Senin, 30 Juni 2014

Hidup seperti..

Hidup seperti sebuah bangunan kubus. Ketika di satu sisi kita merasakan kebahagiaan, namun tiba-tiba di sisi lain kita juga merasakan kesedihan. Ada kala kita berada pada satu titik nadir yang membuat kita tak berdaya. Tapi percayalah Tuhan tak pernah tidur, Dia akan selalu menjaga dan membantu kita dalam keterpurukan.
Kebahagiaan dan kesedihan bagai mata uang yang saling melengkapi. Air mata dan senyuman selalu bergantian menghias kehidupan kita.
Ketika melihat pelangi, nikmati keindahan warna-warninya. Namun ketika hujan tiba-tiba turun, hirup udara segar khas kala hujan. Hujan pun begitu indah, ketika kita menikmatinya dalam rasa syukur...

Minggu, 29 Juni 2014

A Thousand Years



Tahukah kau,
kau telah menciptakan dunia yang indah untukku,
isinya warna-warni pelangi, daun-daun beterbangan, nyanyian hujan
mentari yang hangat, senja yang berkilauan
kuingin bisa sampai ribuan tahun,
tapi mungkinkah...

Tahukan kau,
kau telah melukiskan mimpi-mimpi indah
sebagian sudah terwujud,
sebagian lagi, masih kita kejar
dalam derap langkah kita
dalam ribuan tahun, mungkin baru bisa terwujud semuanya,
namun mungkinkah...

Karena kini,
pelangi tak lagi muncul, daun-daun telah berguguran, hujan tak lagi bernyanyi
mentari masih di peraduannya dan senja yang makin suram
mimpi-mimpi itu hanya dapat tergambar dalam awan-awan putih
yang tampak indah, namun kosong di dalamnya
begitu pun hari-hariku kini,
semua tak lagi indah,
sunyi senyap..

Keindahan itu berganti dalam keheningan
dalam derau angin,
menerbangkan kelopak bunga yang telah patah
hingga kupu-kupu enggan datang
pagi yang suram,
sesuram hatiku kini...

Jumat, 27 Juni 2014

Butiran Air Mata



Tidak bisakah kau menahan air mata agar tidak terjatuh membasahi pipimu?
Katamu, air matamu terjatuh karena tak terbendung lagi kesedihanmu.
Kalau kau menyesali hari-harimu yang telah terlewat,
mungkin sudah terlambat,
dia tidak akan muncul bersamaan dengan pagi barumu.
Jika kau hitung berapa lama kesedihan itu akan singgah?
jawabannya akan sesulit, berapa banyak tawa yang sudah kau berikan?
Waktu yang telah lewat, tidak akan tergantikan oleh impian-impianmu?
Jadi, nikmati saja keindahan angin yang menderu senja ini,
menerbangkan daun-daun yang berguguran,
karena siapa tahu, senja ini akan menjadi senja yang terakhir untukmu...

Kamis, 26 Juni 2014

Burung-Burung Beterbangan



Aku hanya bisa memandangmu dari jauh, jauuuh sekali...seperti dulu kamu suka memandangku diam-diam...Namun dalam diam, aku seperti dapat membaca isi hatimu.
Namun sayang, cerita tidak dapat kita karang sendiri. Ceritanya tidak seindah kisah-kisah dalam 1001 malam. Kita menjalani kehidupan yang sendiri-sendiri.
Seperti burung-burung yang beterbangan ke segala arah. Aku ke barat, kamu ke timur.
Aku menatap senja berwarna jingga...bayanganmu semakin memudar, menghilang seperti perginya senja...
Kumpulan burung beterbangan ke segala arah,
aku terpesona dengan keindahannya,
sepertinya kisah kita dulu, dulu...








