Selasa, 28 April 2015

#BeraniLebih Menjadi Penulis Kembali



    Perkenalkan nama saya Dian Novianti. Namun saya lebih dikenal dengan nama pena saya Dheean Reean. Saya berprofesi sebagai dosen sejak tahun 1996 sampai sekarang. Sebelumnya, saya pernah menekuni dunia penulisan. Namun karena kesibukan, saya sempat vakum cukup lama.
Boleh dibilang tahun 1993-1996 adalah masa-masa produktif saya ketika itu. Saya pernah memenangkan lomba Penulisan Cerita Pendek di majalah Anita Cemerlang tahun 1995. Alhamdulillah, saya rajin mengarsipkan tulisan-tulisan saya yang jika dijumlahkan sudah mencapai 48 cerita pendek yang sudah dipublikasi di beberapa media cetak dalam kurung waktu 3 tahun.
Saya tidak menyangka betapa maraknya dunia penulisan saat ini. Dengan adanya kemajuan teknologi informasi membuka peluang terbuka lebar untuk penulis-penulis pemula untuk mengembangkan sayapnya.
Bagaimana dengan saya? Saya penulis jadul, yang ingin kembali terjun ke dunia ini dan bersaing kembali dengan penulis-penulis muda yang lebih dulu eksis dibandingkan saya.
Saya mencoba kembali dari titik nol. Saya mengikuti beberapa komunitas penulisan dan pelatihan penulisan baik yang free maupun yang bayar. Dimana teknik dan gaya penulisan saat ini sangat jauh berbeda dengan tahun 1990-an. Pantang menyerah, saya banyak belajar kembali menjadi penulis.
Semua indah akan pada waktunya. Keberanian saya untuk mencoba kembali peruntungan di dunia penulisan ini berbuah manis. Akhir tahun 2014, saya mencoba membuat kumpulan cerpen saya yang pernah dimuat di beberapa media massa melalui penerbitan indie dan dilanjutkan novel yang saya tulis hanya dalam waktu satu bulan karena mengejar promo yang ditawarkan penerbitan itu. Not bad, walau novel sederhana,  namun yang terpenting saya memiliki keberanian untuk mencoba menulis 200 halaman dalam waktu 30 hari. Alhamdulillah, responnya cukup baik karena banyak  juga pembaca yang bersedia membeli buku-buku saya, yang pada akhirnya bisa menutupi biaya produksi kumpulan cerpen dan novel tersebut.
Awal tahun 2015, dan keajaiban itu datang berturut-turut ketika saya dinyatakan ‘lulus’ untuk mengikuti sebuah pelatihan penulisan novel romantis yang diadakan sebuah penerbit mayor, Elex Media. Dan Alhamdulillah, pengajuan outline novel kelompok saya lulus dan kami berhak untuk mewujudkan outline tersebut dalam bentuk novel romantis. Saya juga mengikuti analogi buku dengan tema cerita romantis di bulan November.
Namun tentu saja, saya masih ingin terus banyak belajar. Karena saya memulainya dari sebuah titik nol, titik yang terbawah dalam dunia penulisan yang pernah saya tekuni. Saya belajar menulis cerpen dewasa dengan penulis senior dengan metode pembelajaran yang sangat keren menurut saya. Sesuatu yang baru buat saya, karena selama ini saya hanya menulis untuk segmen remaja. Dan Alhamdulillah, tawaran terus berlanjut. Akhir bulan ini saya diminta menjadi narasumber di kegiatan creative writing di sebuah SMA di Jakarta. Dengan syarat, saya sudah memiliki buku. Bayangkan jika saya tidak memanfaatkan momen yang muncul di hadapan saya.
Buat saya hal ini hanya mimpi, bisa terjun kembali di dunia yang amat saya cintai. Dan saya bersyukur, bisa kembali ke dunia ini dan memiliki teman-teman penulis yang sangat mendukung dan memberikan motivasi saya untuk terus menulis. Teman-teman yang walau hanya dikenal di dunia maya, namun ketulusan mereka membuat saya menemukan ‘keluarga baru’.
Teruslah menulis dari hati, dan rasakan kenikmatannya. Karena menulis bisa sebagai ekspresi jiwamu. Terima kasih.
