Sabtu, 06 Agustus 2016

Sebuah Nama.

Sebuah Nama.
Hanya sekilas, nama itu dikenal dan kemudian lupa. Mungkin ia telah terbang bersama angin. Masuk sebuah kotak bernama kenangan.
Namun, mengapa masih terselip di sela-sela kaca jendela. Mengetuk-ngetuk relung hati, seakan tak mau pergi.
Walau senja telah membawanya pergi entah kemana. Namun esok pagi, dia hadir kembali bersama sinarnya mentari. Menghangatkan hati yang telah beku.
Mungkin ia hanya sebuah nama. Namun tetap tidak mau pergi dan menyelinap masuk ke dalam sudut hati...

Minggu, 17 April 2016

Menanti Pagi


Apa yang diharapkan ketika senja telah datang? Apa sama dengan pengharapan yang lalu, ketika hari berganti temaram. Saatnya merangkaikan mimpi. Bermimpi tentang hari yang indah, tentang sebuah waktu yang bernama pagi yang memberikan wangi kopi dan harum bawang goreng menaburi sepiring nasi ulam.
Ketika kapal-kapal tua tidak lagi menjanjikan hasil, mungkin bermimpi adalah pelarian dari rasa kekecewaan yang menumpuk bertahun-tahun.
Ketika langit telah kelam, lantai kapal telah lembab oleh air laut, masih bisakah terpakai untuk merajut mimpi di atas bantal yang telah menipis.
Menanti pagi begitu indah, walau kenyataannya pahit.
Tidak ada secangkir kopi ataupun sepiring nasi ulam.
Hanya desiran angin yang menemani perut yang masih kosong sejak semalam...

Selasa, 29 Maret 2016

A HEART'S JOURNEY : MENUJU RELUNG HATI



Sinopsis Novel:
A Heart’s Journey: Menuju Relung Hati

Ketika kamu mencoba menghindar, mengapa pesonanya begitu kuat mengikatmu.
Kamu tidak bisa berlari atau bersembunyi dari bayangannya yang kerap menguasaimu setiap saat.
Adelia sadar, seseorang telah membawa hatinya entah kemana. Ketika sebuah perpisahan membuat mereka berjalan pada sebuah jalan yang sunyi.
Namun pada akhirnya sebuah garis hidup yang yang membawa mereka memasuki sebuah relung hati, setelah menempuh perjalanan panjang dan berliku.

Dan Fey baru menyadari bahwa relung hatinya hanya dapat terisi oleh Adelia.


BAB 2
SESUATU BERNAMA CINTA

September 2002
Feyza

Kami tengah tiduran di kamarku seraya ditemani lagu-lagu pop lama. Sebetulnya ini CD punya Kak Mela, yang kuambil dari kamarnya. Aku lihat ada sebuah lagu yang berjudul ‘September Ceria’, rasanya pas mewakili perasaanku saat ini.
            “Bah, kenapa lagu-lagu kau mellow kali, teman!” Bastian membuka matanya sedikit. Baru ‘ngeh’ rupanya dia. Sedari tadi matanya sudah terpejam setelah perutnya kekenyangan, setelah makan siang gratis di rumahku.
            “Biarin...kau tidur sajalah!”
            Kupandangi langit-langit kamar yang dihiasi paper wall bergambar bentuk-bentuk bangunan keajaiban dunia. Namun mengapa wajah itu muncul secara tiba-tiba. Sudah kukatakan, masih kalah cantik dengan jejeran primadona di sekolahku. Termasuk Angel.
            Namun mengapa, gadis itu sudah membuatku tidak bisa tidur nyenyak? Seakan wajah lembutnya dan kemanisan sikapnya sudah membuat organ-organ di tubuhku tidak berfungsi secara maksimal.
            Kulempar bola basket mungil ke ring basket di sudut kamar. Masuk! Kegaduhan yang membuat Bastian terbangun.
            “Ada apa dengan kau, teman? Gelisah kali kulihat!” Bastian bangkit menuju kulkas mini. Diambilnya dua kaleng coke.
            “Bas, menurutmu...antara dua anak baru itu, mana yang paling menarik?”
            Bastian bengong. Diberikannya sekaleng untukku. Langsung kubuka dan kuteguk seperti kehausan. Dia memandangku yang tidak biasanya siang ini. Seperti cacing kepanasan yang tidak tenang menikmati istirahatnya.
            “Jelas Angel-lah. Angel itu kan blasteran. Ternyata di Jakarta dia foto model. Tapi Adelia oke juga. Anaknya baik, pintar dan dia itu cerpenis remaja, keren! Karyanya udah bejibun banyaknya,” Bastian menikmati coke-nya.
            “Angel dan Adelia, bagai bumi dan langit. Angel borju, Adel sederhana. Simpel. Namun kerendahan hatinya telah mengangkat ketinggian budinya,” Bastian berfilsafat.
            “Tumben kali omongan kau. Sok bermutu, Bah!” kulirik dengan wajah tak rela.
            “Jadi siapa yang kau taksir, Angel atau Adel?”
            Bastian cengar-cengir.
            “Kalau boleh milih, aku Adel ajalah. Kalau kau suka Angel, kau ambillah!”
            Aku tak menjawab, malah beranjak ke kamar mandi. Kubasahi tubuhku. Berharap bayangannya lenyap. Kudengar Bastian pamit pulang. Namun, aku hanya menjawab sambil lalu.
Bayangan itu semakin kuat mengikatku! Kulempar shower ke bak mandi dengan kesal.