Rabu, 25 Juni 2014

Tentang Jeff


Suatu sore di sudut kantin sekolah. Jeff sedang menikmati segelas milkshake coklat kesukaannya. Kupandangi gelas tinggi berisi jus strawberry favoritku tanpa selera. Entah mengapa sore ini aku merasa bad mood.
          “Kamu kenapa sih, Gi? BT gitu? Bingung mau kuliah dimana?”
          Aku hanya tersenyum saja menanggapi pertanyaan Jeff.
          “Mana dong Regi yang kukenal? Regi sahabatku yang selalu ceria, yang selalu memandang hidup ini indah!”
          Kenapa sih, Jeff, elo cuma nganggap gue sahabat elo aja? Gimana kalo gue bilang, gue suka ama elo. Lebih dari sahabat. Seandainya bisa, Tuhan. Seandainya ada keajaiban yang datang pada gue. Dapat berubahkah perasaan elo pada gue, Jeff?
          “Besok naik kereta jam berapa?” tanyaku malas. Jeff memandangiku. Dia pun menjawab enggan. “Jam lima sore.”
           “Jadi rencana kamu gimana? Jadi ikutan ‘SPMB’? Jadi milih UNDIP? Seandainya kamu masih di sini. Kita nggak perlu berpisah,” kupandangi wajah coklatnya. Jeff tersenyum. “Come on, Gi. Kehidupan harus terus berjalan. Tapi persahabatan kita tetap selamanya.”
          “Walau nanti kamu mendapatkan pengganti Vita?”
          Jeff terbahak. “Biar nanti aku udah merit pun kamu tetap sahabatku, Regi.”
          “Jadi kamu tuh sebetulnya udah ‘nyimpen’ cewek di sana yah, Jeff?” godaku lagi. Aku tidak tahu apakah harus bahagia atau sedih.
          Jeff tersenyum. “Sekarang yang aku inginkan aku bisa kuliah sebaik-baiknya. Jadi sarjana lalu kerja. Dan membahagiakan kedua orang tuaku.”
          “Gi, kamu ingat gak pertama kali kita ketemu?” tanyanya tiba-tiba. Aku tersenyum. Ingat kejadian lucu tiga tahun yang lalu.
          “Waktu itu kamu bentak aku hanya karena aku tanya hari kedua ‘Orientasi Sekolah’ bawa apa aja...”
          “Abis aku juga kena bentak kakak senior yang paling sadis gara-gara aku nanya ukuran korek apinya,” potongku tidak mau kalah. “Tapi sorry yah, Jeff. Biar udah aku bentak kamu nggak dendam. Malah nolongin aku. Kalo gak, aku pasti disuruh maju dan dihukum macem-macem.”
          “Kamu tuh lucu, Gi. Kupikir kamu tuh cewek paling galak diantara anak-anak yang lain, taunya waktu kamu nangis-nangis saking paniknya karena tugas kamu belum selesai, aku nggak tega juga,” Jeff tersenyum lebar.
          “Gimana aku nggak panik. Aku disuruh bawa Greensport. Padahal saat itu kan minuman itu udah gak ada lagi. Cuma kamu yang bisa nolong. Untung bude kamu masih nyimpen botol itu. Kamu ngasih ide supaya air jeruk dimasukin ke botol itu aja biar nggak ketauan.”
          Sejak itu persahabatan kami terjalin. Bagiku Jeff sahabat yang paling baik. Waktu Eyang meninggal, Jeff yang mengantarku ke Semarang. Memang sih dia juga sekalian mau pulang kampung. Tapi setidak-tidaknya aku punya teman berbagi kesedihan. Sementara keluargaku berangkat duluan karena aku harus mengikuti ujian kenaikan kelas. Jeff juga yang mendengar keluh kesahku soal Rendy.
          “Aku udah bilang sama kamu, Gi. Putusin Rendy! Buat apa sih kamu menyiksa diri,” nasehatnya waktu itu. Ahh, Jeff, seandainya kamu tahu! Aku terpaksa menerima cinta Rendy karena aku tahu sia-sia saja menunggu cinta darimu. Kamu tidak pernah mencintaiku.        
“Aku nggak setuju kamu pacaran sama Rendy, Gi. Kamu kan tau sendiri tipe cowok macam apa Rendy itu. Korban broken-home, playboy, tukang bolos sekolah. Sementara kamu. Pinter, aktivis OSIS, ketua kelas. Dunia kalian tuh berbeda.”
          “Aku cuma kasian aja ama dia, Jeff. Dia perlu kasih sayang. Itu nggak dia dapetin di rumahnya.”
           Dari rasa kasihan itu aku ‘pura-pura’ mencintainya. Kutemani hari-harinya. Alhamdulillah, perlahan Rendy dapat merubah tingkah lakunya. Dia jadi rajin sekolah, lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah  dan yang penting dia bisa menghargai wanita.
Tapi lama-lama aku tidak kuat juga. Aku tidak bisa membohonginya terus-menerus. Aku terpaksa berkata jujur. Rendy marah. Dia tidak menyangka aku tega berbuat seperti itu.
          “Ini demi kebaikan kamu, Rendy. Aku ingin kamu berubah. Kasihan ortu kamu yang udah susah-susah biayain kamu sekolah, kalo kamu sia-siain begitu aja...”
          “Ala, sok tau kamu! Aku tau kenapa kamu tega berbuat seperti ini terhadapku. Karena Jeff, ‘kan? Aku tau sebetulnya kamu mencintai dia. Kamu cuma pengen buat Jeff jeles!”
          “Kok ngelamun, Gi, inget Rendy yah?” tiba-tiba Jeff menyentuh tanganku. Aku tersenyum. “Kasian Rendy, yah Jeff? Aku nggak tau dimana dia sekarang. Sejak dia tidak naik kelas, dia pindah sekolah.
          “Aku merasa bersalah, Jeff...”
          “Ssttt, jangan ngomong gitu, Gi. Rendy patah hati karena dia amat mencintai kamu.”
          Tiba-tiba aku tertawa. “Cinta itu apa sih, Jeff? Aku nggak pernah tau. Dan aku nggak pengen cinta datang kalo cuma buatku menderita.”
          Jeff juga sama gilanya sore ini. “Sama. Aku juga nggak ngerti cinta itu apa. Di saat aku pengen merasakannya dengan seorang cewek yang betul-betul aku cintai, cewek itu cuma pengen memanfaatkan kebaikanku aja. Aku juga nggak pengen jatuh cinta kalo cuma buat aku sakit hati.”
          Lalu kami sama-sama tertawa terbahak-bahak. Ahh, kapan lagi bisa ’gila’ bareng. Air mataku sampai berjatuhan. Kulihat bahu kokoh Jeff terguncang-guncang saking hebohnya dia tertawa.
          Mendadak aku terdiam. Tuhan, kapan akan kutemui mata kelam itu lagi? Mata yang selalu memandangiku lembut. Yang selalu kutebak-tebak apa artinya? Besok terakhir aku menikmatinya. Setelah itu Jeff akan pergi dari kehidupanku. Walau dia tidak ingin persahabatan kami berhenti, tapi aku yang ingin. Aku tidak ingin terbelenggu oleh sosok Jeff selamanya.
          “Ada apa, Gi?” tanyanya begitu aku terdiam. Perlahan aku menggeleng. “Sore ini saat-saat terakhir kita menikmati kebersamaan kita, Jeff. Aku nggak tau apa nanti aku punya sahabat lagi yang bebas ngomong apa aja seperti kamu. Curhat segala macem. Bagiku kamu sahabat yang paling baik.”
          Jeff mengangguk. “Kamu juga. Kalo bukan kamu yang comblangi aku dengan Vita mungkin aku nggak pernah ngerasain yang namanya pacaran,” katanya lugu.