*****
Tulisan ini diikutsertakan dalam Kompetisi Tulisan Pendek di Blog #BeraniLebih bersama Light of Women. 
Akun FB : Dheean Reean
Akun Twitter : @dheean_rheean

Sabtu, 04 April 2015

JADI PENULIS



        Perkenalkan nama saya Dian Novianti. Namun saya lebih dikenal dengan nama pena saya Dheean Reean. Saya berprofesi sebagai dosen sejak tahun 1996 sampai sekarang dan tambahan profesi saya adalah penulis freelance.
Tidak terbayang sebelumnya, betapa semaraknya dunia penulisan saat ini. Begitu saya mencoba aktif di sebuah sosial media, tidak menyangka sama sekali betapa banyaknya orang yang ingin menjadi penulis. Mungkin saya yang termasuk telat untuk merasakan ‘kehebohan’ itu. Berhubung waktu saya sudah tersita oleh urusan pekerjaan dan keluarga, ditambah tahun 2008 saya melanjutkan pendidikan ke jenjang strata dua. Otomatis saya baru ikutan di sosial media ini tahun 2010, itu pun bukan pengguna aktif.
          Kira-kira awal tahun 2014, saya baru ‘ngeh’ betapa semaraknya dunia ini. Banyak penulis yang memposting karyanya. Tidak mau ketinggalan, saya juga memposting karya saya, walau karya lama, hehe. Alhamdulillah, keberadaan saya mulai ‘dilirik’ teman-teman baru. Banyak yang menawarkan saya pertemanan dan menyatakan kekaguman atas hasil karya yang sudah dihasilkan. Terharuuu…ternyata walau karya jadul, mereka menghargainya dengan baik.
          Sejak kapan berkecimpungan dalam dunia tulis menulis ini? Kenapa sempat vakum? Berapa lama vakumnya? Kenapa tertarik menulis lagi? Hehe…pertanyaan yang hampir seragam dilontarkan pada saya.
Mungkin jika dijabarkan, jawabannya akan panjang bisa satu buku (hehe..terlalu lebay ya). Mungkin yang ingin saya tanyakan pada diri saya sendiri juga adalah: Mengapa suka menulis? Apakah cita-cita ingin menjadi penulis? Buat saya, ini pertanyaan mendasar yang menyangkut passion dan ketertarikan saya pada dunia ini.
Saya suka menulis sejak SMP. Guru Bahasa Indonesia saya waktu itu yang menyemangati saya bahwa saya memiliki bakat menulis. Guru saya itu energik, cantik, pintar, mungkin gambaran saya masa kini, hehe..terlalu memuji diri sendiri.
Lalu saya mencoba menulis sebuah cerita pendek melalui tulisan tangan. Lalu saya perlihat ke teman-teman saya. Mereka protes, karena tulisannya susah dibaca, agak-agak cakar ayam, hehe…Akhirnya demi tulisan saya bisa dibaca dengan baik, saya minta dikursusin mengetik. Ibu saya bengong, emang kamu mau jadi sekretaris? Mungkin itu pertanyaan yang ada di benak beliau. Tapi demi anak tercinta, beliau memperbolehkan juga. Sudah mahir mengetik, saya pinjem mesin ketik bapak saya dan bisa dipastikan hampir setiap malam, rumah saya heboh oleh suara ketikan. Kira-kira tahun 1987 (mungkin diantara teman-teman ada yang belum lahir kan?) saya tergila-gila menulis cerpen. Apalagi di tahun-tahun itu, era kejayaan Lupus, cerita fenomenal Mas Hilman Hariwijaya. Saya jadi makin tertarik belajar nulis cerpen. Asli, nulis sendiri, otodidak. Nggak ada yang ngajarin. Bapak saya? Boro-boro, malah Bokap waktu itu marah-marah karena saya bukannya belajar malah sibuk ketak-ketik.
Tidak seperti jaman sekarang, yang dengan mudah kita mendapatkan tawaran belajar menulis baik secara tatap muka atau online dengan bayar atau gratis. Makanya saya iri dengan generasi muda sekarang, yang sangat dimudahkan dengan segala fasilitas yang tersedia secara lengkap mulai dari browsing materi penulisan, karya penulis-penulis yang bisa dibaca melalui blog pribadinya atau mengikuti komunitas-komunitas penulis yang banyak ditawarkan. Mereka bisa dijadikan mentor yang baik tentang tulisan yang sudah kita hasilkan.
