Jumat, 04 Juli 2014

Menata Ulang Mimpi



Kita pernah mengukir mimpi-mimpi di atas bentangan pasir putih. Mimpi tentang buruh tani, tukang becak, kuli, rakyat kecil...Dulu, katamu kau ingin menjadi dokter, agar bisa mengobati mereka secara gratis.
Ketika kau tanya, mimpiku apa...aku hanya terdiam. Aku tidak punya mimpi setinggi dirimu, aku hanya ingin merangkai kata-kata, kata-kata yang bermakna, yang dapat bermanfaat untuk orang banyak.
Mimpi yang sederhana, katamu...Sesederhana bagaimana menghargai perbedaan, cinta kasih sesama manusia, toleransi,..Sederhana bagaimana menghargai & mensyukuri hidup...
Mungkin, untuk saat ini mimpimu telah terwujud, namun apakah kau sudah melaksanakan baktimu buat negara, buat rakyat kecil...?
Mungkin hanya kau yang tahu jawabannya, sementara bumi semakin hiruk-pikuk untuk sebuah jabatan, pencitraan, untuk sebuah egois. Mungkin aku terlalu naif dalam dunia yang semakin gemerlap, sementara kau semakin tinggi meraih mimpimu..apakah duniamu juga gemerlap oleh kekuasaan? Semoga kau masih menyimpan mimpi-mimpi mulia itu.
Terdiam dalam kesunyian, menata ulang mimpi-mimpi itu..

Pagi Baru



Pagi basah oleh gerimis semalam. Rinai hujan membasahi daun-daun membentuk sekumpulan embun. Angin mendesau menerbangkan kelopak-kelopak bunga, membuat suasana pagi semakin suram. Anak dara menangis semalam. Meratapi kepergian sang arjuna. Haruskah pagi diawali dengan kesedihan?
Sementara masih ada hari esok, yang bermandikan pelangi, beratapkan awan-awan bening? Masih ada mentari yang akan menebarkan kehangatannya untuk bumi. Lalu mengapa harus kau tangisi cintamu yang telah hilang.
Mari, kejar sisa pagi dengan keceriaanmu, dengan semangat yang mungkin masih ada. Jangan biarkan kesuraman membuat duniamu tak berwarna.
Masih ada ribuan pagi, pagi yang akan indah untukmu...

Andaikan

Andaikan hidup bisa kita ciptakan sendiri, mungkin akan diisi dengan bunga aneka rupa, pelangi warna-warni, kembang gula aneka rasa dan seindah drama korea kesukaan kita.
Namun sayang, kita sudah satu paket dengan kehidupan kita. Yang isinya tak dapat kita gores sendiri.
Sehingga kita menjalani kehidupan kita sendiri-sendiri. Dalam jalan yang berbeda, dalam alur yang berliku.
Laksana burung yang beterbangan kesana kemari, kau sudah terbang tinggi...sementara aku masih terpaku memandang langit biru yang tak berawan...
Jika bisa, ingin kuminta ambilkan bintang kecil itu untukku, namun bayanganmu sudah menjauh....terbang menembus langit biru.
Aku hanya terdiam, hanya dapat memandang kilasan bayanganmu nun jauh di sana...