          Aku tersenyum kecil. Terbayang lagi masa-masa ‘sakit hati’ itu. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa berperan sebaik itu. Memerankan seorang mak comblang yang sukses, padahal hatiku sendiri menjerit pilu.
          Malam Minggu pertama Jeff mengajak kencan Vita. Dia menelpon aku dulu sebelum menjemput Vita. Perasaaku terasa hampa begitu kudengar suaranya yang bahagia. Aku sengaja menghindar ketika dia sedang hepi-hepinya dengan Vita. Jeff sempat protes.
          “Walau aku telah memiliki Vita bukan berarti persahabatan kita renggang seperti ini, Gi.”
          “Tapi aku gak pengen Vita nuduh yang macem-macem dengan persahabatan kita, Jeff.”
          “Emangnya dia nuduh kamu?”
          “Nggak sih. Tapi aku kan tau diri, Jeff. Udah deh nikmati aja hubungan kamu sama Vita. Aku lagi pengen sendiri,” kutinggalkan Jeff. Rasanya aku ingin menjerit. Baru kali ini hatiku terasa sakit sekali. Aku tidak pernah merasakan sebelumnya. Pun ketika  aku putus dengan Rendy.
          Tapi masa-masa manis Jeff cuma berjalan enam bulan. Vita memutuskan hubungan begitu saja ketika dia bertemu lagi dengan seorang cowok yang lebih ‘oke’ ketimbang Jeff. Sejak itu, hampir setiap hari Jeff menelpon aku. Apalagi kalau curhat soal Vita.
          Tidak terasa begitu kulirik jam tanganku, sudah jam setengah enam sore! Ya, ampun! Saking asyiknya ngobrol, sampai tidak terasa kalau di luar sana sudah mulai gelap. Sebentar lagi Maghrib.
          “Yuk, kuantarkan kamu pulang,” setelah membayar minuman, kami menuju tempat parkir. Dia membukakan pintu mobil untukku. Kebetulan sore ini dia pinjam mobil budenya. Sesaat aku tertegun. Kapan lagi ada seorang cowok yang begitu jentelnya memperlakukan aku seperti ini? Ahh, Jeff, andaikan tidak ada perpisahan, keluhku sambil menarik nafas panjang.
*****
          Jeff, aku selalu menikmati hari-hari kita dulu. Setiap bersamamu, selalu mengesankan hatiku. Di saat kita bertengkar pun, bagiku momen itu meninggalkan kenangan tersendiri.
          Jeff, aku selalu dapat menghapal dengan baik, mimikmu bila bercerita. Seru! Dan aku selalu tertawa terkekeh-kekeh melihat gaya bicaramu yang kuanggap lucu. Itu kulakukan hanya ingin menutupi perasaanku sendiri. Betapa aku bahagia bersamamu. Bahagia mendengar ceritamu. Bahagia dengan kebersamaan kita.
          Mendadak aku akan terdiam jika kamu menyinggung soal Vita. Yap, Vita! Gadis cantik yang lincah itu telah mencuri hatimu. Kamu dengan malu-malu mulai mencurahkan isi hatimu yang kudengarkan dengan  pura-pura sepenuh hati.
          “Kamu bisa bantu aku, kan, Gi?” kamu menatapku dalam. Tuhan, jika tidak ada gadis bernama Vita, ingin kusentuh tanganmu yang kokoh dan kubisikkan padamu kalau aku cinta kamu!
          “Gi,” malah kamu yang menyentuh tanganku. “Sori, aku selalu merepotkanmu,” wajahmu yang coklat menatapku bersalah.
          “Nggak, Jeff. Aku akan bantu kamu kok. Kamu sahabatku,” kata sahabat kutekan sedalam mungkin. Walau pahit, itulah kenyataannya.
          “Kupikir sia-sia juga menyukai Vita. Dia pasti tidak menyukaiku.”
          “Dari mana kamu tau?”
          “Aku merasa begitu kok.”  
          Aku tertawa perlahan. “Kamu minder, yah?” Vita anak yang cukup tajir, cukup populer di sekolah ini. Salah satu kembang sekolah.
          Kamu mendelik tidak suka. “Aku nggak minder. Tapi aku denger dia udah punya pacar. Betul nggak sih, Gi?”
          “Kudenger juga begitu.”
          “Cari cewek lain dong! Susah banget sih.”
          “Kamu mau jadi cewekku, Gi?” pintamu tiba-tiba. Jantungku langsung berdebar tidak karuan. Kutatap matamu. Kamu pasti sedang bercanda.
          “Ahh, kamu sendiri nggak mau,” kamu tertawa pelan. “Aku emang bukan cowok yang bisa dibanggakan. Aku cuma Jeff, laki-laki biasa yang tidak punya apa-apa. Seharusnya aku emang nggak mikirin cewek dulu. Tapi Vita, ahh dia terlalu sayang untuk dilupakan,” matamu kembali menerawang.
          Bunyi ponsel membuyarkan lamunan panjangku.        
          “Hai, kamu belom pergi juga?”
          “Hai, Jeff, kamu udah di Gambir, kok cepet banget?” aku melirik jam dinding. Masih jam satu siang. Padahal keretanya sendiri baru berangkat jam lima sore.
          “Tadi aku sekalian ikut budeku yang mau ke Pasar Baru. Mangkanya daripada aku bengong sendirian, mendingan kamu langsung pergi aja, Gi. Kita masih punya waktu buat ngegosip,” katanya semangat.
          “Oke deh, aku berangkat sekarang,” bergegas kuambil tas ransel kulitku dan pamit pada Mama. Rumahku yang berdekatan dengan stasiun KA kampus UI. Aku cukup berjalan kaki menuju stasiun. Untunglah cuma nunggu beberapa menit, KA Jabotabek jurusan Kota datang. Aku segera naik.
          Penumpang kereta tidak berjubel seperti biasanya. Aku leluasa duduk di dekat pintu dengan pikiran yang menerawang kemana-mana.
          Rasanya baru kemarin ketika Jeff mengajakku main ke Bogor meminjam motor sepupunya. Ketika pulang, hujan turun sangat deras. Jeff memberikan jaketnya untuk kupakai. Dengan badan menggigil kami terpaksa berhenti di sebuah mushola kecil.
          “Sori yah, Gi,” katanya minta maaf. Aku cuma tersenyum aja. Dan ketika perjalanan terpaksa dilanjutkan lagi karena sudah malam. Jeff ngebut untuk mengejar waktu supaya  tidak kemalaman. Beberapa kali dia ngerem mendadak. Tubuhku bersentuhan dengan punggungnya yang kokoh. Dadaku langsung berdebar-debar. Norak!
          Aku tersenyum sendiri. Seorang ibu di depanku menatapku heran. Siapa yang peduli. Aku melanjutkan kembali lamunanku.
          Rasanya juga baru kemarin ketika Jeff mengajakku nonton acara LA Lights Jazz di kampus UI. Informasi mengenai acara-acara kampus yang terbuka untuk umum, selalu kutahu dari sepupuku Mira, yang kuliah di UI.
          Suasananya begitu asyik karena kulihat semua penonton menikmati permainan musik grup jazz tersebut. Beberapa kali kepala Jeff bergoyang mengikuti irama musik yang mengasyikkan. Kami larut dalam suasana yang mengasyikka itu.
          “Wah, gila, mereka kreatif banget,” puji Jeff pada sebuah bintang tamu yang mengkombinasikan musik jazz dengan alat musik tradisional. Aku mengangguk setuju. Siang itu aku hepi banget. Kami bisa sama-sama nonton acara musik jazz itu. Bagiku kesempatan itu jarang terjadi.
