah manis Gea. Gea melengos, pura-pura memandang jalan raya yang lenggang di
Minggu siang ini.
Bakso di
Jalan Sakti Lubis terlihat dipadati oleh pengunjung. Untunglah mereka masih
kebagian tempat di pojok, sehingga membuat mereka leluasa mengobrol. Di Medan,
makan bakso harus disertai dengan sate kerang dan es kelapa muda atau jus
terung belanda yang segar.
“Sate
kerangnya enak,” Gea menikmati makanannya. “Baksonya juga lumayan, gak kalah
sama Jakarta,” puji Gea tulus.
“Makanya,
Dik kalau mo wisata kuliner ajak aja Abang yah? Nanti Abang tunjukin masakan
Medan yang enak-enak. Pancake durian,
bolu gulung Meranti, Soto medan, lontong sayur, mie kocok,” pandangan Fey
selalu fokus ke wajah cantik Gea.
“Apaan
sih, Bang? Segitu lengkapnya, emang dikasih tips berapa ama tukang jualannya?”
Ledek Sana dengan tatapan tidak suka ke Fey.
Sana
merasa Fey sudah jatuh hati dengan Gea. Aku
harus bicara dengan Fey, dengan gusar Sana meneguk jusnya.
“Pokoknya
aku gak mo kau jatuh hati pada Gea, Fey. Dia temenku, aku menyukainya sebagai
sahabat. Aku gak pingin gara-gara kau, persahabatanku dengan Gea akan
terganggu,” omel Sana ketika mereka sudah sampai di teras rumah Sana.
“Aduh,
San...nyantai aja sih. Kayak gak kenal aku aja kau. Aku kan hanya menyukai
barang baru, setelah bosan baru melirik yang lain,” Fey tertawa pongah.
“Awas, kena batunya kau, Fey...!” hardik Sana kesal. Tapi
seperti biasa Fey hanya cengar-cengir saja menanggapinya.
“Kenalkan
namaku, A Hin,” seorang cowok datang mengganggu kesibukannya membaca. Gea
mengangkat wajahnya. Seorang laki-laki berkulit putih bersih, dengan mata yang
hanya segaris, tersenyum ramah. Wajahnya mirip seorang bintang Korea.
“Hai, aku
Gea.”
“Yah, aku
tau. Kamu Gea Ananta, anak baru pindahan dari Jakarta. Aku pengurus mading
sekolah, kalo kamu tertarik, kamu bisa bergabung menjadi pengurus mading. Kata
Sana kamu suka menulis yah?”
Gea
mengangguk dengan antusias.
“Oke,
nanti pulang sekolah aku tunggu di ruang mading yah, see you,” A Hin pergi meninggalkan ruang perpustakaan.
Siangnya di
ruang Mading, Gea dikenalkan dengan pengurus mading lainnya. Ada Aji, Wawan,
Nitra dan Sheila. Mereka ramah-ramah dan berbakat dalam berbagai bidang. A
Hin dan Wawan suka desain, Aji
menggambar ilustrasi, Nitra puisi, Sheila artikel umum dan Gea didaulat untuk
mengisi kolom cerpen. Tentu saja Gea senang. Itu dunianya!
“Gea, gimana kalo pulangnya kita jalan-jalan
dulu ke toko buku?” ajak A Hin. Gea terdiam. Mereka baru saja akrab, pantas
tidak yah kalo mereka sudah jalan bareng? pikir Gea sedikit bingung.
“Kita
naik bis aja, nanti aku tunggu di halte depan yah, “ A Hin sudah pergi
meninggalkannya. Di halte A Hin sudah menunggunya. Dia mencegat sebuah bis yang
lewat, dia menunggu Gea masuk duluan. Ketika Gea akan duduk di bangku belakang,
dia melihat sebuah motor lewat. Pengemudinya membuka kaca helmnya. Fey!
Di sebuah
toko buku mereka asyik membahas sebuah novel. Ternyata A Hin juga suka membaca
novel. Gea senang dia menemukan teman yang sehobi.
“Hin, aku
lihat majalah-majalah dulu yah?” Gea beranjak ke sebuah rak berisi deretan
majalah edisi terbaru. A Hin pamit untuk melihat koleksi komik terbaru.
Langkahnya
terhalang oleh seorang laki-laki berseragam abu-abu.
“Gak
nyangka ternyata kau bisa diajak ama siapa aja?” Fey tersenyum sinis. “Apa-apaan
sih,” Gea mendorong tubuh jangkung itu. “Kami hanya ke toko buku, kenapa
pikiranmu sudah kotor begitu?” Gea menantang mata elang itu. Fey membuang
tatapannya. Dia pergi begitu saja.
“Ada apa,
Ge? Tadi kayaknya aku melihat Fey?” tanya A Hin. “Kemana dia?” A Hin pergi
mencarinya.