Rabu, 02 Juli 2014

My Cerpen - Bias Hati


Bias Hati
Oleh: Dian Novianti

            “Anak baru yah?”
            “Kalo anak baru emangnya knapa, mo dipalak?”
            “Duuh, kok pake bahasa Betawi siiih? Mentang-mentang dari Jakarta? Ini Medan, Dik! Bukan Jakarta,” laki-laki itu nyengir. Mending cakep, omel Gea. Gea diam, meneruskan langkahnya menuju kantor guru.
            “Perlu bantuan gak?” Laki-laki itu menghalang langkahnya.
            “No, thanks!” Gea mencoba tersenyum. Biar laki-laki itu tau, dia punya senyum yang cukup manis.
            “Okelah, Dik. Kalo gitu Abang tinggal dulu, kalo ada apa-apa, panggil Abang aja yah?” Laki-laki itu akhirnya pergi juga.
            Abang, abang…emangnya abang becak, Gea terus melaju menemui Bu Karin, wali kelasnya yang baru.
            “Ooh, namanya Fey, Ge. Dia mantan ketua OSIS di sini,” jelas Sana teman sekelasnya yang juga teman baru satu kompleks di perumahan dinas sebuah instansi pemerintah.
            “Mantan ketua OSIS? Gak salah, Na? Kalian gak salah pilih?’ Gea tertawa ngakak. “Gayanya tengil amat sih, kayak preman di terminal aja,” sungut Gea.
            Sana tersenyum. Mereka berjalan santai melewati taman kompleks, kebetulan letak sekolah mereka tidak jauh dari kompleks perumahan mereka, sehingga mereka bisa pulang dengan berjalan kaki.
            “Biar gitu fansnya lumayan banyak lho, Ge. Yah, dia rada playboy juga sih, gak bisa liat cewek cakep, pasti diembat,” jelas Sana.
            “Apa playboy? Gak salah tuh, Na? Di Jakarta model gitu sih gak bakalan laku, waaah mata cewek di sekolah ini pada rabun-rabun kali, Na? Coba deh pada diperiksain ke dokter mata,” Sana tertawa. Dia senang berteman dengan Gea, walau dia anak pejabat tinggi di kantor ayahnya, tapi sikap Gea low profile, tidak pernah memperlihatkan kalo dia anak pejabat. Walau mereka baru seminggu berteman, namun rasanya mereka sudah berteman lama. 
            “Oya, Ge…jangan lupa Senin besok kita ada tes untuk mengikuti Lomba Olimpiade Matematika, untuk mewakili sekolah kita. Nama kamu kan termasuk yang ikut tes kan?”
            “Termasuk kamu juga kan, Na? Kalo besok kamu gak ada acara weekend, mendingan kita belajar di rumahku, yuuk!” Ajak Gea.
            “Weekend mo kemana sih? Paling di rumah aja, Ge. Tapi kebetulan besok Fey juga mo ke rumah, Ge. Dia mo ngembaliin buku catatan kimiaku,” info Sana. “Kalo besok aku ajak Fey, boleh gak?” Sana menatapnya penuh harap.
            “Kalian berteman akrab yah, Na?” Tanya Gea hati-hati.
            “Dia sepupuku, Ge…”
“Sepupumu? Aduuuh, Na…Sori yah, aku udah nyela sepupumu, abis…” Gea kehilangan kata-kata. Sana tersenyum lagi. “Udah ga papa kok. Dia emang anaknya gitu. Tapi sebetulnya dia anak baik kok…dan pinter, Ge. Dia juara umum dari kelas satu sampai naik kelas tiga kemarin. Dia bisa ngajarin kita belajar,” jelas Sana lagi.
Gea terdiam. Pertama dia jadi tidak enak hati dengan Sana karena sudah mencela sepupunya dan kedua, ternyata ada beberapa kelebihan yang dimiliki laki-laki itu.
“Kalian berteman aja dulu, mudah-mudahan kalian cocok,” kata Sana sebelum menghilang di tikungan jalan. Rumah Sana dua blok dari rumah Gea yang terletak di depan perumahan. Sebagai pimpinan, ayah Gea mendapatkan rumah di depan kompleks.
Jam sepuluh on time, Sana menepati janjinya untuk berkunjung ke rumah Gea. Di tidak sendirian, dia mengajak Fey. Laki-laki itu terlihat rapi dengan celana jins dan kemeja biru kotak-kotak. Sedangkan Gea cuek bebek dengan celana jins pendek dan kaos ketat Mickey Mouse  berwarna merah.
“Ge, celananya gak diganti? Bisa keenakan tuh Fey, “ bisik Sana ketika ikut masuk ke dapur untuk membantu Gea membuatkan minuman.
Tubuh Gea mungil dengan kulit putih bersih tentu saja menarik perhatian Fey. Sana tidak mau sepupunya jatuh hati pada Gea. Bisa merusak pertemanannya dengan Gea.