          Lamunanku terputus begitu kereta berhenti. Aku lihat baru sampai stasiun Manggarai. Kulirik jam tangan. Jam tiga kurang. Ya, ampun lama juga perjalanan! Tadi di stasiun Pasar Minggu kereta juga berhenti agak lama.
          Sampai sepuluh menit kereta belum juga berangkat. Kulirik jam tangan tidak sabar. sudah jam tiga lewat sepuluh menit. Aku terpaksa turun. Segera kustop taxi yang kebetulan mangkal di depan stasiun Manggarai.
          “Gambir, Pak,” kataku tidak sabar.
          Begitu sampai di Gambir jam sudah menunjukkan jam empat kurang lima belas menit. Gila juga, makiku begitu melihat argo taxi. Jakarta sekarang tidak toleransi lagi soal waktu dan tempat. Jam berapa pun pasti macet!
          Setengah berlari aku naik ke lantai dua. Tapi Jeff tidak kelihatan. Apa mungkin dia menunggu di lantai tiga, dipikirnya pasti aku naik KA Jabotabek? Aku naik lagi. Dengan nafas yang masih terengah-engah kucari Jeff. Tapi tidak kelihatan juga.
          Pufff! Kutarik nafas kuat-kuat. Kucoba tenang. Barangkali Jeff ada kafe. Mungkin dia menungguku di sana? Begitu aku turun, kudengar suara sms masuk ke ponselku. Dia menungguku di lantai satu. Tolol, mengapa aku tidak menelponnya sedari tiba di Gambir, aku memaki diriku sendiri.
          Jeff sialan! aku ngomel-ngomel. Tapi kali ini aku tersenyum lega.
          “Kemana aja sih, Gi?” tanya Jeff begitu melihatku. Kuceritakan semuanya. Jeff tertawa ngakak. “Jadi waktu kamu naik ke lantai tiga, aku malah turun ke bawah. Soalnya aku tungguin KA Jabotabek, kok kamu nggak muncul. Aku pikir kamu naik taxi. Aku telpon tapi kamu nggak ngangkat ponselmu.”
          Jeff langsung mengajakku ke kafe. Dia pesan secangkir kopi krem dan aku  lemon tea. “Makan. Gi?” tawarnya. Aku menggeleng. “Nggak laper.”
          Cuma sisa satu jam pertemuanku yang terakhir dengannya. Heran, kali ini kami lebih banyak diam. Beberapa kali kulihat dia meneguk minumannya. Minumanku sendiri tinggal setengah.
          “Haus, Gi? Kok gelasnya bocor yah?” dia mencoba mencair suasana dengan meledekku.
          “Huh,” kumonyongkan bibirku. Dia memang suka menggodaku. Jeff tertawa panjang. “Kapan lagi kita bisa seperti ini yah, Gi?”
          Kuteguk lagi minumanku. “Awas, kalo aku ke Semarang, kamu nggak mau main ke rumah Eyangku!” ancamku pura-pura galak.
          “Beres! Entar aku ajak jalan-jalan kelilingi kota Semarang. Aku nelaktir kamu deh. Mau makan, nonton, tinggal bilang aja.”
          “Bener yah? Awas, kalo kamu bohong!” kami tertawa lagi. Heboh! Beberapa pengunjung melihat ke arah kami dengan tatapan tidak suka. Tapi siapa yang peduli. Ini saat-saat terakhir aku bersamanya.
          “Seharusnya kamu kuliah aja di Kedokteran UI, gak perlu mudik lagi ke Semarang,” tak sengaja kutatap mata kelamnya. Jeff tersenyum.
          “Bapakku sekarang sudah pensiun, Gi. Beliau ingin membantu meneruskan usaha keluarganya. Nggak salah kan, kalo aku juga ikut membantunya. Apalagi alasanku ‘kabur’ ke Jakarta karena aku tidak tahan melihat orang tuaku selalu bertengkar. Ini bentuk protesku terhadap mereka. Syukurlah, kini mereka sudah akur lagi, Gi.”
          Aku terdiam. Memandangi gelas tinggi berisi tea lemon. Setiap orang memiliki kehidupan sendiri-sendiri. Rendy yang memilih lari dari masalah, dan tak mau kembali. Jeff lebih baik, dia pun menutupi kekecewaannya dengan memilih jalan hidupnya sendiri. Melanjutkan SMU-nya ke Depok, tinggal bersama budenya. Kini dia memilih kembali keluarganya yang masih membutuhkan kehadirannya.
          Sedangkan aku? Kupandangi langit dari jendela kafe. Aku ibarat awan-awan biru, seperti kelihatannya indah. Namun di dalamnya terasa hampa, kosong...
          “Udah jam lima kurang dua puluh menit, Gi. Kayaknya aku harus siap-siap deh...Shit!” Jeff merogoh kantongnya. “Aku lupa belum beli tiket, Gi!”
          Aku geleng-geleng kepala. “Aduuh, kamu tuh gimana sih, Jeff? Niat pulang gak sih?
          Jeff menggeleng. “Rasanya aku masih pengen di sini sama kamu. Ok, kamu nunggu dulu ya, Gi. Aku ke bawah dulu,” Jeff langsung pergi. Sepuluh menit kemudian, dia datang dengan senyum lebar. “Untung masih kebagian, Gi.”
          “Kamu niat pulang nggak sih?” tanyaku pura-pura marah. Pertanyaan itu kuulang lagi. Aku berharap dia membatalkan kepergiannya.
Jeff tersenyum. “Sebetulnya nggak sih. Aku berat berpisah sama kamu, Gi,” dia menatapku lama. Membuatku salah tingkah.
Rasanya aku membayangkan Jeff mengajakku pergi bersama. Kami pergi naik kereta api, entah tujuan kemana. Dengan masing-masing big ransel di punggung, kami seperti ingin pergi berlibur. Travelling ke sebuah tempat.
Namun ternyata, Jeff lalu mengajakku naik ke lantai tiga.
          Kereta jurusan Semarang sudah datang. Jeff mengajakku masuk ke dalam. Menemani mencari nomor bangkunya. “Nih, Jeff,” tunjukku pada nomor 8A. Jeff meletakkan big ransel dan sebuah tas travelnya ke tempat penyimpanan.
          “Udah yah, Jeff, aku turun. Entar kebawa sampe ke Semarang nih,” candaku dengan senyum yang dipaksakan. Lamunanku, Jeff menahan tanganku dan menatapku dengan wajah memelas, “kamu mau pergi bersamaku gak, Gi? Kamu kuliah di Undip juga ya?”
“Kuantar, yuk!” gandengan tangannya membuyar lamunanku.
          “Udah kamu masuk gih, entar ketinggalan!” kudorong tubuhnya yang jangkung agar masuk kembali. Jeff menatapku lama sebelum dia masuk.
          “Aku pergi dulu yah, Gi,” dia langsung masuk. Aku hanya diam terpaku. Sebuah pengumuman terdengar. Kereta jurusan Semarang akan segera berangkat.
          Beberapa menit kemudian, kereta bergerak perlahan. Jeff melambaikan tangannya begitu lewat dihadapanku. Kubalas dengan perasaan yang tak menentu.
          Kugigit bibirku pedih. Tiba-tiba kurasakan kesunyian di sekelilingku. Aku kembali seperti awan-awan biru itu. Hampa. Perasaanku terasa kosong. Tidak akan kutemukan lagi mata kelamnya, tawa lepasnya, wajah coklatnya yang bersahabat dan segala kebaikannya.
          Kuhela nafasku kuat-kuat. Mataku terasa panas. Kupalingkan wajahku ke samping. Aku tidak ingin orang-orang itu melihatku menangis. Tapi siapa yang peduli?
          Kulihat kereta semakin kencang melaju. Semakin berlari menjauh. Jauh. Membawa Jeff pergi. Tak terjangkau lagi.