BAB 4
BERPISAH

Februari 2003
Adelia

Aku tahu, hubungan ini pasti akan berakhir. Entahlah, kami merasa terlalu muda untuk merancang masa depan bersama. Kami masih memiliki sebuah mimpi yang butuh waktu yang cukup panjang untuk mewujudkan.
            Pada akhirnya, orang tuaku mengetahui hubungan ini. Para tetangga depan kompleks yang curiga terhadap laki-laki muda berseragam SMA atau berbusana bebas selalu setia menungguku di depan sebuah warung. Salah satu dari mereka mengabarkannya kepada Mama dan terdengar juga oleh Papa.
            Semalaman aku diadili, persis seorang terdakwa yang melakukan sebuah kesalahan besar.
            Akhirnya, aku berkata jujur pada mereka. Papa tentu murka, karena dianggapnya sudah mencoreng nama baiknya, karena melakukan hubungan sembunyi-sembunyi dengan seorang laki-laki.
            “Mau simpan dimana muka Papa, Adel. Kau ini anak tentara, harusnya kau bisa memberikan contoh yang baik sebagai anak tentara. Ini kau malah memalukan nama Papa dan Mama. Buat apa kau dijemput dan diantar depan warung, seperti cewek tidak benar saja kau...”
            “Pa, ini atas kehendak Adel. Adel yang tidak mau membawanya ke rumah ini, karena Adel tahu, Papa dan Mama tidak akan setuju...”
            “Iya-lah tidak setuju! Kau sebentar lagi mau ujian akhir, bukannya belajar yang benar, malah pacaran!”
            Blam! Papa murka dan membanting pintu kamarnya. Aku hanya tertunduk tak berdaya. Mama selalu mengelus rambutku jika dilihatnya aku sedih atau galau.
            “Kamu sabar ya, Del. Kamu kan tahu sendiri, gimana Papamu itu. Perkataannya tidak bisa dibantah. Kamu masih muda, Del. Jalanmu masih panjang. Banyak yang bisa kamu raih. Katanya kamu mau jadi jurnalis, mau jadi penulis juga. Iya kan?” Suara Mama terdengar lembut. Aku hanya mengangguk.
            “Sekarang kamu fokus dengan studimu. Mumpung masih ada waktu untuk mempersiapkan ujian akhir dan persiapan masuk perguruan tinggi negeri. Mama hanya berdoa, semoga Tuhan memberikan jalan yang terbaik.”
            Aku tahu, Mama memang tidak menyuruhku untuk memutuskan hubungan dengan Fey. Namun dari kata-katanya barusan, aku tahu apa yang tersirat dari nasehatnya itu.

*****

BUKU BARU: KUMCER KE-5



Buku Kumpulan Cerpen berjudul “Sepotong Kenangan”
Berisi 10 cerpen dengan segmen wanita dewasa mengisahkan permasalahan wanita urban yang cukup kompleks. KDRT, menjadi wanita kedua dalam sebuah pernikahan, terjebak credit-card, gangguan kejiwaan dan lain-lain. Dimana semua wanita digambarkan sebagai wanita yang tangguh, yang mampu memecahkan permasalahan yang dihadapi dengan baik.
Buku Kumcer ini berjudul ‘Sepotong Kenangan’ yang mengingatkan Dee tentang seseorang yang menarik hatinya.

