Perkenalkan
nama saya Dian Novianti. Namun saya lebih dikenal dengan nama pena saya Dheean
Reean. Saya berprofesi sebagai dosen sejak tahun 1996 sampai sekarang dan
tambahan profesi saya adalah penulis freelance.
Tidak terbayang
sebelumnya, betapa semaraknya dunia penulisan saat ini. Begitu saya mencoba
aktif di sebuah sosial media, tidak menyangka sama sekali betapa banyaknya
orang yang ingin menjadi penulis. Mungkin saya yang termasuk telat untuk
merasakan ‘kehebohan’ itu. Berhubung waktu saya sudah tersita oleh urusan
pekerjaan dan keluarga, ditambah tahun 2008 saya melanjutkan pendidikan ke jenjang
strata dua. Otomatis saya baru ikutan di sosial media ini tahun 2010, itu pun
bukan pengguna aktif.
Kira-kira
awal tahun 2014, saya baru ‘ngeh’ betapa semaraknya dunia ini. Banyak penulis
yang memposting karyanya. Tidak mau ketinggalan, saya juga memposting karya
saya, walau karya lama, hehe. Alhamdulillah, keberadaan saya mulai ‘dilirik’
teman-teman baru. Banyak yang menawarkan saya pertemanan dan menyatakan
kekaguman atas hasil karya yang sudah dihasilkan. Terharuuu…ternyata walau
karya jadul, mereka menghargainya dengan baik.
Sejak
kapan berkecimpungan dalam dunia tulis menulis ini? Kenapa sempat vakum? Berapa
lama vakumnya? Kenapa tertarik menulis lagi? Hehe…pertanyaan yang hampir
seragam dilontarkan pada saya.
Mungkin jika
dijabarkan, jawabannya akan panjang bisa satu buku (hehe..terlalu lebay ya).
Mungkin yang ingin saya tanyakan pada diri saya sendiri juga adalah: Mengapa
suka menulis? Apakah cita-cita ingin menjadi penulis? Buat saya, ini pertanyaan
mendasar yang menyangkut passion dan ketertarikan saya pada dunia ini.
Saya suka menulis
sejak SMP. Guru Bahasa Indonesia saya waktu itu yang menyemangati saya bahwa
saya memiliki bakat menulis. Guru saya itu energik, cantik, pintar, mungkin
gambaran saya masa kini, hehe..terlalu memuji diri sendiri.
Lalu saya mencoba
menulis sebuah cerita pendek melalui tulisan tangan. Lalu saya perlihat ke
teman-teman saya. Mereka protes, karena tulisannya susah dibaca, agak-agak
cakar ayam, hehe…Akhirnya demi tulisan saya bisa dibaca dengan baik, saya minta
dikursusin mengetik. Ibu saya bengong, emang kamu mau jadi sekretaris? Mungkin
itu pertanyaan yang ada di benak beliau. Tapi demi anak tercinta, beliau
memperbolehkan juga. Sudah mahir mengetik, saya pinjem mesin ketik bapak saya
dan bisa dipastikan hampir setiap malam, rumah saya heboh oleh suara ketikan.
Kira-kira tahun 1987 (mungkin diantara teman-teman ada yang belum lahir kan?) saya
tergila-gila menulis cerpen. Apalagi di tahun-tahun itu, era kejayaan Lupus,
cerita fenomenal Mas Hilman Hariwijaya. Saya jadi makin tertarik belajar nulis
cerpen. Asli, nulis sendiri, otodidak. Nggak ada yang ngajarin. Bapak saya?
Boro-boro, malah Bokap waktu itu marah-marah karena saya bukannya belajar malah
sibuk ketak-ketik.
Tidak seperti jaman
sekarang, yang dengan mudah kita mendapatkan tawaran belajar menulis baik
secara tatap muka atau online dengan bayar atau gratis. Makanya saya iri dengan
generasi muda sekarang, yang sangat dimudahkan dengan segala fasilitas yang
tersedia secara lengkap mulai dari browsing materi penulisan, karya
penulis-penulis yang bisa dibaca melalui blog pribadinya atau mengikuti
komunitas-komunitas penulis yang banyak ditawarkan. Mereka bisa dijadikan
mentor yang baik tentang tulisan yang sudah kita hasilkan.