Dulu mentor saya, ya teman-teman yang membaca karya saya. Tanggapa mereka hanya dua: bagus atau jelek. Kalau jelek, mereka tidak bisa memberikan masukan apa-apa. “Pokoknya dibacanya nggak enak, nggak menarik!” itu jawaban andalan mereka. Tapi kalau bagus, mereka mengangkat jempol mereka tinggi-tinggi. Mungkin seperti sekarang, ketika kita menyukai posting seseorang, kita bisa mem-klik tulisan liked.
Kumpulan cerpen saya kliping jadi satu dan biasanya wujudnya sudah tidak jelas lagi, karena sudah berpindah banyak tangan. Hobi ini berlanjut ketika saya mulai kuliah dan jadi anak kos di daerah Depok. Saya senang bukan main, karena saya punya komputer, horeee…! Komputer model desktop yang tidak bisa dibawa kemana-mana, hanya terdiam manis di sudut kamar. Jika jaman kuliah saya sudah ‘lahirnya’ laptop atau tablet, bisa dipastikan di ruang kuliah, saya bukan menyimak penjelasan dosen, malah asyik menulis, hehe..
Jika tidak ada kuliah, saya lebih banyak ‘mendekam’ di kamar. Temen-temen kos tentu saja heran. “Yan, elo nulis apa sih? Segitu betahnya seharian nongkrong di kamar.” Namun ketika cerpen pertama saya dimuat di majalah Anita Cemerlang, mereka berebut membacanya, “waah, keren elo, Yan!” Tentu saja saya bangga walau buntutnya, saya harus rela honor saya ‘dibajak’ untuk nelaktir mereka, hehe..
Boleh dibilang tahun 1993-1996 adalah masa-masa produktif saya ketika itu. Saya pernah memenangkan lomba Penulisan Cerita Pendek di majalah Anita Cemerlang tahun 1995. Alhamdulillah, saya rajin mengarsipkan tulisan-tulisan saya yang jika dijumlahkan sudah mencapai 48 cerita pendek yang sudah dipublikasi di beberapa media massa selama 3 tahun.
Dan untuk mengirimkan cerpen ke sebuah majalah buat saya penuh perjuangan. Memang saya lebih sering menggunakan jasa pos yang ada di kampus saya atau ke kampus tetangga, UI, yang memiliki kantor pos sendiri. Namun biayanya lumayan mahal, karena tarif dikenakan sesuai dengan berat amplop yang berisi hasil cetakan naskah saya.
Akhirnya saya lebih suka mengantarnya sendiri. Sekalian bisa berkenalan dan ngobrol dengan para redakturnya. Tapi tidak bisa leluasa karena kesibukan mereka. Kalau ada naskah yang ditolak, mereka akan menyerahkan kembali sembari memberikan sedikit koreksinya.
Beda dengan penulis jaman sekarang yang sangat-sangat diuntungkan dengan kemajuan teknologi informasi. Sekarang kita tinggal mengirimkan naskah kita dalam bentuk softcopy via emal. Walau nunggu antriannya cukup lama, namun tidak serepot penulis jaman dahulu kala, hehe…
Saya sempat vakum lama. Setelah tahun 1996, saya fokus mengembangkan karir saya menjadi seorang dosen, apalagi saya mengajar di beberapa kampus dan tentu saja mengurus keluarga yang sudah pasti sangat menyita waktu saya.
Semua indah akan pada waktunya. Saya pernah mendengar kalimat indah itu dan saya mengalaminya sendiri. Pertengahan tahun 2014, seorang kenalan penulis, mengajak saya ikutan dalam sebuah komunitas penulisan. Mungkin kasihan melihat saya hanya memposting karya-karya lama saya tanpa menulis lagi. Jujur, ketika itu saya sudah ingin menulis lagi namun belum ada keberanian untuk memulainya lagi. Tangan saya seperti kaku dan kehilangan kata-kata pada saat ingin menulis.