*****

Pacar Ketiga

       “Nih, ada undangan dari anak PA,” datang-datang Rida menyodorkan undangan dari kertas daur ulang warna hijau tua. “Mereka ngajakin kita ikut ‘Operasi Sampah’ ke Gunung Ciremai,” info Rida tanpa ditanya. “Mau ikut gak?”
            “Bakal ketemu Prie dong,” pekerjaanku terhenti. Menatap Rida bingung.
            “Tapi event ini penting lho, Din. Kapan lagi kita bisa kompak sama anak-anak PA,” Rida gantian menatapku. “Soal Prie gampang diatur deh. Elo kan bisa ngajak Aji. So, what gitu lho!”
           “Ah, elo kayak gak tahu Aji aja. Mana mau anak itu ikut acara yang berhubungan dengan alam. Terpaksa gue berangkat sendiri. Aduuuh, seharian lihat adegan mesra ala telenovela mana kuat gue,” Rida ngakak. “Elo yakin Prie masih sama Ninis?”
            “Ya, iya lah. Emang sama siapa lagi?” Nadaku berubah tinggi. Rida tersenyum centil. “Dooo, jeles yah?”
            “Ridaaa!”
            “Ada apa sih, berisik amat!” Gerry, Pim-Red keluar dari ruangan mungilnya. “Dasar, cewek-cewek kalo udah ngegosip!”
            “Gini, Ger, anak-anak PA ngundang kita ikutan ‘Operasi Sampah’ ke Gunung Ciremai,”  jelas Rida.
            “Ya, udah pada ikut aja. Apa susahnya sih?” tanya Gery bingung sampai kacamatanya melorot di hidungnya yang mancung.
            “Masalahnya...,” Rida melirikku minta persetujuan. Tapi aku cuma mengangkat bahu tidak peduli. Sibuk dengan ketikan naskah cerpenku.“Dinza bakal ketemu Prie.”
            “Gak apa-apa kan, Din?” tanya Gery bego.
            “Gak apa-apa kok. Rida aja tuh yang suka besar-besarin masalah.”
            “Oke, kalo gitu Nona-Nona harap kerja lagi yah,” Gerry melangkahkan kaki-kakinya yang panjang masuk kembali ke ruangan mungilnya.
            “Din, elo merasa mengenal Gerry dengan baik gak sih?” tanya Rida, mengganggu kerjaanku lagi. Eh, bukan kerjaan sih. Lebih tepatnya lamunan.
Lamunanku terputus. Sialan, Rida! Aku kan lagi membayangkan Prie sama Ninis yang centil itu.”Gak tuh!” jawabku cuek.
            “Di mata gue Gery tuh ‘bos’ paling cuek ama kehidupan sosial. Yang diurus kerjaan mulu!” nada Rida berubah tinggi. Gantian aku yang ngakak.
            “Rida, Rida! Ngomongnya kayak pegawai aja. Emang ini kantor? Wong cuma pengurus majalah sekolah doang.”
            “Itu yang bikin gue heran. Gerry tuh terlalu serius. Padahal yang diurusin kan cuma  majalah sekolah aja.”
            “Ya…gimana, dia kan emang begitu. Hidupnya serba teratur. Belajar, organisasi, basket. Kayaknya gue gak pernah lihat dia hura-hura. Paling banter ke mal doang.”
            “Udah selesai kerjaannya, Nona-Nona?” Gerry keluar dengan menenteng lap-top dan tas ransel gedenya. “Gue mau pulang dulu. Permisi,” cowok jangkung atletis itu meninggalkan ruang majalah sekolah.
            “Gue juga mau pulang, ah! Laper,” kubereskan kertas-kertas yang berserakan di atas meja.
            “Lo pulang ama Aji?” tanya Rida  mengikuti langkahku keluar dari ruang majalah sekolah. “Sendiri. Tuh anak lagi ngelatihin vokalnya Vira.”
            “Vira?” mata bagus Rida terbuka lebar-lebar. “Gila, lo biarin Aji deket-deket ama anak centil itu?”
            “Rida, emangnya kenapa sih?”
            “Sini, dengerin, Din,” Rida narik tanganku. “Vira tuh udah terkenal nggak bisa ngeliat cowok keren. Gue yakin sekarang Vira lagi ngerayu Aji!”
            “Aduuh, Rida, jangan macem-macem dong. Gue tahu siapa Aji. Dia gak bakal ngelirik-lirik cewek sekece apa pun. Emangnya Prie. Biar dikata cowok gunung juga, begitu ada Ninis, langsung deh selingkuh.”
            “Ala, cowok di mana sama aja. Gak Prie, apalagi Aji. Sekarang gini aja deh, Din. Kita ke ruang Osis, yuk! Aji kan lagi latihan band. Gue yakin dia cuma berdua aja ama Vira,” tanpa ampun lagi Rida sudah menarik tanganku menuju ruang Osis.
            Aku melongo begitu pintu ruang Osis terbuka. Aji begitu dekat duduk di samping Vira. Tubuh mereka nyaris bersentuhan. Aji tengah memetik gitar dan Vira bernyanyi dengan memandangi wajah Aji mesra.
            “Dinza,” desis Aji. Dia langsung menggeserkan tubuhnya menjauh dari Vira. “Mau pulang bareng? Tunggu dulu deh.”
            “Latihan band, Ji? Kok cuma berdua?” Rida melirik Aji centil.
            “Rico sama Erik harus praktikum kimia dulu. Galih gak tahu deh kemana. Ditungguin juga dari tadi,” dengan gaya sal-ting Aji menyulut rokoknya.
            “Sejak kapan kamu ngerokok, Ajiii?” aku mendelik sebel.
            “Ehh, sori,” Aji makin sal-ting. Dimatikan rokok dan dibuang ke tong sampah. “Pulang aja, yuk, Din,” Aji menenteng gitarnya. “Sori, Vir, latihannya dilanjutin besok aja, yah?”
            Aku melihat dengan jelas wajah Vira yang cantik itu cemberut. Ihh, apa urusannya! makiku sebel. Di belakangku Rida cuma senyum-senyum gokil.
            “Rida, mo pulang bareng juga?” tawar Aji. Sahabatku menggeleng cepat. “Gak usah! Gue bisa naik becak kok. Yuk, Din,” secepat kilat dia pamit.
            “Aku nggak suka kamu kayak anak kecil gitu,” dia melirikku begitu mengecilkan musik alternatif yang hingar-bingar. Kubuang pandanganku keluar. Jalan dimana-mana macet. Ugh, kepalaku jadi mumet.
            “Aku kan cuma ngelatih vokal Vira. Kamu jangan nuduh yang gak-gak dong,” nadanya langsung tinggi. Kepalaku yang sudah pusing, makin pusing. Kupandangi wajah Aji sebel.
            “Ihh, siapa yang nuduh?”
            “Dari sikapmu aku tahu, Din,” nadanya melunak. “Udah deh jangan kayak anak kecil gitu...”
            “Siapa yang kayak anak kecil?” potongku dengan nada tinggi. Gimana nggak sebel, dua kali dibilang kayak anak kecil.
Dia terkejut. Tidak menyangka aku akan semarah itu.
            “Sori, Ji, aku naik angkot aja,” aku langsung turun begitu lampu merah.  Setengah berlari, aku menepi ke pinggir jalan. Siang makin menyengat. Kepalaku makin berat.                                                                                                                                                                                                                                                                                             Tanpa kuduga, sebuah mobil Jimmy warna hitam  berhenti tepat di depanku. “Din, mau bareng?” aku melongo. Ya, ampuun Gerry!
            “Kok bengong? Naik, yuk!” begonya aku malah naik. Bukan nolak. Gerry menjalankan mobilnya santai. Musik Kenny G mengalun lembut.
            “Kamu kok ada di situ, lagi ngapain?”
            “Aku lagi sebel sama Aji,” kata-kata itu meluncur begitu aja. “Oh, ceritanya kamu diturunin di situ?” Gerry langsung ngakak.
            “Enak aja! Aku yang maksa minta turun!”
            “Oke, oke,” Gerry tersenyum lagi. Manis. Aku sedikit terpesona. Kayaknya jarang lihat ‘bos’ku seperti itu. Biasanya dia selalu memasang wajah serius. “Kalian berantem?”
            “Karena Vira,” jawabku singkat.
            “Vira, cewek yang punya tubuh dan suara seksi itu kan?”
            Aku mengangguk saja.
            “Enggak usah heran. Sahabatku, Phil, juga begitu. Vira pura-pura suka ama dia. Ehh, begitu ketemu yang lain, Phil ditinggal. Makanya aku gak mau pusing soal cewek. Buat apa. Mendingan juga ngurusin aktivitas yang lain,” dia langsung nyerocos.
            “Ihh, kalo aku sih nyesel, masa muda bukan dibuat untuk hura-hura. Dengan pacaran, misalnya...”
          “Oh, jadi kamu pikir pacaran cuma buat hura-hura?” Gerry menatapku serius. Kacamatanya kembali melorot di hidungnya.
            “Yah, gak juga. Cuma kan enak kalo kita punya pacar. Ada yang merhatiin kita. Kemana-mana kita gak sendiri. Eh, Ger, emangnya kamu gak pernah pacaran?”
            Gerry dengan pede-nya menggeleng.
            “Emangnya kamu gak pernah ngerasa suka ama cewek?” kejarku makin penasaran.
            “Pernah sih. Cuma ceweknya ganti-ganti cowok mulu. Aku takut kalo nasibku juga kayak cowok itu.”
            “Sebagai cewek, aku gak mau disalahin dong. Cowoknya juga yang nyakitin cewek itu terus-menerus.”
            “Ihh, yang bilang kamu siapa? GR!” Gerry mendelik menahan senyumnya.
            “Gerry!” aku sudah memukul bahunya yang kokoh bertubi-tubi. Gerry cuma nyengir aja.
            “Ger, turun di sini aja deh. Aku mau beli es krim dulu,” aku  turun di depan sebuah mini market. Biasa, kalau ada masalah, aku lebih suka menyantap es krim sampai habis.
            “Emang rumah kamu masih jauh?”
            “Gak kok. Di kompleks ini juga. Yuk, deh, Ger, thank’s yah,” dengan sigap aku turun dari Jimmy-nya. Gerry melambai sebelum menjalankan mobilnya lagi.
***

