Rabu, 24 September 2014

BIAS HATI



Fey selalu datang ke kliniknya sekitar jam tujuh pagi. Terkadang lewat sedikit, terkadang sebelum jam tujuh. Dia membuka pintu ruang kliniknya. Ruang kliniknya selalu rapi dan wangi. Tidak terlihat seperti ruang praktek dokter pada umumnya.
        Fey, laki-laki tampan berumur 35 tahun, bekerja sebagai seorang psikiater di klinik tersebut. Ruang prakteknya selalu terbuka tepat jam delapan sampai menjelang makan siang. Setelah itu, dia harus bergegas menuju sebuah rumah sakit umum sampai hari menjelang senja.
        Pasiennya datang dari berbagai kalangan, dari kalangan atas sampai menengah ke bawah. Dari berbagai profesi. Eksekutif muda, manajer, pejabat, terkadang artis pemula, ibu rumah tangga, semuanya mengemukakan berbagai permasalahannya. Dari masalah rumah tangga yang cukup kompleks, trauma masa lalu yang menghambat aktivitas seseorang, korban kekerasan dalam rumah tangga dan lain-lain. Dia juga harus dapat menangani masalah-masalah psikologis yang lebih berat, seperti depresi, gangguan mood, insomnia berat, schizophrenia (yang ditandai dengan munculnya halusinasi dan delusi), dan berbagai masalah psikologis lain yang membutuhkan penanganan lebih dari sekedar konseling. Biasanya dia  menggunakan obat-obatan dalam proses terapinya.
        Fey duduk di kursi kerjanya yang empuk. Tania, perawatnya, sudah menyuguhkan secangkir kopi krim kesukaannya. Fey meneguknya sedikit. Ada waktu satu jam sebelum dia membuka kliniknya.
        Rutinitasnya sebelum beraktivitas adalah membuka laptopnya dan menjelajahi dunia maya. Cukuplah untuk menyenangkan hatinya. Jam 8 tepat Tania membuka pintu ruang prakteknya dan mulai memanggil satu per satu pasiennya hari ini. Fey memulai membuka hati dan telinganya untuk para kliennya.
        Namun dia tidak pernah membuka hati dan telinganya untuk seseorang. Hmm, tiba-tiba ada sebuah perasaan indah yang menyelinap dalam dadanya. Entah apa, tiba-tiba Fey merasa bahagia!

        Dea membuka pintu ruang kerjanya. Ruang yang mungil dan simpel, bercat kuning gading, bersih dan wangi. Ada sebuah meja kerja yang tersusun rapi oleh tumpukan buku, agenda kerja, sebuah bingkai foto pemiliknya dan satu set alat tulis yang tertata rapi. Meja kerjanya menghadap ke jendala. Jika dia jenuh dengan pekerjaannya, Dea akan melayangkan pandangannya ke luar jendela. Betapa menyenangkan melihat para mahasiswi yang tengah bercanda di taman kampus. Pakaian mereka modis dengan model terkini. Tentu saja menarik  perhatian serombongan mahasiswa yang juga berkumpul di koridor kampus menunggu jam kuliah berikutnya.
        Dea menyesal, mengapa dulu tidak ‘memanfaatkan’ masa kuliahnya dengan bersenang-senang? Dulu dia terlalu serius belajar. Waktunya dihabiskan untuk belajar dan berorganisasi. Selain kuliah, Dea aktif di kepengurusan buletin kampus dan anggota paduan suara di kampusnya.
        Sampai dia bertemu dengan sesosok laki-laki muda di sebuah perkemahan di daerah Jayagiri. Mahasiswa Pencinta Alam di kampusnya mengundang semua pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) untuk mengikuti acara ‘Go Green’ dengan membersihkan Jayagiri dari sampah-sampah yang berserakan. Acara berlangsung selama tiga hari. Selama itu dia selalu memandang sesosok tampan yang selalu asyik dengan gitarnya, duduk di depan perkemahan klub sains, sebuah UKM yang diikutinya.
        Dia selalu asyik dengan kesendiriannya. Seakan tidak tertarik berbaur dengan peserta yang lain. Padahal jika dia tahu, banyak peserta wanita yang selalu membicarakan sosok cool itu.
        “Namanya Fey, Feyanto. Anak Kedokteran. Kamu belum pernah melihat sebelumnya, Dea?” Tanya Esanti temannya sesama pengurus di buletin kampus. Dea hanya mengangguk saja. Tentu saja dia tidak pernah melihat laki-laki bertubuh jangkung dan atletis itu. Universitas Merah Putih memiliki beberapa kampus yang tersebar di beberapa tempat. Fakultas Kedokteran berada di kampus pusat, sedangkan dia selalu kuliah di kampus baru. Ke kampus pusat jika dia harus mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan keuangan dan akademik.
        Malam terakhir di Jayagiri, panitia membuat acara “Malam Api Unggun” sebagai acara ramah-tamah. Kemudian salah satu dari mereka, mengocokkan gulungan-gulungan kertas dalam sebuah botol plastik. Gulungan-gulungan kertas itu akan menampilkan sebuah nama beserta tantangannya. Pada gulungan kertas kesekian, tercantum namanya dan Fey dalam secarik kertas itu. Tantangannya cukup mudah: bernyanyi dengan iringan musik.
        Tak sengaja pandangan mereka bertemu. Fey maju menenteng gitar kesayangannya. Dia memberi kode supaya Adealia bernyanyi. Entahlah, tiba-tiba semua mengalir begitu saja. Dea menyanyikan lagu “Melati dari Jayagiri”. Dia merasa lagu itu pas di moment tersebut.
        Rasanya Dea tak sanggup bernyanyi. Nadanya terlalu lembut mengiringi permainan gitar Fey. Dea merasa sosok itu memandanginya terus-menerus. Dea mengalihkan pandangannya pada kobaran api unggun yang menjilat-jilati kayu bakar. Tak berani membalas tatapan yang kelam dan dalam itu.
        Sejak itu dia tidak pernah melupakan sosok itu sampai detik ini, walau mereka tidak pernah lagi bertemu sejak pertemuan terakhir di acara Wisuda Kampus, dua belas tahun yang lalu.
        Lamunan Dea terhenti. Sebuah pesan masuk.
        Dea, kita diundang Bram, mantan ketua senat periode kita kuliah. Dia mengadakan acara syukuran, sudah terpilih sebagai anggota dewan. Kau datang ya, nanti kujemput. Acaranya minggu depan.
        Pesan dari Esanti. Dia dan beberapa teman kuliahnya acap kali mengadakan pertemuan untuk sekedar bersilaturahmi. Kemudian mereka membentuk sebuah komunitas yang berisi para alumni yang dulu pernah berkiprah sebagai pengurus di beberapa Unit Kegiatan Mahasiswa di kampus mereka dulu.
        Hanya beberapa kali saja dia hadir. Itu pun karena Esanti yang memaksanya. Dia selalu bersyukur ketika dia hadir, sosok itu berhalangan hadir karena kesibukan.
        Informasi dari Esanti, bahwa Fey sudah berhasil menyelesaikan pendidikan spesialis psikiatri atau kedokteran jiwanya. Dia bekerja di sebuah klinik dan rumah sakit umum yang cukup besar di Jakarta. Untunglah, Esanti tidak pernah memberikan informasi tambahan apakah Fey sudah menikah atau belum.
        Dea belum memutuskan apakah dia akan datang atau tidak. Dari balik jendela ruang kerjanya, Dea melihat sepasang sejoli sedang bersenda gurau melintasi koridor kampus. Tanpa sadar Dea tersenyum. Mungkin dia sedikit iri dengan pemandangan manis itu.