“Oooh, ya lupa gue kalo dia mata keranjang…eh, sori lho San!” Gea menuju kamarnya untuk berganti celana dengan celana Capri selutut. Sana hanya tersenyum sambil membawa minumannya.
“Fey, aku minta kamu jangan macem-macem dengan Gea. Aku suka berteman dengan dia, jangan rusak pertemananku dengan Gea,” ancam Sana ketika menyodorkan segelas sirup markisa untuk Fey.
“Duuh, nyantai aja napa sih, San? Dia juga gak cakep-cakep amat kok. Aku cuma seneng aja ngegodain dia kok.”
“Belajar kita sekarang,” ajak Gea semangat. Tadinya dia meremehkan kemampuan Fey, namun sampai soal  kesekian, Gea selalu kalah dalam waktu pengerjaannya. Dia harus mengakui keunggulan Fey.
“Wah, gimana nih anak Jakarta masak kalah ama anak Medan?” ledek Fey. Gea hanya tersenyum saja. Dia menyadari bahwa tidak boleh menilai seseorang dari kulitnya saja. Ibarat hape, jangan dilihat dari chasingnya aja, kata Gea dalam hati.
“Karena aku kalah, aku telaktir bakso deh,” Gea membereskan buku-bukunya. “Bakso yang enak dimana, San?” Tanya Gea.
“Waduh, tanya Fey tuh. Dia kan paling sering ngajak pacarnya ngebakso, Ge. Biasa, nyari yang mur-mer, murah meriah,” ledek Sana.
Pacar? Waduh, berarti Fey udah punya pacar dong? Kalo udah punya juga, ngapain gue pikirin sih? Tapi kenapa gue jadi gak rela yah? Pikir Gea.
“Wah, gimana sih, cowok kere dong,” ledek Gea. Yang diledek hanya senyum-senyum aja. Tidak sengaja Gea melihat senyum itu. Entah mengapa hati Gea jadi gak karu-karuan seperti itu. Duuuh, gue kenapa sih? Tanpa sengaja Gea membanting bantal mungil yang tengah dipeluknya.
“Knapa, Ge? Udah laper? Bentar lagi yah, aku lagi nyalin jawaban soal yang terakhir. Mumpung abangku sedang berbaik hati mengajariku, Ge. Soalnya dia suka gak ada waktu buat ngajarin aku, Ge. Maklum fans yang minta nerangin pelajaran ke dia bejibun,” Sana masih asyik mencatat.
Fey melirik Gea dengan senyum pongah. Yang dilirik pura-pura tidak melihat. Dia pura-pura asyik melihat tulisan Sana yang rapih.
“Kita makan dimana, Bang?” tanya Sana setelah memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.
“Bakso di Jalan Sakti Lubis juga enak, biasa aku ajak cewekku ke sana,” jawab Fey ketika mereka tengah menunggu Sudako, angkutan umum di kota Medan.
“Cewek yang mana, Bang?” Ledek Sana. Yang diledek hanya mesem-mesem aja seraya melirik wajah manis Gea. Gea melengos, pura-pura memandang jalan raya yang lenggang di Minggu siang ini.
Bakso di Jalan Sakti Lubis terlihat dipadati oleh pengunjung. Untunglah mereka masih kebagian tempat di pojok, sehingga membuat mereka leluasa mengobrol. Di Medan, makan bakso harus disertai dengan sate kerang dan es kelapa muda atau jus terung belanda yang segar.
“Sate kerangnya enak,” Gea menikmati makanannya. “Baksonya juga lumayan, gak kalah sama Jakarta,” puji Gea tulus.
“Makanya, Dik kalau mo wisata kuliner ajak aja Abang yah? Nanti Abang tunjukin masakan Medan yang enak-enak. Pancake durian, bolu gulung Meranti, Soto medan, lontong sayur, mie kocok,” pandangan Fey selalu fokus ke wajah  cantik Gea.
“Apaan sih, Bang? Segitu lengkapnya, emang dikasih tips berapa ama tukang jualannya?” Ledek Sana dengan tatapan tidak suka ke Fey.
Sana merasa Fey sudah jatuh hati dengan Gea. Aku harus bicara dengan Fey, dengan gusar Sana meneguk jusnya.
“Pokoknya aku gak mo kau jatuh hati pada Gea, Fey. Dia temenku, aku menyukainya sebagai sahabat. Aku gak pingin gara-gara kau, persahabatanku dengan Gea akan terganggu,” omel Sana ketika mereka sudah sampai di teras rumah Sana.
“Aduh, San...nyantai aja sih. Kayak gak kenal aku aja kau. Aku kan hanya menyukai barang baru, setelah bosan baru melirik yang lain,” Fey tertawa pongah.
“Awas, kena batunya kau, Fey...!” hardik Sana kesal. Tapi seperti biasa Fey hanya cengar-cengir saja menanggapinya.