            “Gue gak ikutan acara anak-anak PA  aja deh,” kataku pada Rida ketika kami jajan bakso di kantin di waktu istirahat.
            “Kenapa sih, Din, jangan plin-plan gitu dong,” Rida langsung sewot.
            “Gue gak kuat ketemu Prie sama Ninis. Lagian Aji juga gak bisa diharapin. Dia kayaknya udah kecantol berat ama Vira.”
            “Lo masih belom baikan ama Aji?”  Rida asyik menikmati es kelapa mudanya.
            “Percuma, Rid. Selama perempuan itu ngajak latihan band hampir setiap pulang sekolah. Gue udah gak dianggap lagi.”
            “It’s finished nih?” tanya Rida dengan gaya centilnya.
            “Yah belom sih, lagi genjatan senjata aja.”
            “Doo, kayak PBB aja pake genjatan senjata segala.”
            “Biarin, gue lagi ngasih pelajaran aja ke Aji.” 
            “Please dong, Din, elo harus ikut! Gue juga gak mau ikut, kalo elo gak ikut,” Rida merengek-rengek kayak anak kecil.
            “Kalo elo gak ikut, entar siapa yang ikut? Gerry bisa marah ama gue.”
            “Makanya elo ikut yah?” sepasang matanya yang bening menatapku penuh harap. Kalau sudah begitu, aku cuma bisa menggangguk setuju.
            “Ssst, Aji datang tuh,” bisik Rida. Kuikuti pandangan matanya. Benar, cowok itu sedang menuju ke arahku. Tampangnya keliatan lesu. Tidak bergairah. Ahh, apakah gadis seksi itu telah mengecewakannya?
            “Hai, Din, Rid,” dia duduk di sampingku. Diteguknya kaleng coca cola yang ada di tangannya. Tatapannya terlihat tidak semangat. Wah, jangan-jangan sakit lagi.
            “Ji, kamu sakit?” tanyaku cemas.
            “Tahu nih, gak enak badan aja,” dia menjawab lemah.
            “Eh, gue balik ke kelas dulu yah? Barangkali kalian mau ngobrol berdua aja. See you, Din!” Rida langsung pamit.
            “Kamu sih terlalu banyak latihan band, jadi nggak ingat waktu,” tanpa sadar aku tersenyum. Kalau sudah berdua, tidak ada deh elo-gue, elo-gue. Yang ada kamu-aku. Hahaha.
            “Abis nggak ada sih yang cerewetin aku supaya makan tepat pada waktunya, gak boleh ngerokok, gak boleh keluyuran, iya kan?” kali ini Aji tersenyum lembut. Very nice.
            “Lho, kan udah ada yang gantiin posisiku?” sindirku seraya tersenyum.
            “Dinza, apa-apaan sih,” Aji mendelik sewot.
            “Eh, entar sore kita jalan yuk! Kamu gak sibuk di majalah sekolah kan?” ajaknya kemudian.
            “Emangnya kamu gak latihan?”
            “Enggak aja deh. Aku batalin. Aku udah kangen nih ama kamu,” jurus ngerayunya keluar. Huh, gombal! Tapi tetap saja aku senang. Padahal aku kan lagi ngasih pelajaran ke Aji. Ahh, bodo amat! Aku juga sudah kangen sama dia.
            “Ji, ikutan ‘Operasi Sampah’ yuk! Yang ngadain anak Pencinta Alam. Kamu bisa wakilin band sekolah. Kalo kamu ikut pasti seru. Soalnya Rida maksa supaya aku ikut,” ajakku.
            “Sori, aku gak bisa ikut. Ada Tehnical Meeting di SMU 2,” infonya dengan wajah menyesal.
            Ugh, pasti nggak seru kalau Aji nggak ikut. Aku harus menonton adegan  telenovela. Ninis menyandar ke dada Prie yang kokoh dan Prie mengelus rambut panjang Ninis dengan penuh kelembutan. Masak aku balasnya sama Rida sih? Nanti disangka lines lagi. Hihihi.
***