        Fey sedang membereskan file-file pasiennya ketika Tania masuk memberitahukan ada tamu untuknya. Fey menyuruh Tania agar mempersilahkan tamu itu masuk ke ruangannya. Bram tersenyum lebar seraya menjabat tangan sang dokter bersahabat.
        “Gimana kabarnya, Bro?” Bram meneliti tubuh sahabatnya yang semakin atletis. “Masih sering ke gym kau rupanya?” Ledek Bram.
        “Iya-lah, memangnya kau, yang mana punya waktu untuk berolah raga,” Fey menelpon Tania untuk meminta perawatnya menyiapkan dua cangkir kopi krem. Tak berapa lama Tania masuk memenuhi permintaan Fey.
        “Cantik kali, perawat kau itu,” ledek Bram seraya menerima secangkir kopi panas dari Fey. Fey hanya tersenyum. Meneguk sedikit kopinya. “Sayang sekali aku sudah punya anak tiga, coba kalau aku masih bujangan, sudah kulamar dia!” Bram tertawa terbahak-bahak. Fey membalasnya dengan tersenyum lebar.
        Mereka bersahabat sejak SMA di Medan. Di Jakarta mereka kuliah di kampus yang sama namun berbeda jurusan. Fey memilih Kedokteran, sedangkan Bram lebih tertarik menekuni Ilmu Politik. Karirnya cukup melesat. Di kampus saja, dia pernah menduduki sebagai ketua senat. Dan kini dia terpilih sebagai anggota dewan.
        “Kau harus datang, Fey. Aku membuat acara syukuran, kecil-kecilan lah...”
        “Di hotel kau bilang kecil-kecilan?” Fey menggeleng kepalanya. “Hidup hemat sedikit-lah, Bro!” Bram terbahak. “Bukan uangku, Fey. Mertuaku yang membiayai semuanya. Tidak sia-sia kan aku punya mertua kaya,” tawa Bram makin keras.
        Kembali Fey menggelengkan kepalanya. Dia lebih memilih menikmati kopinya.
        “Oya, kapan kau akan menikah, Fey? Umurmu sudah berapa? Betah kali kau membujang!” Kali ini Bram lebih tertarik dengan topik kehidupan sahabatnya. Fey mendadak salah tingkah. Topik yang selalu ia hindari.
        “Apa kau tidak bisa melupakan gadis itu?” Tanya Bram dengan senyum menggoda.
        “Gadis yang mana?” Fey balik bertanya.
        “Ahh, berapa banyak gadis dalam kehidupanmu itu?” Bram meneguk kopinya. Fey menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. “Kau tahu sendiri kan?”
        “Waktu jaman kuliah dulu, kau pernah mendekati Sana, gadis Batak yang satu kampus dengan kita, namun orang tuanya tidak setuju karena kalian berbeda marga. Kemudian kau pernah menjalin cinta dengan Ayu, gadis Jawa yang terpaksa menerima lamaran laki-laki pilihan orang tuanya. Dan terakhir Citra,  teman kuliahmu di pendidikan spesialis psikiatri. Walau sebenarnya aku tahu, cintamu hanya untuk seorang gadis yang amat kau cintai, Adealia..”
        “Oya, dimana dia sekarang?” Tanya Fey penasaran.
        “Cari tahu sendiri-lah! Kau berteman saja di media sosial. Dia cukup eksis kok! Salah sendiri, kalau ada pertemuan kau jarang sekali hadir. Padahal kau bisa bertemu dengan gadis cantik itu...”
        “Tambah cantik?” Tanyanya lagi spontan, dengan wajah semerah kepiting rebus. Bram tertawa riuh. “Buka saja laptop-mu, kau lihat sendiri-lah,” Bram pamit dengan tawa yang berderai.