“Kenalkan namaku, A Hin,” seorang cowok datang mengganggu kesibukannya membaca. Gea mengangkat wajahnya. Seorang laki-laki berkulit putih bersih, dengan mata yang hanya segaris, tersenyum ramah. Wajahnya mirip seorang bintang Korea.
“Hai, aku Gea.”
“Yah, aku tau. Kamu Gea Ananta, anak baru pindahan dari Jakarta. Aku pengurus mading sekolah, kalo kamu tertarik, kamu bisa bergabung menjadi pengurus mading. Kata Sana kamu suka menulis yah?”
Gea mengangguk dengan antusias.
“Oke, nanti pulang sekolah aku tunggu di ruang mading yah, see you,” A Hin pergi meninggalkan ruang perpustakaan.
Siangnya di ruang Mading, Gea dikenalkan dengan pengurus mading lainnya. Ada Aji, Wawan, Nitra dan Sheila. Mereka ramah-ramah dan berbakat dalam berbagai bidang. A Hin  dan Wawan suka desain, Aji menggambar ilustrasi, Nitra puisi, Sheila artikel umum dan Gea didaulat untuk mengisi kolom cerpen. Tentu saja Gea senang. Itu dunianya!
 “Gea, gimana kalo pulangnya kita jalan-jalan dulu ke toko buku?” ajak A Hin. Gea terdiam. Mereka baru saja akrab, pantas tidak yah kalo mereka sudah jalan bareng? pikir Gea sedikit bingung.
“Kita naik bis aja, nanti aku tunggu di halte depan yah, “ A Hin sudah pergi meninggalkannya. Di halte A Hin sudah menunggunya. Dia mencegat sebuah bis yang lewat, dia menunggu Gea masuk duluan. Ketika Gea akan duduk di bangku belakang, dia melihat sebuah motor lewat. Pengemudinya membuka kaca helmnya. Fey!
Di sebuah toko buku mereka asyik membahas sebuah novel. Ternyata A Hin juga suka membaca novel. Gea senang dia menemukan teman yang sehobi.
“Hin, aku lihat majalah-majalah dulu yah?” Gea beranjak ke sebuah rak berisi deretan majalah edisi terbaru. A Hin pamit untuk melihat koleksi komik terbaru.
Langkahnya terhalang oleh seorang laki-laki berseragam abu-abu.
“Gak nyangka ternyata kau bisa diajak ama siapa aja?” Fey tersenyum sinis. “Apa-apaan sih,” Gea mendorong tubuh jangkung itu. “Kami hanya ke toko buku, kenapa pikiranmu sudah kotor begitu?” Gea menantang mata elang itu. Fey membuang tatapannya. Dia pergi begitu saja.
“Ada apa, Ge? Tadi kayaknya aku melihat Fey?” tanya A Hin. “Kemana dia?” A Hin pergi mencarinya.
“Dia sudah pergi,” lapor A Hin.
“Knapa sih, kayaknya kamu takut ama dia?” tanya Gea.
“Bukan gitu, Ge, aku gak enak aja, nanti disangkanya aku lagi deketin kamu,” A Hin tersenyum menggodanya. Gea hanya senyum-senyum saja. A Hin lalu mengajaknya makan siang di sebuah resto fast food. Dia memesan 2 paket ayam garing. Ketika Gea akan membayarnya, seseorang datang membayarnya. Lagi-lagi Fey!
“Sori, aku bayar skalian, kebetulan lagi dapat rejeki,” Fey memesan menu yang sama. Bertiga mereka makan di pojok resto.
“Tadi aku cariin, kamu udah gak ada,” A Hin menyedot minumannya.
“Hehe, sori aku buru-buru keluar, ada yang ngusir aku duluan,” Fey meliriknya. “Siapa, satpam?” A Hin tersenyum.
“Iya, satpam galak tapi cantik        ,” Fey tersenyum juga.
“Waah, rejeki kau, Fey. Bisa ketemu satpam cantik,” A Hin belum ‘ngeh’ juga. Mereka asyik ngobrol. Walau obrolan mereka didominasi oleh A Hin dan Fey.
“Oya, kemana motormu?” tanya Fey.
“Lho, kamu tau aku ke sini gak naik motor?” A Hin balik bertanya heran. Fey pura-pura tidak mendengar. Karena melihat A Hin dan Gea naik bis, maka dia bela-belain membututinya.