“Dia
sudah pergi,” lapor A Hin.
“Knapa
sih, kayaknya kamu takut ama dia?” tanya Gea.
“Bukan
gitu, Ge, aku gak enak aja, nanti disangkanya aku lagi deketin kamu,” A Hin
tersenyum menggodanya. Gea hanya senyum-senyum saja. A Hin lalu mengajaknya
makan siang di sebuah resto fast food. Dia memesan 2 paket ayam garing. Ketika
Gea akan membayarnya, seseorang datang membayarnya. Lagi-lagi Fey!
“Sori,
aku bayar skalian, kebetulan lagi dapat rejeki,” Fey memesan menu yang sama.
Bertiga mereka makan di pojok resto.
“Tadi aku
cariin, kamu udah gak ada,” A Hin menyedot minumannya.
“Hehe,
sori aku buru-buru keluar, ada yang ngusir aku duluan,” Fey meliriknya. “Siapa,
satpam?” A Hin tersenyum.
“Iya,
satpam galak tapi cantik ,” Fey
tersenyum juga.
“Waah,
rejeki kau, Fey. Bisa ketemu satpam cantik,” A Hin belum ‘ngeh’ juga. Mereka
asyik ngobrol. Walau obrolan mereka didominasi oleh A Hin dan Fey.
“Oya,
kemana motormu?” tanya Fey.
“Lho,
kamu tau aku ke sini gak naik motor?” A Hin balik bertanya heran. Fey pura-pura
tidak mendengar. Karena melihat A Hin dan Gea naik bis, maka dia bela-belain
membututinya.
“Trims,
Fey. Kenyang banget nih. Kita pulang aja yah, udah sore nih. Gea, nanti aku
antar kamu pulang,” A Hin berdiri mengambil tas ranselnya.
“Kamu kan
gak bawa motor, Hin. Gak keberatan kan kalo aku yang antar?” Fey melirik Gea.
“Lho, kok
nanya aku sih? Tanya Gea tuh, dia mau gak diantar ama kau, Fey?”
“Aku
pulang sendiri aja deh, ntar biar sopirku aja yang jemput ke sini. A Hin kamu
bisa pulang dengan Fey.”
“Oke, no problem. Ayuk, Hin...” mereka pergi
meninggalkan Gea.
“Rupa-rupanya
kau naksir anak baru itu?” tanya A Hin ketika sampe di rumahnya. Rumah yang
cukup sederhana, ayahnya memiliki sebuah warung nasi sederhana di depan gang
rumahnya. “Mau ngopi dulu?” tawar A Hin.
“Bolehlah,
tapi aku sholat Azhar dulu, aku boleh aku numpang sholat di kamarmu?”
“Oke,
knapa gak? Aku slalu sedia sajadah dan sarung, barangkali ada temen muslim yang
mo sholat. Ke sana arah kiblatnya,” dengan fasih A Hin menunjukkan arahnya. Fey
mengangguk seraya tersenyum berterima kasih.
“Sejak
pertama aku melihat gadis itu. Aku merasa dia gadis yang baik. Tidak sombong
walau dia anak seorang pejabat. Ayahnya seorang kepala dinas di sebuah
instansi. Sana cerita kalo Gea suka nulis. Dia pernah baca kumpulan cerpen
Gea,” A Hin meneruskannya obrolannya ketika Fey sudah selesai sholat.
“Trus,
kau menawarinya untuk menjadi pengurus mading supaya kau bisa pedekate dengan
gadis itu,” tuduh Fey seraya menyeruput kopi hitam panas yang disajikan A Hin.
“Kau
keberatan, Fey?” A Hin menatap sahabatnya lekat-lekat untuk mencari kejujuran
di mata elang itu.
“Ahh, kau
kayak gak tau aku aja. Setiap ada barang baru, aku slalu meliriknya. Tapi
begitu kulihat tak semenarik pada awalnya, pergilah aku...” Fey tertawa
terbahak-bahak. Tapi di mata A Hin, tawa itu palsu. Ada sesuatu di hati Fey.
Selama tiga tahun mereka bersahabat, Fey tidak pernah memandang seorang gadis
berjam-jam. Tadi ketika mereka makan di sebuah resto fast food, Fey tidak pernah
melepaskan sedikit pun pandangan dari Gea. Ini yang menarik bagi A Hin.
“Jadi kau
tidak keberatan kalo aku naksir Gea?” gantian A Hin yang meneguk kopi hitam
dari cangkirnya.
“Di klub
karate, kau suhu aku, Hin. Mana mungkin aku berani menentang suhuku sendiri,”
Fey tergelak lagi. A Hin tersenyum. “Oke, mulai besok aku akan mencoba
berakrab-akrab ria dengan anak baru itu. Aku akan telaktir kau, kalo aku
berhasil menundukkan hatinya!”