        Malam semakin larut. Fey masih asyik dengan pekerjaannya. Membuat laporan perkembangan kondisi pasien, adalah tugas rutinnya setiap malam. Diiringi musik instrumental lembut membuat dia betah bekerja.
        Tiba-tiba saja jari-jarinya meng-klik sebuah browser. Fey sudah menjelajahi dua maya. Dia log in ke sebuah media sosia. Dicari nama Adealia. Dadanya tiba-tiba bergemuruh.
        Bram betul, Dea cukup aktif di sosial media tersebut. Hampir setiap hari dia meng-up date statusnya. Isi postingnya cukup seru. Tentang pekerjaannya sebagai dosen, tentang kehidupan kampusnya dan lain-lain. Terkadang dia memposting foto terbarunya. Foto tentang kegiatan kampusnya, bersama teman-temannya atau sajian menu yang tengah dia nikmati di sebuah resto atau kafe. Adealia semakin cantik dengan berhijab, puji Fey tanpa sadar.
        Ada sebuah foto yang membuat Fey seakan berhenti bernafas. Dea tengah tertawa bahagia menggendong seorang bayi mungil. Dibelakangnya, berdiri seorang laki-laki muda dan tampan, tersenyum seraya memegang bahu Dea.
        Fey langsung menutup laptopnya.

        Adealia berdandan cantik malam itu. Dia mengenakan tunik polos warna biru langit dengan bodiran bunga mawar di pinggirannya berwarna merah tua senada dengan kerudung satin.
        Dia duduk satu  meja dengan Esanti dan bersama teman-teman kuliah lainnya. Entah mengapa dia berharap Fey akan hadir. Setidaknya dia bisa menuntaskan rasa rindunya. Walau mungkin Fey kini sudah berbahagia dengan keluarga kecilnya.
        Seorang pelayan membawa beberapa minuman ringan. Dea memilih orange juice kesukaannya. Dia teguk sedikit untuk mengurangi rasa grogi yang tiba-tiba muncul.
        “Dia belum datang,” Esanti melirik Dea. Dea hanya tertunduk, pura-pura sibuk dengan ponselnya. “Kata Bram, dia berjanji akan datang.”
        “Mungkin sibuk,” jawab Dea dengan hati nelangsa. Harusnya dia tidak usah datang jika hanya kekecewaanya yang kini ia rasakan.
        Sampai acara itu selesai, Fey tidak menampakkan batang hidungnya.

        “Kenapa kau tak datang?” Suara Bram langsung terdengar begitu Fey mengangkat ponselnya. “Kau sudah berjanji akan datang..”
        “Maaf, Bro..Aku sibuk,” Fey memain-mainkan pulpen di tangannya.
        “Kau tahu, ada seorang gadis yang sangat kecewa begitu tahu kau tak hadir...”
        “Maksudmu, Dea?” Potong Fey tak sabar. “Bukankah dia sudah bahagia dengan keluarga kecilnya,” suara Fey terdengar sinis.
        “Keluarga? Keluarga yang mana?” Nada Bram terdengar tak sabar.
        “Aku melihat fotonya. Dia tengah menggendong seorang bayi dengan laki-laki muda di belakangnya..”
        “Hahaha...Kau cemburu, Bro! Laki-laki itu adik iparku. Aku yang memposting foto itu seminggu yang lalu di acara ulang tahun anakku yang paling besar di rumah eyangnya. Bayi itu anakku yang baru berumur enam bulan. Kau tidak tahu kan kalau keluarganya dan keluarga besar istriku bertetanggaan...”
        “Bram, antarkan aku ke rumahnya,” nada Fey terdengar panik.
        Bram tertawa keras dan terdengar getir.
        “Sayang, Fey. Adealia sudah pergi. Dia menerima beasiswa S3 ke Malaysia...”
        Dari seberang sana Bram sudah menutup ponselnya. Tinggal Fey yang terdiam terpaku. Tanpa sadar dia pandangi senja yang berwarna merah kejinggaan dari balik jendela kamarnya. Tak lama kemudian warnanya makin memudar. Hanya tersisa bias cahaya yang masuk melewati kaca jendelanya yang bening.