Cerpen-cerpen yang ada sebagai berikut:
1. AROMA HUJA
2. BIANGLALA
3. DUA LELAKI
4. ENGGAR & TALITHA
5. KEMUNING

6. LUKA KINAN
7. RAHASIA
8. REMANG SENJA
9. SEPOTONG KENANGAN
10. SURAT DARI NAYA



BIODATA PENULIS
Penulis bernama asli Dian Novianti yang lebih dikenal dengan nama pena Dheean Reean. Selain penulis, berprofesi pula sebagai dosen Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC).
Aktif di sosial media dengan akun: Facebook: dheean.reean. Blog: dearrian2001.blogspot.com & Happymom.blogspot.com
Mulai terjun di dunia penulisan sejak tahun 1993 – 1997 dan kembali aktif menulis sejak tahun 2015. Selama aktif menulis, sudah ‘menelurkan’  48 karya berupa cerpen pendek bersegmen remaja yang dimuat di media Kawanku, Anita Cemerlang, Ceria Remaja dan majalah GADIS.
Tahun 1995 saya pernah memenangkan Lomba Penulisan Cerpen yang diadakan Majalah Anita Cemerlang yang berjudul : “Hidup Penuh Warna”.

Sudah menghasilkan sebuah novel berjudul “Bintang Kecil di Langit Biru”, sebuah novel berjudul “A Heart’s Journey” dan 4 (empat) buah Buku Kumpulan Cerpen Remaja dan Wanita Urban dan sebuah novel kolaborasi terbitan Elexmedia berjudul “Eternal Flame”.