            Sebelum ‘Operasi Sampah’ berlangsung, kami berkumpul dulu di bawah kaki Gunung Ciremai untuk diberi pengarahan. Kulihat Prie di jajaran barisan panitia. Ninis nggak kelihatan. Sebodo amat!
            Kugigit bibirku tanpa sadar. Prie kelihatan tambah gagah. Kulitnya yang sawo matang membuatnya bertambah manis. Dia mengenakan kemeja kotak-kotak hitam-putih dan celana jins hitam. Aku mengeluh, kenapa sih susah melupakan cinta pertama? Yap, harus kuakui Prie yang pertama hadir di hatiku.
            “Ssst, tuh Ninis!” Rida menyikut lenganku. Lamunanku seketika lenyap. Kulihat Ninis datang dan berdiri di sebelah Prie. Sebelnya, aku sempat melihat Prie melirik cewek di sampingnya mesra. Ugh!
            “Rid, gue pulang aja yah?” pintaku sebelum ‘Operasi Sampah’ dimulai. Rida melotot. “Apa-apaan sih lo! Jangan malu-maluin pengurus majalah sekolah dong!”
            “Kenapa harus kita yang pergi sih? Kan masih ada pengurus majalah sekolah yang lain. Ahin, Yosh, Jadid, Ditta…”
            “Lo jeles yah ngeliat adegan ala telenovela itu,” tunjuk Rida ke sepasang sejoli itu. “Engaaaak!” jawabku cepat.
            “Kalau enggak, tunjukin dong! Santai aja napa sih?” protes Rida. Dia lalu asyik ngecengin Bowo, ketua panitia.
            “Din, Bowo keren juga yah? Dia udah punya pacar belom?”
            “Tau ah, emang gue pikiran!” kulihat Prie menghapus keringat di kening Ninis dengan saputangannya. Pengarahan Bowo kuanggap angin lalu. Adegan telenovela itu lebih menarik buatku.
            “Din, kita berdua aja yuk!” Gerry datang mengajak membuat kelompok kecil untuk mengumpulkan sampah-sampah sambil berjalan menuju Gunung Ciremai.
            “Rida mana?” busyet, tuh anak! Dia yang maksa ikut malah ninggalin, dasar! Aku cuma bisa ngedumel.
            “Tuh, ada di tenda panitia. Wah, jangan-jangan dia udah diangkat jadi panitia,” ledek Gerry. Aku cuma nyengir. Biasa, kalau lagi ‘usaha’. Segala jalan ditempuh.
            Kerja sama dengan Gerry enak juga. Santai dan tidak membosankan. Banyak bercandanya. Tidak nyangka kalau ternyata anaknya asyik juga. Tapi yang penting buatku, aku bisa ‘berakting’ pura-pura berakrab ria dengan Gerry di depan Prie dan Ninis. Biar mereka sirik. Biar Prie menyesal sudah ninggalin cewek sebaik aku. Ehem.
            Pulangnya aku nebeng mobil Gerry. Rida sudah berhasil mendekati si ketua panitia. Dia ikut satu mobil sama anak-anak PA lainnya. Gerry memutar tembang-tembang slow membuat suasana semakin asyik. Perjalanan Kuningan-Cirebon menjadi tidak terasa lama dan membosankan.
            “Din, andaikan kamu tadi gak pura-pura hanya ingin membuat Prie jeles, aku bahagia banget,” katanya sebelum aku turun di depan sekolah untuk acara penutupan kegiatan operasi sampah tadi.  
Aku hanya bengong. Nggak nyangka ‘bos’ku akan ngomong seperti itu. 
***