        Seperti hatinya saat ini. Sudah tak berbentuk lagi. Hanya tersisa biasnya.

Bahagia Tanpamu





Aku lagi ngegosip ketawa–tawa dengan anak-anak Zero lainnya.Ketika Hanung datang aku segera pamit diiringi tawa mereka yang tidak ada habis habisnya.

“Dit, jangan lupa besok siaran lagi !” Teriak Jadid mengingatkan. Aku hanya mengangguk dari balik mobil Hanung. Hanung diam, mengemudikan mobil tanpa banyak bicara. Kuhela napas, jengkel dia pasti marah. Entah karena apa.

Kuputar gelombang radio. Suara renyah Nitra terdengar. Aku tersenyum. Betapa menyenangkan kehidupan penyiar itu. Seperti kehidupanku dan teman teman di studio ‘Zero-Zero. Akrab, penuh canda, full gosip tapi juga serius siaran.

Tanpa sebab Hanung mematikan radio. Suara Nitra menghilang seketika. Kulirik tampang bekunya. Dia seperti tidak merasa bersalah. Ugh!
“Sampai jam berapa tadi malam kau siaran? Tengah malam kan?” Suaranya lebih terdengar menghakimi terdakwa ketimbang nada bertanya.

Aku diam. Percuma menjawab. Toh dia telah menjawabnya sendiri.
“Dit, kau sudah tau kalau aku nggak suka kamu siaran seenaknya. Kau pikir kupingku nggak sakit dengerin kamu ketawa - ketawa dengan Diki?”

Nggak usah didengerin dong, sahutku dalam hati. Aku tak dapat membayangkan jika kata – kata itu tercetus, mungkin perang segera meletus.
“Terus terang orang tuaku nggak suka kamu kerja kaya kalong begitu”.
Ugh, apa peduli dengan orang tuanya. Memangnya mereka yang biayain kuliah ku. Apa mentang mentang mereka orang tua Hanung, seenaknya aja main larang?

“Dit, kita sama-sama tau orang tuaku nggak gitu menyetujui hubungan kita”, suara Hanung melunak. ”Cobalah kamu usahain gimana caranya mengambil simpatiknya”

“Dengan keluar dari Zero-zero?”
Hanung menghela napas yang terdengar berat. ”Aku tahu itu akan sulit kamu lakukan. Tapi terus terang, Dit, nggak ada pilihan lain. Aku udah terlalu capek menghadapi omongan mamaku mengenai pekerjaanmu dan juga ada perasaan nggak rela kamu bercanda seenaknya di udara. Entah dengan Diki, Jadid, Dedi dan entah dengan siapa lagi. Terpaksa aku meminta jawaban tegasmu. Pilih dunia siaranmu atau aku.”

Terkejut kupandangi wajahnya. Rasanya tak percaya Hanung akan berkata seperti itu. Betapa teganya dia . Harusnya dia tahu siaran adalah dunia yang amat kusukai. Dan dirinya juga adalah tambatan hatiku. Keduanya sama berat. Dan aku harus memilih salah satunya, betapa tidak adil!

“Dit, maafkan aku,” mobilnya telah berhenti didepan rumahku. Tanpa berkata kata aku keluar dari mobilnya.
Rasanya ada yang menyesak dalam dadaku.


“Duile, tuh muka dilipet lipet-lipet kayak benang kusut aja,” ledek jadid diiringi koor anak-anak ‘Zero-Zero’ lainnya. Namun aku tidak peduli. Tetap jalan terus menuju ruang ‘On Air’ .

“Are you Okay?” Riri menyusulku. Aku tak menyahut. Sibuk mempersiapkan jam siaranku yang tinggal lima menit lagi.

“Perlu kubantu , Dit?” Riri mentapku lama.
“Nggak...nggak usah, Ri thanks,” kucari kaset-kaset yang akan kuputar dalam acara An Hour. Yah, cuma sejam. Setelah itu minggat dari studio tanpa kumpul-kumpul lagi

“Benny nggak masuk terpaksa kamu kerja sendiri.”
Aku tahu kepalaku mengangguk teratur, lalu aku berpaling ke arahnya, “Tolong tinggalkan aku sendiri.”

“Oke, Riri menutup pintu pelan. Kuhela napas berat. Rasanya aku badmood. Namun aku tetap harus siaran.

“Selamat siang kawula muda. Ditta kembali hadir nemenin istirahat kamu walau hanya satu jam. Dan ini  tembang pembuka jumpa kita dari Mega Star Michael Jackson, YOURE NOT ALONE”.