*****

Minggu, 07 Februari 2016

Proses Kreatif Si Anak

Proses Kreatif adalah proses berpikir untuk menciptakan atau mengkreasikan sesuatu dengan kemampuan indera yang kita miliki.
Bagaimana cara membiasakan mereka mengalami proses kreatif tersebut. Sejak dini mereka sudah diarahkan untuk mengikuti kegiatan ekskul.Kegiatan ekskul bagi anak buat saya sama pentingnya dengan menyuruh mereka sekolah. Karena dengan memiliki kegiatan ekskul mereka dapat merasakan yang namanya proses kreatif. Untuk saat ini proses kreatif penting. Di jaman yang serba sulit dan kompetitif yang sangat ketat, kita dituntut untuk selalu kreatif dan inovatif.Kegiatan ekskul dapat disesuaikan dengan minat dan bakat si anak. Contohnya my son, dia lebih suka moto daripada nulis kayak emaknya. Boro-boro nulis, bacanya juga nggak terlalu suka, hehe. Kita memang tidak bisa memaksakan. Karena kalo dipaksa, takut anak jadi stress dan emaknya juga ikutan stress juga kan? hehe...
Jadi ingat jaman dahulu kala. Waktu bo-nyok (bokap-nyokap) memasukkan kami kakak-beradik yang manis-manis ini, colek Arie Skripsanti ke sebuah sanggar tari di daerah Tulodong Bawah. Kalo doski luwes banget menarikan segala macam tarian: Jawa, Bali dan Sumatera (eh, belom sampe ke sana sih levelnya, hehe..) sedangkan kakaknya kakuuu. Cuman jadi senyuman pelatihnya aja. Jadi kalo yang lain bisa ikutan tampil, saya dengan sendirinya 'tereliminasi' hehe...
Akhirnya bo-nyok masukin saya ke Bina Vokalia milik alm. Pranajaya di daerah Radio Dalam ketika saya kelas 5 SD. Nyokap nganterin naik bajaj kalo nganter atau pulang les, sementara peserta yang lain, berboil. Berderet mobil memenuhi les vokal tersebut. Bapak Pranajaya sendiri yang turun tangan melatih vokal 'calon-calon penyanyi' tersebut, hehe...Diriingi langsung dengan permainan piano, saya yang emang suka nyanyi tapi buta not nada, agak kesusahan ketika kami 'dites' untuk ikutan acara mereka di sebuah program rutin di TVRI. Dibantu teman-teman les saya, akhirnya saya 'lulus' tes not nada tersebut.
Ketika tahu saya akan masuk TV, kehebohan terjadi di kampung saya, hehe...apalagi kalo bukan ibu saya yang udah koar-koar kalo anaknya mo masuk TV, hehe...Mungkin ini pengalaman saya masuk TV pertama dan terakhir kalinya dalam hidup...
Mungkin jika pada saat itu sudah ada pelatihan penulisan untuk anak-anak SD saya akan minta pada bo-nyok untuk ikutan les. Sayang waktu itu jamannya les tari, les vokal, les musik. Tapi saya juga nggak tau bakat saya apa karena belom ada psikotest di sekolah-sekolah dasar atau menengah pada saat itu.
Jadi ketika saat ini jaman sudah merubah. Sudah semakin modern dan mengglobalisasi, mungkin sudah saatnya kita menuntun anak-anak kita untuk ikut merasakan sebuah proses kreatif sejak dari dini. Bukan saatnya lagi angka atau nilai menjadi sebuah barometer kesuksesan hidup seorang anak manusia.
Jadi ingat jaman dahulu kala. Waktu bo-nyok (bokap-nyokap) memasukkan kami kakak-beradik yang manis-manis ini, colek Arie Skripsanti ke sebuah sanggar tari di daerah Tulodong Bawah. Kalo doski luwes banget menarikan segala macam tarian: Jawa, Bali dan Sumatera (eh, belom sampe ke sana sih levelnya, hehe..) sedangkan kakaknya kakuuu. Cuman jadi senyuman pelatihnya aja. Jadi kalo yang lain bisa ikutan tampil, saya dengan sendirinya 'tereliminasi' hehe...Akhirnya bo-nyok masukin saya ke Bina Vokalia milik alm. Pranajaya di daerah Radio Dalam ketika saya kelas 5 SD. Nyokap nganterin naik bajaj kalo nganter atau pulang les, sementara peserta yang lain, berboil. Berderet mobil memenuhi les vokal tersebut. Bapak Pranajaya sendiri yang turun tangan melatih vokal 'calon-calon penyanyi' tersebut, hehe...Diriingi langsung dengan permainan piano, saya yang emang suka nyanyi tapi buta not nada, agak kesusahan ketika kami 'dites' untuk ikutan acara mereka di sebuah program rutin di TVRI. Dibantu teman-teman les saya, akhirnya saya 'lulus' tes not nada tersebut. Ketika tahu saya akan masuk TV, kehebohan terjadi di kampung saya, hehe...apalagi kalo bukan ibu saya yang udah koar-koar kalo anaknya mo masuk TV, hehe...Mungkin ini pengalaman saya masuk TV pertama dan terakhir kalinya dalam hidup...Mungkin jika pada saat itu sudah ada pelatihan penulisan untuk anak-anak SD saya akan minta pada bo-nyok untuk ikutan les. Sayang waktu itu jamannya les tari, les vokal, les musik. Tapi saya juga nggak tau bakat saya apa karena belom ada psikotest di sekolah-sekolah dasar atau menengah pada saat itu.Jadi ketika saat ini jaman sudah merubah. Sudah semakin modern dan mengglobalisasi, mungkin sudah saatnya kita menuntun anak-anak kita untuk ikut merasakan sebuah proses kreatif sejak dari dini. Bukan saatnya lagi angka atau nilai menjadi sebuah barometer kesuksesan hidup seorang anak manusia.Jadi ingat jaman dahulu kala. Waktu bo-nyok (bokap-nyokap) memasukkan kami kakak-beradik yang manis-manis ini, colek Arie Skripsanti ke sebuah sanggar tari di daerah Tulodong Bawah. Kalo doski luwes banget menarikan segala macam tarian: Jawa, Bali dan Sumatera (eh, belom sampe ke sana sih levelnya, hehe..) sedangkan kakaknya kakuuu. Cuman jadi senyuman pelatihnya aja. Jadi kalo yang lain bisa ikutan tampil, saya dengan sendirinya 'tereliminasi' hehe...Akhirnya bo-nyok masukin saya ke Bina Vokalia milik alm. Pranajaya di daerah Radio Dalam ketika saya kelas 5 SD. Nyokap nganterin naik bajaj kalo nganter atau pulang les, sementara peserta yang lain, berboil. Berderet mobil memenuhi les vokal tersebut. Bapak Pranajaya sendiri yang turun tangan melatih vokal 'calon-calon penyanyi' tersebut, hehe...Diriingi langsung dengan permainan piano, saya yang emang suka nyanyi tapi buta not nada, agak kesusahan ketika kami 'dites' untuk ikutan acara mereka di sebuah program rutin di TVRI. Dibantu teman-teman les saya, akhirnya saya 'lulus' tes not nada tersebut. Ketika tahu saya akan masuk TV, kehebohan terjadi di kampung saya, hehe...apalagi kalo bukan ibu saya yang udah koar-koar kalo anaknya mo masuk TV, hehe...Mungkin ini pengalaman saya masuk TV pertama dan terakhir kalinya dalam hidup...Mungkin jika pada saat itu sudah ada pelatihan penulisan untuk anak-anak SD saya akan minta pada bo-nyok untuk ikutan les. Sayang waktu itu jamannya les tari, les vokal, les musik. Tapi saya juga nggak tau bakat saya apa karena belom ada psikotest di sekolah-sekolah dasar atau menengah pada saat itu.Jadi ketika saat ini jaman sudah merubah. Sudah semakin modern dan mengglobalisasi, mungkin sudah saatnya kita menuntun anak-anak kita untuk ikut merasakan sebuah proses kreatif sejak dari dini. Bukan saatnya lagi angka atau nilai menjadi sebuah barometer kesuksesan hidup seorang anak manusia.Jadi ingat jaman dahulu kala. Waktu bo-nyok (bokap-nyokap) memasukkan kami kakak-beradik yang manis-manis ini, colek Arie Skripsanti ke sebuah sanggar tari di daerah Tulodong Bawah. Kalo doski luwes banget menarikan segala macam tarian: Jawa, Bali dan Sumatera (eh, belom sampe ke sana sih levelnya, hehe..) sedangkan kakaknya kakuuu. Cuman jadi senyuman pelatihnya aja. Jadi kalo yang lain bisa ikutan tampil, saya dengan sendirinya 'tereliminasi' hehe...Akhirnya bo-nyok masukin saya ke Bina Vokalia milik alm. Pranajaya di daerah Radio Dalam ketika saya kelas 5 SD. Nyokap nganterin naik bajaj kalo nganter atau pulang les, sementara peserta yang lain, berboil. Berderet mobil memenuhi les vokal tersebut. Bapak Pranajaya sendiri yang turun tangan melatih vokal 'calon-calon penyanyi' tersebut, hehe...Diriingi langsung dengan permainan piano, saya yang emang suka nyanyi tapi buta not nada, agak kesusahan ketika kami 'dites' untuk ikutan acara mereka di sebuah program rutin di TVRI. Dibantu teman-teman les saya, akhirnya saya 'lulus' tes not nada tersebut. Ketika tahu saya akan masuk TV, kehebohan terjadi di kampung saya, hehe...apalagi kalo bukan ibu saya yang udah koar-koar kalo anaknya mo masuk TV, hehe...Mungkin ini pengalaman saya masuk TV pertama dan terakhir kalinya dalam hidup...Mungkin jika pada saat itu sudah ada pelatihan penulisan untuk anak-anak SD saya akan minta pada bo-nyok untuk ikutan les. Sayang waktu itu jamannya les tari, les vokal, les musik. Tapi saya juga nggak tau bakat saya apa karena belom ada psikotest di sekolah-sekolah dasar atau menengah pada saat itu.Jadi ketika saat ini jaman sudah merubah. Sudah semakin modern dan mengglobalisasi, mungkin sudah saatnya kita menuntun anak-anak kita untuk ikut merasakan sebuah proses kreatif sejak dari dini. Bukan saatnya lagi angka atau nilai menjadi sebuah barometer kesuksesan hidup seorang anak manusia.