“Trims, Fey. Kenyang banget nih. Kita pulang aja yah, udah sore nih. Gea, nanti aku antar kamu pulang,” A Hin berdiri mengambil tas ranselnya.
“Kamu kan gak bawa motor, Hin. Gak keberatan kan kalo aku yang antar?” Fey melirik Gea.
“Lho, kok nanya aku sih? Tanya Gea tuh, dia mau gak diantar ama kau, Fey?”
“Aku pulang sendiri aja deh, ntar biar sopirku aja yang jemput ke sini. A Hin kamu bisa pulang dengan Fey.”
“Oke, no problem. Ayuk, Hin...” mereka pergi meninggalkan Gea.
“Rupa-rupanya kau naksir anak baru itu?” tanya A Hin ketika sampe di rumahnya. Rumah yang cukup sederhana, ayahnya memiliki sebuah warung nasi sederhana di depan gang rumahnya. “Mau ngopi dulu?” tawar A Hin.
“Bolehlah, tapi aku sholat Azhar dulu, aku boleh aku numpang sholat di kamarmu?”
“Oke, knapa gak? Aku slalu sedia sajadah dan sarung, barangkali ada temen muslim yang mo sholat. Ke sana arah kiblatnya,” dengan fasih A Hin menunjukkan arahnya. Fey mengangguk seraya tersenyum berterima kasih.
“Sejak pertama aku melihat gadis itu. Aku merasa dia gadis yang baik. Tidak sombong walau dia anak seorang pejabat. Ayahnya seorang kepala dinas di sebuah instansi. Sana cerita kalo Gea suka nulis. Dia pernah baca kumpulan cerpen Gea,” A Hin meneruskannya obrolannya ketika Fey sudah selesai sholat.
“Trus, kau menawarinya untuk menjadi pengurus mading supaya kau bisa pedekate dengan gadis itu,” tuduh Fey seraya menyeruput kopi hitam panas yang disajikan A Hin.
“Kau keberatan, Fey?” A Hin menatap sahabatnya lekat-lekat untuk mencari kejujuran di mata elang itu.
“Ahh, kau kayak gak tau aku aja. Setiap ada barang baru, aku slalu meliriknya. Tapi begitu kulihat tak semenarik pada awalnya, pergilah aku...” Fey tertawa terbahak-bahak. Tapi di mata A Hin, tawa itu palsu. Ada sesuatu di hati Fey. Selama tiga tahun mereka bersahabat, Fey tidak pernah memandang seorang gadis berjam-jam. Tadi ketika mereka makan di sebuah resto fast food, Fey tidak pernah melepaskan sedikit pun pandangan dari Gea. Ini yang menarik bagi A Hin.
“Jadi kau tidak keberatan kalo aku naksir Gea?” gantian A Hin yang meneguk kopi hitam dari cangkirnya.
“Di klub karate, kau suhu aku, Hin. Mana mungkin aku berani menentang suhuku sendiri,” Fey tergelak lagi. A Hin tersenyum. “Oke, mulai besok aku akan mencoba berakrab-akrab ria dengan anak baru itu. Aku akan telaktir kau, kalo aku berhasil menundukkan hatinya!”
“Oke, good luck,” Fey mengangkat cangkirnya mengajak tos. A Hin menyambutnya.
*****
Tidak sulit bagi A Hin untuk mendekati Gea. Sejak Gea menjadi pengurus mading di Smansa Medan, hampir setiap hari mereka bertemu. Sebaliknya, perlahan Fey menjauh dari Gea. Dia menepati janjinya.
“San, aku mau ikutan bimbingan belajar. Kamu bisa bantu aku mencarikan bimbel yang bagus gak?” tanya Gea ketika mereka pulang sekolah bareng.
Sana menyebutkan salah satu nama bimbel yang sudah diikutinya. “Belajarnya seminggu tiga kali, Gea. Kalo kamu mau, kita sekelas aja. Jadi kita bisa berangkat-pulang bareng,” info Sana dengan nada ceria.
“Oke, kalo gitu nanti sore antar aku ke sana yah, San?”
“Oke, oke...nanti sore aku ke rumahmu.”
Dengan diantar sopir kantor, Sana mengantar Gea mendaftar belajar di sebuah bimbel yang cukup ngetop di Medan. Setelah urusan admin selesai, Gea tertarik untuk memasuki sebuah kelas kimia, kebetulan besok dia mendapatkan pelajaran kimia. Ada beberapa materi yang kurang dia pahami.