Aku lebih banyak memutar lagu-lagu ketimbang ngoceh dengan nada riang seperti yang sering kulakukan. Namun aku tidak peduli aku.

Telepon berdering nyaring. Menggema bercampur dengan suara Sade. Tanpa berdiri hanya memutar kursi, kuangkat telepon.

“Hallo, Ditta? Dit, kenalin aku Ferdi orang yang ngefans ama suara kamu. Cuma kenapa sih siaran kamu aneh siang ini. Nggak biasanya deh. Kaya bukan Dita aja. Ayo dong mana Dita yang aku kenal.”

Aku terdiam kelam lidah kurasakan kelu. Sementara suara Sade hampir aja usai.

“Thanks, Fer. Bakal aku perhatiin, bye!” Bergegas kukenakan headphone dan kuturunkan tune tape pertama.

“Siang ini Ditta pingin ngirimin lagu ‘Remember me this Way’ soundtrack film Cesper untuk Ferdi yang barusan aja telepon. Thank banget deh untuk atensi kamu.”
Kepalaku makin mumet. Lagu itu kesukaan Hanung ketika nonton film Cesper di Twenty One dua minggu yang lalu. Tapi siapa yang menyangka dua minggu pula kami tidak pernah ketemu lagi?

Kutinggal ruang ‘On Air’ begitu acara usai. Nitra dan Tina yang tugas di program acara berikutnya.

“Suntuk banget , Dit?” Sapa Rahmat di kantin studio.

“Capek aja,” kuambil teh botol dari kulkas. Rahmat lalu pamit karena tugas operator di acara Nitra dan Tina.

“Nih, orangnya dicariin juga dari tadi,” Riri duduk disampingku. Disambarnya teh botolku dan diteguknya sampai habis. ”Nice” lirikku pura–pura marah. Riri Cuma nyengir.

“Ntar malem mau kemana, Dit?” Tanya Nella.

“Malam minggu yah?” Tanyaku bego dengan pikiran menerawang.

“Dit, kita ngumpul-ngumpul dirumah Riri yoook! Kebetulan ortunya lagi ke Pontianak. Kita nginep. Begadang sambil ngegosip apaan aja.” Usul Ping-ping

“Aku..?”

“Udah deh gak usah kebanyakan mikir. Pokonya ntar malem jangan ada yang ngedate ama pacarnya masing-masing. Malam kita bersama. Memperingati....” Linda terdiam mencari kata kata.

“Putusnya Ditta dengan Hanung,” kata Riri spontan. Entah mengapa aku malah tersenyum. Mungkin melihat wajah innocent itu yang selalu kelihatan ceria. Seperti tidak punya problem apa apa dalam hidupnya.

“Mungkin aku mau siaran aja.”
       
“Again?” Mata bagus Nella melotot .
“Why not? ” balasku cepat. Ping-Ping dan Linda kompakkan menggelengkan kepala.

“Dit, nggak bagus loh, kalau kamu melampiaskan rasa kecewamu dengan kerja. Hasilnya juga nggak akan oke. Terlalu maksa,” nasihat Riri lembut.

“Ayolah, Dit. Masak sih kamu tega batalin acara yang udah kami rancang. Aku terpaksa ngerayu ngerayu Dedi supaya nonton filmnya minggu sore aja,” Nella mentapku penuh harap.

“Iya, Dit. aku juga terpaksa nolak ajakan Wendy nyobain es krim di Kafe Mutiara,” Linda nyambung gak mau kalah.

“Aku juga....”

“Kamu sih karena Adi ngedaki Gunung Poteng, Ri,”potong Ping-Ping  tertawa sambil menjitak kepala Riri. Gemas melihat wajah kekanak-kanakan itu.

“Dit aku juga pernah ngerasain gimana rasanya sakit hati. Waktu Boy nyeleweng ama Meci, kok tega sih? Padahal demi dia aku rela perang dingin dengan ortu karena mereka nggak setuju aku pacaran dengan Boy. Tapi ternyata...”mata Ping-Ping berkaca-kaca, refleks kupeluk gadis bermata sipit itu.
“Oke,  aku ikut!”
“Nah gitu dong!” Sahut mereka kompak.”

Kutatap kalender bergambar Snoopy hadiah dari Riri waktu dia ke Singapura. Genap  tiga bulan aku putus dengan Hanung. Memang tidak begitu terasa. Kesibukanku siaran di ‘Zero-Zero, keempat sahabatku yang selalu aja ada ide untuk bikin acara bersama. Rujakan dirumah Nella, nonton Twenty One, nongkrong ditoko kaset Duta Suara atau shopping ke Pontianak.

Liburan panjang ini kami habiskan bersama. Namun setelah liburan usai, kami akan sibuk sendiri - sendiri.

“Nih, orangnya datang!” Teriak Hendri begitu kubuka pintu studio .
“Ada apa , mau bagiin rejeki yah?”

“Ugh!” Benny si tukang jail itu nyambitku dengan kulit kacang.

“Kita mau ngerayain acara Tahun Baru di Gunung Potong,“ kata Diki.