            “Dinza, ayo makan dulu,” Mama mengetuk pintu berulang kali. Aku menghela nafas berat. Kuedarkan pandangan ke isi kamarku yang kacau-balau. Sobekan foto Aji berhamburan kemana-mana. Juga surat-surat dari Aji yang sudah memenuhi isi keranjang sampah.
            “Dinza, belum lapar, Mam. Mama makan duluan sama Papa. Nanti Dinza minto tolong Mbok Sum bikinin indomie kalau Dinza lapar,” aku membuka pintu sedikit supaya Mama tidak mengetahui betapa porak-porandanya isi kamarku.
            “Kamu gak pa-pa, Sayang?” Mama menatapku cemas.
            “Gak pa-pa kok, Mam. Udah Mama makan aja, kasihan Papa udah nunggu tuh,” aku menutup pintu kamar kembali.
            Aku tidak menyangka jalinan kasih antara aku dan Aji akan berakhir juga. Kalau tidak karena info dari Galih yang memberitahukan bahwa ternyata Aji tidak mengikuti Tehnical Meeting di SMU 2 tapi malah mengantar Vira ikut audisi ke Bandung. Katanya sih ada sebuah band  baru yang sedang mencari vokalis. Ugh, who cares!
            Aku tidak suka dibohongi. Ternyata Aji menjalin hubungan khusus dengan Vira di belakangku. Aku lalu memberi vonis: putus! Yang menyakitkan, Aji langsung memenuhi keinginanku. Dia bilang, dia juga sudah bosan pacaran denganku yang dianggapnya banyak mengatur ruang geraknya. Tidak boleh merokok, tidak boleh bergadang, tidak boleh keluyuran dan lain-lain.
            Lamunanku terputus oleh dering ponsel. Di layar tertera nama Ridong. Siapa lagi kalau bukan Rida.
            “Lagi apa, bok?” sapa Rida to the point.
            “Ngerobekin foto Aji, ngebuangin surat-suratnya ke tong sampah…”
            “Baguuus!” teriak Rida mirip suara Indy Barends ketika membawakan sebuah acara.
            “Udahlah, Din, lupain aja Aji. Hilang satu tumbuh seribu. Masih banyak cowok yang keren, baik, smart. Masih ada Gerry kan?”
            “Atau Bowo?” gara-gara Rida, senyumku muncul kembali.
            “Jangan dia dong, Din. Gue kan lagi PDKT ama dia. Doain sukses yah? Eh, Din, udah dulu yah! Sampai ketemu besok di sekolah. Bye!”
            Sebulan setelah masa ‘berkabung’ itu usai, Papa dan Mama bikin acara ulang tahun perkawinan mereka yang ke-20. Aku kagum sama mereka yang bisa mempertahankan perkawinan hingga sudah mencapai 20 tahun.
            Aku saja pacaran putus terus. Sama Prie hanya bertahan satu tahun, sebelum dia ‘tergoda’ dengan Ninis, anak baru yang centil itu. Putus dari Prie, aku mencoba menjalin hubungan dengan anak band bernama Pramuaji. Dengan Aji, idem! Hanya ‘bertahan’ empat bulan. Alasannya sama. Dia pun tak dapat menahan diri dari rayuan Vira, vokalis band SMU I.
            Heran deh, kenapa sih laki-laki tidak bisa setia dengan satu wanita saja. Seperti Papa misalnya. Atau aku jatuh cinta pada pria yang salah? Ugh,  mendingan untuk saat ini aku nggak mau pacaran dulu! Kayaknya ngejomblo lebih asyik daripada punya pacar tapi bikin bete!
Lebih baik aku ke dapur, melihat kehebohan Mama menyambut acara nanti malam. Tapi di dapur suasananya malah adem ayem saja. Rupanya untuk masakan dan kue, Mama sudah memesan pada katering dan toko kue langganan Mama. Mama malah terlihat sedang asyik ngegosip dengan Papa di teras depan.
            “Sini, Sayang,” Mama menyuruhku duduk. Dituangkan secangkir teh poci dengan gula batu untukku. “Papa mengundang para koleganya untuk acara nanti malam. Salah satunya, ternyata punya putra yang seumuran dengan kamu, anak SMU kelas dua, dia mau diajak ke acara kita, Sayang. Jadi Mama harap kamu dandan yang manis dan temani dia nanti malam, oke?”
            “Aduuuh, Mama, perjodohan apa lagi sih? Basi tau!” protesku dengan wajah bete. Baru juga putus dari Aji, aku malas berhubungan lagi dengan cowok. Aku kan udah janji nggak mau pacaran dulu, aku mau single-fighter dulu!
            “Hei, hei, siapa yang mau jodohin? Orang Mama cuma pengen ngenalin aja dia sama kamu. Siapa tahu, dia bisa jadi temen kamu, apa salahnya sih nambah temen?” seperti biasa Mama ngeles. Aku hanya terdiam, malas berdebat dengan Mama. Beliau pasti punya segudang alasan.
            Jadi aku terpaksa menurut keinginan Mama. Berdandan serapi dan semanis mungkin. Mengenakan gaun one piece warna ungu muda dengan gaya simpel yang dibelikan Mama di sebuah butik langganan Mama di Bandung.
            Jam tujuh malam tamu berdatangan. Mama tampak cantik dengan kebaya bordir warna off-white dan Papa kelihatan gagah dengan kemeja batik lengan panjang dengan dasar putih dan aksen biru tua.
            “Sayang, ini putra kolega Papa,” Mama datang dengan seorang cowok seumuranku. Ketika aku mengulurkan tangan untuk mengajaknya bersalaman, betapa terkejutnya aku ketika kuangkat wajahku untuk menatap wajahnya. Ya, ampuuun, ternyata Gerry!
            “Gerry?” aku hanya melongo.
            “Dinza?” ‘bos’ku itu pun tak kalah terkejutnya. “Kamu putranya Bapak Hanggoro?” aku hanya mengangguk.
            “Jadi kalian sudah kenal?” Mama tersenyum senang.
            “Kami satu sekolah, Tante. Dan sama-sama pengurus majalah sekolah,” jelas Gerry.
            “Syukurlah kalau begitu. Dinza. Ajak Gerry makan,” suruh Mama seraya mengedipkan matanya centil. Kuajak Gerry ke ruang makan yang berisi meja makan dengan aneka hidangan. Dari pembuka, menu utama sampai dessert berupa aneka puding, es krim dan buah-buahan.
            Gerry mengambil salad dengan topping saus thousand island. Kutemani dia makan dengan menyantap sepiring rujak Donggala, dessert khas Cirebon.
            “Kudengar kamu udah putus sama Aji,” dia membuka percakapan sambil asyik menyantap saladnya.
            “Biasalah, laki-laki buaya darat,” omelku. Gerry nyengir. “Inget lho, Din, gak semua laki-laki seperti itu,” dia membela diri.
            “Iya, gak semuanya sih. Tapi hampir semuanya. Prie, Aji, entah siapa lagi.”
            “Kalau aku sih, Insya Allah tipe cowok yang setia,” Gerry malah memuji dirinya sendiri.
            “Gak percaya!”
            “Mau buktinya?” tantang laki-laki itu. Aku melongo. Apa sih maksudnya?
            “Kalau kamu mau bukti, kita pacaran aja, yuuuk!” ajaknya dengan wajah serius.
            Apaaa, pacaran? Aduuh, gimana dong! Diterima apa ditolak? Aku kan udah janji mau single figter dulu. Tapi nolak Gerry? Wah, sayang juga nolak bibit unggul itu!
Nanti aku minta advice Rida dulu deh!
*****