“Oke,
good luck,” Fey mengangkat cangkirnya mengajak tos. A Hin menyambutnya.
*****
Tidak
sulit bagi A Hin untuk mendekati Gea. Sejak Gea menjadi pengurus mading di
Smansa Medan, hampir setiap hari mereka bertemu. Sebaliknya, perlahan Fey
menjauh dari Gea. Dia menepati janjinya.
“San, aku
mau ikutan bimbingan belajar. Kamu bisa bantu aku mencarikan bimbel yang bagus
gak?” tanya Gea ketika mereka pulang sekolah bareng.
Sana
menyebutkan salah satu nama bimbel yang sudah diikutinya. “Belajarnya seminggu
tiga kali, Gea. Kalo kamu mau, kita sekelas aja. Jadi kita bisa berangkat-pulang
bareng,” info Sana dengan nada ceria.
“Oke,
kalo gitu nanti sore antar aku ke sana yah, San?”
“Oke,
oke...nanti sore aku ke rumahmu.”
Dengan
diantar sopir kantor, Sana mengantar Gea mendaftar belajar di sebuah bimbel
yang cukup ngetop di Medan. Setelah urusan admin selesai, Gea tertarik untuk
memasuki sebuah kelas kimia, kebetulan besok dia mendapatkan pelajaran kimia.
Ada beberapa materi yang kurang dia pahami.
“Gea, aku
harus ke rumah opungku dulu, kamu pulang sendiri gak pa-pa?” tanya Sana ketika
Gea mengajaknya masuk ke kelas kimia.
“Gak
pa-pa kok, San. Makasih yah, kamu udah nemenin aku ke sini,” Gea bergegas masuk
ke kelas itu. Kebetulan pelajaran kimia sudah mulai setengah jam yang lalu.
Buru-buru Gea duduk di sebuah bangku yang masih kosong.
Ketika
section diskusi berlangsung, mereka membahas beberapa soal. Gea memberi
tanggapan atas uraian jawaban yang diterangkan seorang tentor, namanya Pas Bas.
‘Maaf Pak
Bas, bukannya jawabannya seperti ini,” Gea mengangkat tangannya. Pak Bas
Tersenyum. “Kau yakin uraianku salah...?”
“Uraian
Pak Bas betul, Pak. Jawaban gadis itu yang ngawur,” seseorang menyanggah
pendapatnya. Gea menoleh dengan tatapan tidak suka. Ugh, taunya Fey, bintang di
sekolahnya yang sok pintar itu!
“Oke,
karena waktunya sudah habis, Bapak cukupkan sampe di sini. Jangan lupa, ulangi
lagi membahas soal-soal ini di rumah, salam!”
Gea
bergegas meninggalkan kelas kimia. Sudah jam setengah enam sore. Sebentar lagi
Maghrib. Gea mencoba menghubungi Mas Tono, sopir kantor ayahnya. Tapi hapenya
tidak aktif. Ugh, tadi dia menyesal tidak menanyakan ke Sana, jurusan bis atau
sudako yang bisa lewat ke rumahnya dari lokasi bimbel ini.
Dia
menunggu di halte bis depan bimbelnya. Tadinya dia akan menanyakan ke seseorang
yang lewat di halte ini. Tapi sepi, tak ada seorang pun. Bahkan bis atau
sudako. Atau karena sudah terlalu sore kah? Pikir Gea bingung.
“Jam
segini tidak ada lagi angkutan umum yang lewat. Kalo mau naik taxi, kau harus
berjalan ke jalan raya, kurang lebih 200 meter,” seseorang memberikan info. Gea
menoleh, mencari sumber suara. Fey lagi Fey lagi!
“Oke,
thanks!” Gea berjalan menuju jalan raya. Sebuah motor membututinya dari
belakang. “Ini daerah sepi, Ge. Aku tidak ingin terjadi apa-apa pada temen
sekolahku,” Fey membuka helmnya.
“Oke,
mudah-mudahan ada taxi yang lewat,” harap Gea. Tapi taxi yang melewati mereka
selalu terisi oleh penumpang.
“Sudah,
aku antar kau pulang. Sebentar lagi Maghrib,” dengan tidak sabar Fey menarik
tangan Gea. Gea nurut, karena dia juga tidak enak dengan Fey. Dalam perjalanan
mereka hanya diam membisu. Perjalanan memakan waktu hampir setengah jam. Begitu
sampai di rumah Gea, Fey segera pamit.
“Fey,
trima kasih,” Gea mencoba memberikan senyum termanisnya. Fey hanya mengangguk
saja. Gea melepas kepergian Fey dengan perasaan tak menentu.
*****
Gea
mengosongkan jadwalnya untuk mengikuti kelas kimia. Dia berharap bertemu dengan
Fey. Tapi dia kecewa, ternyata Fey memindahkan jadwal bimbelnya ke hari lain.