“Banyak yang harus kita renung bersama,” tampang Ibrahim pura-pura serius.

“Sok ah!“ Kujitak kepalanya sambil tersenyum melihat si tukang ngocol itu sok serius.

“Misalnya gimana caranya ngerubah kamu jadi anak baik-baik, Dit,“ ledek Benny jail diiikuti koor panjang. Brengsek! Gantian kusambit dengan kulit kacang ke arahnya.

“Aduuuh, udah lama banget nih nggak naik gunung, kangen juga,” ujarku tanpa dapat menyembunyikan kebahagianku.

“Kasihaaan anak yang malang,” Jadid mengusap-usap rambutku. Dasar!

Sore ini kami rapat untuk bikin acara  Tahun Baru di Gunung Poteng. Semua personil ‘Zero-Zero lengkap. Jadid, Sheila, Iir, Nella, Erni, Ping-Ping, Linda, Nitra dan Tina. Sedangkan Nella siaran di acara “Buat Kamu” dibantu Dedi sebagai operator.

“Dit, section berikutnya! Musik Senja” Teriak Nella. Aku bergegas masuk diiikuti Benny. “Langsung openning aja, Dit, lagunya udah aku siapin kok,” kata Benny.

Aku menurut saja. Kukenakan headphone dan menurunkan tune tape pertama. Lagu pembuka acara ‘Musik Senja’ menghilang.

“Selamat sore kawula muda. Kita jumpa lagi dalam acara Musik Senja. Sore ini Ditta ditemenin ama Benny yang punya lagu lagu bagus. Seperti lagu ini yang udah disiapin special buat kamu...,”kunaikkan tune tape kedua. Suara bass Katon yang khas terdengar. Lagu dari Kla, ‘Bahagia Tanpamu’.
“Nyindir yah, Ben?”Teriakku bersaing dengan suara Katon.
“Tapi suka kan? Lagu bagus lho, Dit!” Tanpa sadar aku mengangguk. Telepon lalu berdering nyaring. Kuterima telepon mereka memenuhi pesanan lagu, menemani ngobrol, berbagi info seputar kehidupan kampus dan..... kehidupanku dimulai lagi. Tentunya lebih berwarna.


*****

Mawar Buat Alin



Alin mengenakan celemeknya. Siang ini dia tugas melayani pengunjung yang dateng ke Cafe Blue. Cafe milik mamanya. Sejak papa meninggal setahun yang lalu , Mama mencoba usaha baru. Dengan membuka Cafe Blue ini.

“Nih, bawa ke meja nomor lima,” Mama menyodorkan nampan berisi sepotong croissant dan segelas milkshake. Alin membawakannya ke depan.

“Hai, Dit, mau makan juga ?” sapanya kepada seorang cowok bertubuh tinggi kurus yang baru masuk ke cafenya masih dengan seragam putih abu-abu. Dito membalas lambaian tangan Alin.

Dito memilih tempat di pojok cafe. Seperti biasanya.

“Mau pesen apa nih ?” Tanya Alin ramah yang udah siap dengan pulpen dan kertas pemesanan di tangannya.

“Ada bakso enggak?”

Alin nyengir. Dia tau Dito suka bercanda. Dito lalu memesan burger dan rootbear yang di campur milk.

“Nih, silahkan disantap lah yaw…” Alin membawa pesanannya. Dilihatnya Dito udah asyik dengan itungan integral-nya. “Ada pr, Dit?”

“Iya nih, Lin. Bisa tolongin gue enggak?” Alin mengedarkan pandangannya. Kebetulan cafe lagi sepi. Cuma ada Dito dan beberapa pengunjung. Dilihatnya Mbak Keke lagi terkantuk-kantuk di meja kasir.

“Ooo, gini aja kok. Kebetulan gue udah selesai ngerjainnya kok,” Alin merendahkan diri begitu di puji ama Dito. Dito mengangguk-ngangguk kagum. Gimana enggak kagum, Alin cepet banget ngerjainnya. Sementara  dia tadi, kayaknya susaaaaah banget.

“Jadi guru les gue aja deh, Lin”, Dito ngerjain soal yang lain.

“Boleh. Tapi bayarannya mahal lho.”  Canda Alin. Dito ngakak

“Lin, gue cabut dulu yah? Pr matematik dan kimia udah kelar. Makasih banyak lho atas bantuan lo, Lin besok siang gue balik lagi. Oya, semuanya jadi berapa?” Alin mengambil bill milik Dito.

“Burger, rootbear, es krim dan pizza,” Alin geleng-geleng kepala. Enggak nyangka makan Dito banyak juga. Dito nyengir .Dibanyarnya makanan itu.

Walau capek Alin dengan gesit menyerahkan uang itu ke Mbak Keke. Lalu dibereskan meja bekas Dito. Sekelompok mahasiswa memanggilnya dari meja nomer tujuh. Bergegas Alin menuju meja itu sudah siap dengan pulpen dan kertas pemesanan.


“Alin mana, Mbak?” Tanya Dito pada Mbak Tesa, kakak Alin yang lain.

