Sinopsis Novel:
A Heart’s Journey: Menuju
Relung Hati
Ketika kamu mencoba menghindar, mengapa pesonanya
begitu kuat mengikatmu.
Kamu tidak bisa berlari atau bersembunyi dari
bayangannya yang kerap menguasaimu setiap saat.
Adelia sadar, seseorang telah membawa hatinya entah
kemana. Ketika sebuah perpisahan membuat mereka berjalan pada sebuah jalan yang
sunyi.
Namun pada akhirnya sebuah garis hidup yang yang
membawa mereka memasuki sebuah relung hati, setelah menempuh perjalanan panjang
dan berliku.
Dan Fey baru menyadari bahwa relung hatinya hanya dapat
terisi oleh Adelia.
BAB
2
SESUATU
BERNAMA CINTA
September
2002
Feyza
Kami tengah tiduran di kamarku seraya
ditemani lagu-lagu pop lama. Sebetulnya ini CD punya Kak Mela, yang kuambil
dari kamarnya. Aku lihat ada sebuah lagu yang berjudul ‘September Ceria’,
rasanya pas mewakili perasaanku saat ini.
“Bah,
kenapa lagu-lagu kau mellow kali,
teman!” Bastian membuka matanya sedikit. Baru ‘ngeh’ rupanya dia. Sedari tadi
matanya sudah terpejam setelah perutnya kekenyangan, setelah makan siang gratis
di rumahku.
“Biarin...kau
tidur sajalah!”
Kupandangi
langit-langit kamar yang dihiasi paper
wall bergambar bentuk-bentuk bangunan keajaiban dunia. Namun mengapa wajah
itu muncul secara tiba-tiba. Sudah kukatakan, masih kalah cantik dengan jejeran
primadona di sekolahku. Termasuk Angel.
Namun
mengapa, gadis itu sudah membuatku tidak bisa tidur nyenyak? Seakan wajah
lembutnya dan kemanisan sikapnya sudah membuat organ-organ di tubuhku tidak
berfungsi secara maksimal.
Kulempar
bola basket mungil ke ring basket di sudut kamar. Masuk! Kegaduhan yang membuat
Bastian terbangun.
“Ada
apa dengan kau, teman? Gelisah kali kulihat!” Bastian bangkit menuju kulkas
mini. Diambilnya dua kaleng coke.
“Bas,
menurutmu...antara dua anak baru itu, mana yang paling menarik?”
Bastian
bengong. Diberikannya sekaleng untukku. Langsung kubuka dan kuteguk seperti
kehausan. Dia memandangku yang tidak biasanya siang ini. Seperti cacing
kepanasan yang tidak tenang menikmati istirahatnya.
“Jelas
Angel-lah. Angel itu kan blasteran. Ternyata di Jakarta dia foto model. Tapi
Adelia oke juga. Anaknya baik, pintar dan dia itu cerpenis remaja, keren!
Karyanya udah bejibun banyaknya,” Bastian menikmati coke-nya.
“Angel
dan Adelia, bagai bumi dan langit. Angel borju, Adel sederhana. Simpel. Namun
kerendahan hatinya telah mengangkat ketinggian budinya,” Bastian berfilsafat.
“Tumben
kali omongan kau. Sok bermutu, Bah!” kulirik dengan wajah tak rela.
“Jadi
siapa yang kau taksir, Angel atau Adel?”
Bastian
cengar-cengir.
“Kalau
boleh milih, aku Adel ajalah. Kalau kau suka Angel, kau ambillah!”
Aku
tak menjawab, malah beranjak ke kamar mandi. Kubasahi tubuhku. Berharap
bayangannya lenyap. Kudengar Bastian pamit pulang. Namun, aku hanya menjawab
sambil lalu.
Bayangan itu semakin
kuat mengikatku! Kulempar shower ke
bak mandi dengan kesal.
BAB
4
BERPISAH
Februari
2003
Adelia
Aku tahu, hubungan ini
pasti akan berakhir. Entahlah, kami merasa terlalu muda untuk merancang masa
depan bersama. Kami masih memiliki sebuah mimpi yang butuh waktu yang cukup
panjang untuk mewujudkan.
Pada akhirnya, orang tuaku mengetahui hubungan ini. Para
tetangga depan kompleks yang curiga terhadap laki-laki muda berseragam SMA atau
berbusana bebas selalu setia menungguku di depan sebuah warung. Salah satu dari
mereka mengabarkannya kepada Mama dan terdengar juga oleh Papa.
Semalaman aku diadili, persis seorang terdakwa yang
melakukan sebuah kesalahan besar.
Akhirnya, aku berkata jujur pada mereka. Papa tentu
murka, karena dianggapnya sudah mencoreng nama baiknya, karena melakukan
hubungan sembunyi-sembunyi dengan seorang laki-laki.
“Mau simpan dimana muka Papa, Adel. Kau ini anak tentara,
harusnya kau bisa memberikan contoh yang baik sebagai anak tentara. Ini kau
malah memalukan nama Papa dan Mama. Buat apa kau dijemput dan diantar depan
warung, seperti cewek tidak benar saja kau...”
“Pa, ini atas kehendak Adel. Adel yang tidak mau
membawanya ke rumah ini, karena Adel tahu, Papa dan Mama tidak akan setuju...”
“Iya-lah tidak setuju! Kau sebentar lagi mau ujian akhir,
bukannya belajar yang benar, malah pacaran!”
Blam! Papa murka dan membanting pintu kamarnya. Aku hanya
tertunduk tak berdaya. Mama selalu mengelus rambutku jika dilihatnya aku sedih
atau galau.
“Kamu sabar ya, Del. Kamu kan tahu sendiri, gimana Papamu
itu. Perkataannya tidak bisa dibantah. Kamu masih muda, Del. Jalanmu masih
panjang. Banyak yang bisa kamu raih. Katanya kamu mau jadi jurnalis, mau jadi
penulis juga. Iya kan?” Suara Mama terdengar lembut. Aku hanya mengangguk.
“Sekarang kamu fokus dengan studimu. Mumpung masih ada
waktu untuk mempersiapkan ujian akhir dan persiapan masuk perguruan tinggi
negeri. Mama hanya berdoa, semoga Tuhan memberikan jalan yang terbaik.”
Aku tahu, Mama memang tidak menyuruhku untuk memutuskan
hubungan dengan Fey. Namun dari kata-katanya barusan, aku tahu apa yang
tersirat dari nasehatnya itu.