Dulu mentor saya, ya
teman-teman yang membaca karya saya. Tanggapa mereka hanya dua: bagus atau
jelek. Kalau jelek, mereka tidak bisa memberikan masukan apa-apa. “Pokoknya
dibacanya nggak enak, nggak menarik!” itu jawaban andalan mereka. Tapi kalau
bagus, mereka mengangkat jempol mereka tinggi-tinggi. Mungkin seperti sekarang,
ketika kita menyukai posting seseorang, kita bisa mem-klik tulisan liked.
Kumpulan cerpen saya
kliping jadi satu dan biasanya wujudnya sudah tidak jelas lagi, karena sudah
berpindah banyak tangan. Hobi ini berlanjut ketika saya mulai kuliah dan jadi
anak kos di daerah Depok. Saya senang bukan main, karena saya punya komputer,
horeee…! Komputer model desktop yang tidak bisa dibawa kemana-mana, hanya
terdiam manis di sudut kamar. Jika jaman kuliah saya sudah ‘lahirnya’ laptop
atau tablet, bisa dipastikan di ruang kuliah, saya bukan menyimak penjelasan
dosen, malah asyik menulis, hehe..
Jika tidak ada kuliah,
saya lebih banyak ‘mendekam’ di kamar. Temen-temen kos tentu saja heran. “Yan,
elo nulis apa sih? Segitu betahnya seharian nongkrong di kamar.” Namun ketika
cerpen pertama saya dimuat di majalah Anita Cemerlang, mereka berebut membacanya,
“waah, keren elo, Yan!” Tentu saja saya bangga walau buntutnya, saya harus rela
honor saya ‘dibajak’ untuk nelaktir mereka, hehe..
Boleh dibilang tahun
1993-1996 adalah masa-masa produktif saya ketika itu. Saya pernah memenangkan
lomba Penulisan Cerita Pendek di majalah Anita Cemerlang tahun 1995.
Alhamdulillah, saya rajin mengarsipkan tulisan-tulisan saya yang jika
dijumlahkan sudah mencapai 48 cerita pendek yang sudah dipublikasi di beberapa
media massa selama 3 tahun.
Dan untuk mengirimkan
cerpen ke sebuah majalah buat saya penuh perjuangan. Memang saya lebih sering
menggunakan jasa pos yang ada di kampus saya atau ke kampus tetangga, UI, yang
memiliki kantor pos sendiri. Namun biayanya lumayan mahal, karena tarif
dikenakan sesuai dengan berat amplop yang berisi hasil cetakan naskah saya.
Akhirnya saya lebih
suka mengantarnya sendiri. Sekalian bisa berkenalan dan ngobrol dengan para
redakturnya. Tapi tidak bisa leluasa karena kesibukan mereka. Kalau ada naskah
yang ditolak, mereka akan menyerahkan kembali sembari memberikan sedikit
koreksinya.
Beda dengan penulis
jaman sekarang yang sangat-sangat diuntungkan dengan kemajuan teknologi
informasi. Sekarang kita tinggal mengirimkan naskah kita dalam bentuk softcopy
via emal. Walau nunggu antriannya cukup lama, namun tidak serepot penulis jaman
dahulu kala, hehe…
Saya sempat vakum
lama. Setelah tahun 1996, saya fokus mengembangkan karir saya menjadi seorang
dosen, apalagi saya mengajar di beberapa kampus dan tentu saja mengurus
keluarga yang sudah pasti sangat menyita waktu saya.
Semua indah akan pada
waktunya. Saya pernah mendengar kalimat indah itu dan saya mengalaminya
sendiri. Pertengahan tahun 2014, seorang kenalan penulis, mengajak saya ikutan
dalam sebuah komunitas penulisan. Mungkin kasihan melihat saya hanya memposting
karya-karya lama saya tanpa menulis lagi. Jujur, ketika itu saya sudah ingin
menulis lagi namun belum ada keberanian untuk memulainya lagi. Tangan saya
seperti kaku dan kehilangan kata-kata pada saat ingin menulis.