“Gea, aku harus ke rumah opungku dulu, kamu pulang sendiri gak pa-pa?” tanya Sana ketika Gea mengajaknya masuk ke kelas kimia.
“Gak pa-pa kok, San. Makasih yah, kamu udah nemenin aku ke sini,” Gea bergegas masuk ke kelas itu. Kebetulan pelajaran kimia sudah mulai setengah jam yang lalu. Buru-buru Gea duduk di sebuah bangku yang masih kosong.
Ketika section diskusi berlangsung, mereka membahas beberapa soal. Gea memberi tanggapan atas uraian jawaban yang diterangkan seorang tentor, namanya Pas Bas.
‘Maaf Pak Bas, bukannya jawabannya seperti ini,” Gea mengangkat tangannya. Pak Bas Tersenyum. “Kau yakin uraianku salah...?”
“Uraian Pak Bas betul, Pak. Jawaban gadis itu yang ngawur,” seseorang menyanggah pendapatnya. Gea menoleh dengan tatapan tidak suka. Ugh, taunya Fey, bintang di sekolahnya yang sok pintar itu!
“Oke, karena waktunya sudah habis, Bapak cukupkan sampe di sini. Jangan lupa, ulangi lagi membahas soal-soal ini di rumah, salam!”
Gea bergegas meninggalkan kelas kimia. Sudah jam setengah enam sore. Sebentar lagi Maghrib. Gea mencoba menghubungi Mas Tono, sopir kantor ayahnya. Tapi hapenya tidak aktif. Ugh, tadi dia menyesal tidak menanyakan ke Sana, jurusan bis atau sudako yang bisa lewat ke rumahnya dari lokasi bimbel ini.
Dia menunggu di halte bis depan bimbelnya. Tadinya dia akan menanyakan ke seseorang yang lewat di halte ini. Tapi sepi, tak ada seorang pun. Bahkan bis atau sudako. Atau karena sudah terlalu sore kah? Pikir Gea bingung.
“Jam segini tidak ada lagi angkutan umum yang lewat. Kalo mau naik taxi, kau harus berjalan ke jalan raya, kurang lebih 200 meter,” seseorang memberikan info. Gea menoleh, mencari sumber suara. Fey lagi Fey lagi!
“Oke, thanks!” Gea berjalan menuju jalan raya. Sebuah motor membututinya dari belakang. “Ini daerah sepi, Ge. Aku tidak ingin terjadi apa-apa pada temen sekolahku,” Fey membuka helmnya.
“Oke, mudah-mudahan ada taxi yang lewat,” harap Gea. Tapi taxi yang melewati mereka selalu terisi oleh penumpang.
“Sudah, aku antar kau pulang. Sebentar lagi Maghrib,” dengan tidak sabar Fey menarik tangan Gea. Gea nurut, karena dia juga tidak enak dengan Fey. Dalam perjalanan mereka hanya diam membisu. Perjalanan memakan waktu hampir setengah jam. Begitu sampai di rumah Gea, Fey segera pamit.
“Fey, trima kasih,” Gea mencoba memberikan senyum termanisnya. Fey hanya mengangguk saja. Gea melepas kepergian Fey dengan perasaan tak menentu.
*****
Gea mengosongkan jadwalnya untuk mengikuti kelas kimia. Dia berharap bertemu dengan Fey. Tapi dia kecewa, ternyata Fey memindahkan jadwal bimbelnya ke hari lain. Sana seperti merasakan kekecewaan Gea.
“Gea, aku yang meminta Fey supaya dia mejauh darimu. Aku tidak ingin kau jadi ‘korban’ berikutnya,” ujar Sana ketika mereka pulang dari bimbel dengan motor bebek Sana.
“Korban? Yang ada dia kali korban gue,” balas Gea gokil. Sana tersenyum-senyum dari kaca spion motornya.
“Siiiip, biar dia ngerasain namanya sakit hati ya, Ge?”
Gea tertawa terbahak-bahak. Walau dia merasa tawa itu hanya kamuflase. Hanya untuk menutupi perasaannya yang sebenarnya.
“Oya, Ge, bagaimana kalo kita kerjain Fey? Kamu pura-pura aja terima cinta A Hin, supaya bikin Fey cembokur...”
“A Hin? Emang sih, dia baik banget ama gue, tapi masak iya A Hin naksir gue, San?” Sana tidak menjawab hanya senyum-senyum lagi dari kaca spion motornya.