Namun di komunitas itu, saya diberi kepercayaan untuk mengirimkan contoh tulisan saya. Tadinya saya masih memberikan tulisan lama saya yang pernah dimuat di beberapa media massa, namun ketika mereka mulai meminta untuk mengirimkan tulisan saya yang baru, perlahan saya mulai belajar menulis lagi, dari awal. Mungkin pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih pada Mba Ida Refliana yang sudah membuka ‘pintu’ saya kembali. Saya malah berani mencoba ikutan lomba menulis cerpen sekelas majalah Femina. Walau tentu saja tidak menang, namun saya menghargai keberanian yang saya miliki.
Kemudian tak berapa lama, saya diajak Mba Deka Amalia Ridwan, pemilik sebuah komunitas penulisan yang semua membernya wanita, untuk menulis kumpulan cerita pendek romantis bersama 87 penulis wanita keren. Beliau juga mengajak saya menggarap novel berantai dan menulis novel solo yang saat ini masih proses pengerjaannya.
Akhir tahun 2014, saya mencoba membuat kumpulan cerpen saya yang pernah dimuat di beberapa media massa melalui penerbitan indie dan dilanjutkan novel yang saya tulis hanya dalam waktu satu bulan karena mengejar promo yang ditawarkan penerbitan itu. Not bad, walau novel saya lumayan sederhana ceritanya tapi yang penting saya memiliki keberanian untuk memcoba menulis 200 halaman dalam waktu 30 hari, keren kan? Hehe, muji diri sendiri aja! Dan Alhamdulillah, responnya cukup baik karena ada juga yang bersedia membeli buku-buku saya yang akhirnya bisa menutupi biaya produksinya.
Awal tahun 2015, dan keajaiban itu datang berturut-turut ketika saya dinyatakan ‘lulus’ untuk mengikuti sebuah pelatihan penulisan novel romantis yang diadakan sebuah penerbit mayor, Elex Media. Dan Alhamdulillah, pengajuan outline novel kelompok saya lulus dan kami berhak untuk mewujudkan outline tersebut dalam bentuk novel romantis. Saya juga mengikuti analogi buku dengan tema cerita romantis di bulan November.
Menurut saya kesempatana tidak akan dua kali, ketika peluang itu menghampiri kita, tentu kita harus memanfaatkan sebaik-baiknya. Begitu pun ketika saya ditawari menjadi koordinator cerpen majalah dan host program ‘writers to witres’ di dua  komunitas penulisan yang berbeda.
Namun tentu saja, saya masih ingin terus banyak belajar. Karena saya memulainya dari sebuah titik nol, titik yang terbawah dalam dunia penulisan yang pernah saya tekuni. Saya belajar menulis cerpen dewasa oleh penulis keren Mba Nurhayati Pujiastuti dengan metode pembelajaran yang sangat keren menurut saya. Sesuatu yang baru buat saya, karena selama ini saya hanya menulis untuk segmen remaja. Dan Alhamdulillah, tawaran terus berlanjut. Akhir bulan ini saya diminta menjadi narasumber di kegiatan creative writing di sebuah SMA di Jakarta. Dengan syarat, saya sudah memiliki buku. Bayangkan jika saya tidak memanfaatkan momen yang muncul di hadapan saya.
Buat saya, sebelumnya hanya mimpi, bisa terjun kembali di dunia yang amat saya cintai. Dan saya bersyukur, bisa kembali ke dunia ini dan memiliki teman-teman penulis yang sangat mendukung dan memberikan motivasi saya untuk terus menulis. Teman-teman yang walau hanya dikenal di dunia maya, namun ketulusan mereka membuat saya menemukan ‘keluarga baru’.
Mungkin pesan saya untuk calon penulis atau penulis pemula, menulislah dari hati dan harus enjoy. Karena kalau kamu merasa menulis hanya sebagai beban, berarti menulis belum menjadi passion-mu dan kamu hanya sekedar mengikuti tren yang saat ini sedang marak.
Terima kasih sudah mau ‘mendengarkan’ kisah saya yang mungkin bagi sebagian orang tidak berarti, namun saya berharap, sebagian masih menganggap kisah ini sebagai motivator dalam menulis.

Teruslah menulis, dari hati dan rasakan kenikmatannya. Karena menulis bisa sebagai ekspresi jiwamu. Terima kasih.
*****