Namun di komunitas itu,
saya diberi kepercayaan untuk mengirimkan contoh tulisan saya. Tadinya saya
masih memberikan tulisan lama saya yang pernah dimuat di beberapa media massa,
namun ketika mereka mulai meminta untuk mengirimkan tulisan saya yang baru,
perlahan saya mulai belajar menulis lagi, dari awal. Mungkin pada kesempatan
ini saya ingin mengucapkan terima kasih pada Mba Ida Refliana yang sudah
membuka ‘pintu’ saya kembali. Saya malah berani mencoba ikutan lomba menulis
cerpen sekelas majalah Femina. Walau tentu saja tidak menang, namun saya
menghargai keberanian yang saya miliki.
Kemudian tak berapa
lama, saya diajak Mba Deka Amalia Ridwan, pemilik sebuah komunitas penulisan
yang semua membernya wanita, untuk menulis kumpulan cerita pendek romantis
bersama 87 penulis wanita keren. Beliau juga mengajak saya menggarap novel
berantai dan menulis novel solo yang saat ini masih proses pengerjaannya.
Akhir tahun 2014, saya
mencoba membuat kumpulan cerpen saya yang pernah dimuat di beberapa media massa
melalui penerbitan indie dan dilanjutkan novel yang saya tulis hanya dalam
waktu satu bulan karena mengejar promo yang ditawarkan penerbitan itu. Not bad,
walau novel saya lumayan sederhana ceritanya tapi yang penting saya memiliki
keberanian untuk memcoba menulis 200 halaman dalam waktu 30 hari, keren kan?
Hehe, muji diri sendiri aja! Dan Alhamdulillah, responnya cukup baik karena ada
juga yang bersedia membeli buku-buku saya yang akhirnya bisa menutupi biaya
produksinya.
Awal tahun 2015, dan
keajaiban itu datang berturut-turut ketika saya dinyatakan ‘lulus’ untuk
mengikuti sebuah pelatihan penulisan novel romantis yang diadakan sebuah
penerbit mayor, Elex Media. Dan Alhamdulillah, pengajuan outline novel kelompok
saya lulus dan kami berhak untuk mewujudkan outline tersebut dalam bentuk novel
romantis. Saya juga mengikuti analogi buku dengan tema cerita romantis di bulan
November.
Menurut saya
kesempatana tidak akan dua kali, ketika peluang itu menghampiri kita, tentu
kita harus memanfaatkan sebaik-baiknya. Begitu pun ketika saya ditawari menjadi
koordinator cerpen majalah dan host program ‘writers to witres’ di dua komunitas penulisan yang berbeda.
Namun tentu saja, saya
masih ingin terus banyak belajar. Karena saya memulainya dari sebuah titik nol,
titik yang terbawah dalam dunia penulisan yang pernah saya tekuni. Saya belajar
menulis cerpen dewasa oleh penulis keren Mba Nurhayati Pujiastuti dengan metode
pembelajaran yang sangat keren menurut saya. Sesuatu yang baru buat saya,
karena selama ini saya hanya menulis untuk segmen remaja. Dan Alhamdulillah,
tawaran terus berlanjut. Akhir bulan ini saya diminta menjadi narasumber di
kegiatan creative writing di sebuah SMA di Jakarta. Dengan syarat, saya sudah
memiliki buku. Bayangkan jika saya tidak memanfaatkan momen yang muncul di
hadapan saya.
Buat saya, sebelumnya
hanya mimpi, bisa terjun kembali di dunia yang amat saya cintai. Dan saya
bersyukur, bisa kembali ke dunia ini dan memiliki teman-teman penulis yang
sangat mendukung dan memberikan motivasi saya untuk terus menulis. Teman-teman
yang walau hanya dikenal di dunia maya, namun ketulusan mereka membuat saya
menemukan ‘keluarga baru’.
Mungkin pesan saya
untuk calon penulis atau penulis pemula, menulislah dari hati dan harus enjoy.
Karena kalau kamu merasa menulis hanya sebagai beban, berarti menulis belum
menjadi passion-mu dan kamu hanya sekedar mengikuti tren yang saat ini sedang
marak.
Terima kasih sudah mau
‘mendengarkan’ kisah saya yang mungkin bagi sebagian orang tidak berarti, namun
saya berharap, sebagian masih menganggap kisah ini sebagai motivator dalam
menulis.
Teruslah menulis, dari
hati dan rasakan kenikmatannya. Karena menulis bisa sebagai ekspresi jiwamu. Terima
kasih.
*****
0 komentar:
Posting Komentar