“Belom pulang. Ada praktikum kimia. Mau pesen apa?” Lain banget ama Alin yang ramah, kakanya rada judes. Terpaksa Dito memesan nasi, fried chicken dan teh botol. Walaw dia lebih suka kalo Alin yang layanin.

“Pulangnya jam berapa Mbak?” Tanyanya begitu Mbak Tesa membawakan pesanannya.

“Bentar lagi kali,” jawabnya singkat lalu sibuk dengan pengunjung yang lain.

Dengan lesu Dito menikmati makanannya. Sejak ada Cafe Blue deket sekolahnya Dito lebih suka makan siang di sini. Apalagi sejak dia temenan ama Alin yang pinter dan ramah itu. Kayaknya enak belajar diteemenin Alin. Ketimbang di rumahnya yang gede tapi kosong melompong karena pemiliknya sibuk ama urusan masing-masing. Papa dengan proyeek-proyeknya, Mama dengan usaha salon kecantikan ama kuliah atau pacaran.

Apalagi kalo dibandingin anak-anak yang lain. Jam segini sih banyak yang udah menikmati tidur siangnya lalu entar sore udah bermodis ria dengan gank-nya ngeceng ke mal-mal. Ngabisin duit ortunya dengan mkan-makan di resto mahal atau nonton di Twenty-One yang sekali nonton bisa ngabisin uang jajan dan transport Alin seminggu...

“Hai, bengong aja,” Alin udah berdiri di depannya. Dia udah pake kaos oblong, jins belel dan celemek Cafe Blue yang kotak-kotak merah.

“Abis praktikum, Lin?” Dito menghabiskan makanannya. Alin mengangguk. Dia lalu pamit karena dipanggil oleh sekelompok anak SMA yang kayaknya lagi ngerjain ultah temennya.

“Sibuk, Lin?” Dito begitu Alin selesai bolak-balik memenuhi pesanan anak-anak SMA itu. Walau keliatannya lelah tapi Alin tetep kelihatan ceria mengumbar senyum manisnya.

“yaaah, biasa deh. Ada pr apaan nih, Dit?” Alin duduk dan mengambil bukunya.

“Suruh bikin karangan. Gila, Lin, gue paling sebel kalo dgisuruh bikin karangan. Abis enggak bisa-bisa.”

“Bisa gue bantuin kok. Temanya tentang apa?” Tanya Alin tertarik. Ditto menunjukan temanya.

“Kapan sih dikumpulin? Entar gue bantuin deh. Kebetulan gue ska nulis.” Dito bengong. Udah sibuk ama sekolahnya, kerjaan di cafe sempet-sempetnya bikini dia karangan.

“ enggak ngerepotin kan?” Tanya Dito enggak enak ati begitu Alin datatang membawakan pesanan milkshake-nya.

“Engga kok. Suer!” Alin berusaha meyakinkan. Dito tersenyum mengucapkan terima kasih.

“Lo kayaknya rajin banget belajar deh, Dit. Enggak kayak anak lain yang lebih suka jalan main ama teman-temannya. Ke mal-mal, nongkrong di resto-resto atau kemana lah gitu. Tapi lo kok malah berajin ria ngerjain pr atau kalau engga soal-soal?”

“Gue pikir mumpung gue kelas 1 gue kudu belajar sampe entar kelas 3. Kan enak kalo seandainya bisa dapat PMDK. Enggak susah-susah cari sekolah lagi.”

“Emang iya sih. Mas Tio tetangga gue juga bilang begitu. Apalagi kalo kita mau ikutan UMPTN harus rajin dari kelas 1. Biar entar kalo kleas 3 enggak stres lagi kudu nyicil be;ajar kleas 1 dan 2. Iya, tapi kalo mau ikutan UMPTN sih. Kali gue kayaknya ngimpi deh bisa kuliah. Nyokap gue udah ga sanggup lagi. Kakak gue aja yang asi kuliah ada dua orang . mbak Neta dan Mbak Tesa. Belum lagi taon depan Mba Keke pengen banget kuliah di kedokteran. Gue ngalah aja deh. Mendingan gue bantu nyokap aja ngejalanin usaha cafe ini,” suara alinbiasa aja. Enggak adanada kesedihan atau minder. Diem-diem Dito kagum ama Alin.

“Tapi lo kan pinter, Lin. Kayaknya sayang banget kalo lo enggak manfaatin kepinteran lo itu. Lo kan bisa milih UI. Kalo di negeri kan biaya lebih , murah.”

“Ahhh, sama aja, Dit. Kakak gue aja kuliah di UI, uang kuliahnya enggak beda ama kuliah yang di swasta. Engga apa-apa kok, gue engga mau ngerepotin nyokap,”

Dito Cuma mengangguk-ngangguk. Dia gatau mau ngomong apa lagi. Kasihan juga Alin. Mau kuliah aja susah. Coba bandingin ama temen-temennya yang udah ngumpulin brosur-brosur sekolah diluar. Padahal Dito enggak yakin kalau mereka akan serius kuliah disana. Wong di sini aja mereka kebanyakan hura-hura ketimbang mau belajar.