“Emang betul elo naksir gue, Hin?” tanya Gea blak-blakan ketika mereka makan siang di kantin usai mengerjakan tugas mereka di mading.
“Hehehe, sebetulnya gue cuma pengen ngerjain sahabat gue aja, Ge. Fey! Biar dia tau bagaimana rasanya sakit hati,” A Hin tersenyum lebar seraya menikmati mie ayamnya.
“Maksud elo apa sih, Hin?” Gea meneguk es jeruknya gusar.
“Emang loe gak ngerasa, Ge, kalo Fey udah jatuh hati ama elo sejak elo sekolah di sini? Selama ini dia udah bikin  banyak gadis patah hati, Ge.”
“Waah, hebat dong!” tanpa sadar Gea tersenyum seraya menyantap gado-gadonya. Termasuk gue kali, sambungnya dalam hati.
“Ssst, anaknya datang, Ge. Panjang umur dia,” A Hin melambaikan tanganya, menyuruh Fey mendekat ke meja mereka.
“Belum pulang, Fey?” sapa A Hin menyodorkan bangku kosong di sebelahnya.
“Belum, aku lagi nunggu cewekku, dia masih sibuk dengan kerjaannya,” Fey mengambil sebotol teh botol dingin dari kulkas mini kantin.
“Cewek yang mana lagi, Fey? Sapa korban kau berikutnya?” Ledek A Hin dengan tawa berderai.
“Ada deeeh,” Fey hanya tersenyum penuh misteri seraya melirik Gea. Gea melanjutkan menyantap makanannya sampai habis. Dia harus menyelesaikan tulisannya karena besok mading sudah harus terbit. Dia meninggalkan kedua cowok itu di kantin.
Setelah tugasnya selesai, Gea mengunci pintu ruang mading. A Hin sudah pulang dari tadi. Harusnya tadi dia meminta Sana menunggunya. Kebetulan hari ini kelas Sana mendapatkan jadwal pemadatan pelajaran dan kelasnya sudah bubar setengah jam yang lalu.
Di tempat parkir, tak sengaja Gea melihat Fey sedang menunggu seseorang. Gea terus melangkah, menuju pintu gerbang. Tiba-tiba seseorang menarik tangannya.
“Aku menunggumu dari tadi, Gea!”
Gea mengangkat wajah cantiknya. Fey! “Lho, tidak ada yang menyuruh kamu menungguku kan? Kupikir kau menunggu gadis lain, ‘korban’mu selanjutnya,” sindir Gea sambil terus melangkah.
“Emang kau tidak mau jadi ‘korban’ku selanjutnya?” Fey cengar-cengir.
“Ugh, sapa yang sudi!”        
“Gea, aku serius...Aku antar kamu pulang, yuuk...! Aku janji akan membahagiakanmu selamanya. Aku udah janji dengan suhuku, tidak akan mempermainkan cintamu. Suhuku bernama A Hin. Dia yang mati-matian membelamu. Katanya kau juga mencintaiku...”
“Cinta...? Sapa yang cinta, GR loe!”
“Jadi betul kau tidak cinta aku, Ge?” Fey menatapnya penuh harap. Dari mata elang itu, Gea melihat ada ribuan bintang pengharapan. Haruskah dia membiarkan bintang-bintang itu memudar cahayanya. Sementara dia merasakan rasa yang sama.
“Janji kau tidak akan mempermainkannya?” Tanya Gea sungguh-sungguh.
“Janji, Bu!” Fey mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Gea hanya tersipu-sipu dengan ulah Fey. Wajahnya merona, makin terlihat cantik di mata Fey.



.

Selasa, 01 Juli 2014

Kebahagiaan & Kesedihan



Ketika kau bahagia, rasakan juga bagaimana kesedihan itu ada?
Ketika kau tertawa, rasakan juga bagaimana tangisan itu hadir?
Ketika kau sehat, rasakan juga bagaimana tiba-tiba sakit muncul?
Ketika kau merasa lebih, rasakan juga bagaimana kemiskinan itu datang?
Hidup bagai jet coaster, kadang kita di atas, terkadang kita di bawah.
Dia  terus berputar, tanpa henti...

rasakan ayunannya, rasakan goncangannya
haruskah terdiam atau mengikuti iramanya?