Jadi untuk adalah beberapa hal yang harus diperhatikan kita selaku orang tua dalam menuntun proses kreatif sang anak:1. kenali bakat dan minat anak, karena setiap anak memiliki bakat dan minat yang berbeda. Jangan memaksakan mereka mengikuti trend yang sedang in. Misalhnya sekarang sedang mem-booming menjadi penulis cilik, maka kita memaksakan mereka untuk ikutan pelatihan penulisan sedangkan mereka lebih suka fotografi misalnya.2. pilih pelatihan yang kompeten sesuai dengan minat dan bakat si anak tersebut. Pelatihan bisa diikuti dengan berbagai cara. Ada yang online atau offline, ada yang gratis dan yang pra bayar. Sesuaikan dengan kemampuan bugdet Anda. Namun jangan juga Anda pelit dalam menyediakan anggaran tersebut. Hitung-hitung sebagai investasi buat mereka. Namun juga jangan memaksakan di luar batas kemampuan Anda, hehe..3. ikuti prosesnya sebagai sesuatu yang alamiah dan menarik untuk diikuti. Jangan memaksa ketika si anak sudah mengikuti proses tersebut, si anak harus mendapatkan penghargaan lomba atau menghasilkan 'sesuatu' dari proses tersebut. Ikuti saja prosesnya dengan 'cool'.

Demikian sharing super emak ini, mudah-mudahan bermanfaat...