“Mbak, boleh nanya enggak?” Tanya Dito ragu-ragu begitu Mbak Neta membawakan pesanannya berupa spaghettydan Coca Cola. Alin belon pulang sekolah. Katanya kemarin sih dia harus ikut pelantikan anggota baru pengurus mading. Yap, Alin ikutan pengurus madding di sekolahnya.

“Nanya apa?” Tanya Mbak Neta ramah. Dibandingkan kakak-kakak Alin yang lain, Mbak Neta mirip alin. Ramah dan doyan becanda.

“Ultah Alin kapan sih, Mbak?” Wajah Dito langsung merah begitu Mbak Neta senyum-senyum.

“Bulan ini juga. Tapi nanti tanggal 27. Kenapa, mau ngasih kado?”

Dito cuma senyum-senyum aja. Begitu Alin pulang, Dito minta ditraktir kalo entar Alin ultah.

“Kok tau aja sih?” bibir mungil Alin cemberut. Pura-pura marah. Justru kalo lagi gitu, bikin Alin tambah manis.

“Pasti nanya ke Mba Neta deh.”

“Emangnnya gak boleh?”

“Percuma kalo gak ngasih kado,” canda Alin keluar lagi. Dito ngakak.

“Emangnya kalo lo ultah mau dikasih kado apaan?”

“Aduhhh, gue anggak tau deh. Abis enggak ada sih tradisi ngasih kado kalo ultah di keluarga gue. Paling-paling cuma ngasih selamet terus cuma cium pipi doang. Selebihnya paling-paling makan bareng keluarga doang, itu aja kok. Kalo lo gimana, Dit?”

“Lo lebih jauh beruntung daripada gue, Lin. Di keluarga gue mana ada sih yang inget ultah gue. Kita terbiasa jalan sendiri-sendiri,” ada kesedihan di mata kelam itu. Alin jadi enggak tega. Berusaha nyari pembicaraan yang lain.

“DIT, sini deh,” panggil Mbak Neta begitu Dito mau masuk ke Cafe Blue. Mbak Neta narik tangannya ke samping cafe, “Ada yang mau Mbak omongun nih.”

“Apa ada, Mbak?” Tanya Dito bingung. “tadi siang Mbak iseng-iseng, Mbak Net abaca buku kumpulan puisi Alin. Di halaman terakhir dia nulis dengan dikirimin mawar pas ultahnya oleh siapa ya?” Mbak Neta pura-pura mikir. Dito jadi senyum-senyum  “pokoknya orang yang someone special deh di hatinya.”

“Terus, tujuan Mbak ngomongin ke saya apa?” Dito ingin ngebales kelakuan Mba Neta tadi.

“Enggaaaak, Cuma ngasih tahu doang. Syukur-syukur Dito nangkep maksud Mbak. Kalo masihenggak juga, sayanglah cakep-cakep bego,” keduanya kompak tertawa.

Suer, Dito seneng banget punya kakak kaya Mba Neta. Seandainya Mbak Ira kayak Mbak Neta ini, duuuh, alangkah senengnya.

PAGI-PAGI Alin bangun seperti biasa walu hari ini dia ultah, dia tahu engga ada yang special dari tahun-tahun yang lalu. Malah lebih menyedihkan. Soalnya engga ada kecupan sayang dari papa…

Met ultah ya, sayang, “Mbak Neta menghambut masuk ke kamarnya. Diciumnya kedua pipi adik tersayangnya. “Sori nih enggak bisa ngasih apa-apa. Ngerti sendiri kan, ;agi bokek berat nih,” Alin mengangguk Di. Dia udah negrti kok.

“Tapi mbak bikin sarapan pagi yang special. Pizza rending kayak yang di California pizza itu. Rasanya enggak kalah deh. Buruan deh mandi sana!” Air mata jatuh di pipinya waktu mandi. Dia ngerasa terharu banget dengan perhatian kakaknya.

Tengah dia menikmati sarapan bersama Mamah dan Mbak Neta. Mbak Tesa udah buru-buru berangkat ke kampusnya dan Mbak Keke udah dijemput untuk berangkat sekolah bareng, tiba-tiba aja bel berbunyi nyaring. Siti, pembantu mereka membukakan pintu.

“Non Alin, ada kembang buat Non Alin teriak Siti, Alin  bergegas ke depan. Di tangan Siti ada beberapa kuntum bunga mawar merah yang masih basah kelopaknya. Bunga-bunga itu dibungkus plastik cantik.

“Dari siapa?” Tanya Alin bingung begitu menerima bunga itu dari Siti. Dilihatnya kertas mungil yang berisi kata-kata dan nama pengirimnya.

Met ultah ya, Lin. Moga tetepp jadi ‘temen’ baik gue.

“Dito?” alis Alin yang bagus terangkat tinggi-tinggi. Terdengar ketawa cekikikan dari arah meja makan. Brengsek, ini pasti kerjaan Mbak Neta.

Namun tak urung ALin tersenyum bahagia.

*****