Sana seperti merasakan kekecewaan Gea.
“Gea, aku
yang meminta Fey supaya dia mejauh darimu. Aku tidak ingin kau jadi ‘korban’
berikutnya,” ujar Sana ketika mereka pulang dari bimbel dengan motor bebek
Sana.
“Korban? Yang ada dia kali
korban gue,” balas Gea gokil. Sana tersenyum-senyum dari kaca spion motornya.
“Siiiip, biar dia
ngerasain namanya sakit hati ya, Ge?”
Gea tertawa
terbahak-bahak. Walau dia merasa tawa itu hanya kamuflase. Hanya untuk menutupi
perasaannya yang sebenarnya.
“Oya, Ge, bagaimana kalo
kita kerjain Fey? Kamu pura-pura aja terima cinta A Hin, supaya bikin Fey
cembokur...”
“A Hin?
Emang sih, dia baik banget ama gue, tapi masak iya A Hin naksir gue, San?” Sana
tidak menjawab hanya senyum-senyum lagi dari kaca spion motornya.
“Emang
betul elo naksir gue, Hin?” tanya Gea blak-blakan ketika mereka makan siang di
kantin usai mengerjakan tugas mereka di mading.
“Hehehe,
sebetulnya gue cuma pengen ngerjain sahabat gue aja, Ge. Fey! Biar dia tau
bagaimana rasanya sakit hati,” A Hin tersenyum lebar seraya menikmati mie
ayamnya.
“Maksud
elo apa sih, Hin?” Gea meneguk es jeruknya gusar.
“Emang
loe gak ngerasa, Ge, kalo Fey udah jatuh hati ama elo sejak elo sekolah di
sini? Selama ini dia udah bikin banyak
gadis patah hati, Ge.”
“Waah,
hebat dong!” tanpa sadar Gea tersenyum seraya menyantap gado-gadonya. Termasuk
gue kali, sambungnya dalam hati.
“Ssst,
anaknya datang, Ge. Panjang umur dia,” A Hin melambaikan tanganya, menyuruh Fey
mendekat ke meja mereka.
“Belum
pulang, Fey?” sapa A Hin menyodorkan bangku kosong di sebelahnya.
“Belum,
aku lagi nunggu cewekku, dia masih sibuk dengan kerjaannya,” Fey mengambil
sebotol teh botol dingin dari kulkas mini kantin.
“Cewek
yang mana lagi, Fey? Sapa korban kau berikutnya?” Ledek A Hin dengan tawa
berderai.
“Ada
deeeh,” Fey hanya tersenyum penuh misteri seraya melirik Gea. Gea melanjutkan
menyantap makanannya sampai habis. Dia harus menyelesaikan tulisannya karena
besok mading sudah harus terbit. Dia meninggalkan kedua cowok itu di kantin.
Setelah
tugasnya selesai, Gea mengunci pintu ruang mading. A Hin sudah pulang dari
tadi. Harusnya tadi dia meminta Sana menunggunya. Kebetulan hari ini kelas Sana
mendapatkan jadwal pemadatan pelajaran dan kelasnya sudah bubar setengah jam
yang lalu.
Di tempat
parkir, tak sengaja Gea melihat Fey sedang menunggu seseorang. Gea terus
melangkah, menuju pintu gerbang. Tiba-tiba seseorang menarik tangannya.
“Aku
menunggumu dari tadi, Gea!”
Gea mengangkat
wajah cantiknya. Fey! “Lho, tidak ada yang menyuruh kamu menungguku kan?
Kupikir kau menunggu gadis lain, ‘korban’mu selanjutnya,” sindir Gea sambil
terus melangkah.
“Emang
kau tidak mau jadi ‘korban’ku selanjutnya?” Fey cengar-cengir.
“Ugh,
sapa yang sudi!”
“Gea, aku
serius...Aku antar kamu pulang, yuuk...! Aku janji akan membahagiakanmu
selamanya. Aku udah janji dengan suhuku, tidak akan mempermainkan cintamu.
Suhuku bernama A Hin. Dia yang mati-matian membelamu. Katanya kau juga
mencintaiku...”
“Cinta...?
Sapa yang cinta, GR loe!”
“Jadi
betul kau tidak cinta aku, Ge?” Fey menatapnya penuh harap. Dari mata elang
itu, Gea melihat ada ribuan bintang pengharapan. Haruskah dia membiarkan
bintang-bintang itu memudar cahayanya. Sementara dia merasakan rasa yang sama.
“Janji
kau tidak akan mempermainkannya?” Tanya Gea sungguh-sungguh.
“Janji, Bu!” Fey mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Gea
hanya tersipu-sipu dengan ulah Fey. Wajahnya merona, makin terlihat cantik di
mata Fey.
.