Irgi
Aku melihat Adelia melintasi taman
dan berjalan menuju pintu gerbang. Kepalanya menunduk, seakan menghitung
langkah kakinya. Sudah lama aku tidak melihatnya ngumpul bareng dengan
anak-anak. Mungkin karena dia sibuk dengan kegiatan magangnya di sebuah majalah
remaja.
Aku selalu
memperhatikannya diam-diam. Adel yang aku lihat kini seperti bukan Adel yang
aku kenal selama ini. Adel yang kukenal adalah gadis yang periang, smart,
care dengan siapa saja, low profile. Tapi kini dia berubah
menjadi pemurung, pendiam, acuh tak acuh dan moody. Kadang-kadang
keliatan happy. Di lain waktu begitu murung. Sepertinya dia tengah
menyimpan sebuah masalah. Aku berharap bukan masalah yang cukup berat. Walau
aku yakin, seberat apa pun masalahnya, Adel pasti bisa mengatasinya.
Hampir tiga
tahun aku mengenalnya sebagai teman yang baik. Aku, Adel, Irma, Desi, Dipa dan
Aji sekelas ketika kelas satu. Kini di kelas tiga, hanya aku dan Aji yang
sekelas di kelas IPA satu sedangkan Adel dan Dipa di kelas IPA dua, Desi dan
Irma di kelas IPA tiga. Walau begitu persahabatan kami tidak pernah putus. Kami
masih suka jalan dan ngumpul bareng.
Bergegas aku
menyusul Adel.
“Deeel!”
teriakku dengan semangat ’45. Adel menoleh ragu-ragu. Setelah melihat, dia
menunggu sampai aku datang mendekat.
“Del, elo mo
kemana?” aku lihat sepasang mata beningnya berkaca-kaca. Dadaku bergetar hebat.
Aku paling tidak suka melihat dia sedih, apalagi sampai menangis! Pasti ada
masalah berat yang sedang menimpanya.
“Gue mo
pulang,” jawabnya pendek.
“Del, elo
kenapa?” aku pandangi wajahnya yang putih, yang dihiasi dengan sepasang
kacamata berbentuk oval dengan frame hitam metalik. Adel menunduk. Pandangannya
tertuju pada sepatu ketsnya yang berwarna biru tua.
“Gue gak pa-pa
kok,” jawabnya enggan. Aku garuk rambutku
yang tidak gatal. Huh, betapa sulitnya menghadapi perempuan. Apalagi
perempuan yang paling kusayangi. Benarkah begitu, Irgi? tanya batinku ragu.
“Bener, elo
gak pa-pa?” aku angkat wajah cantiknya. Pandanganku tertuju pada sepasang mata
beningnya lagi. Mencoba mencari kejujuran di sana. Aku merasa dia menyimpan
sesuatu.
“Ya udah deh,
kalo lo gak ada apa-apa. Gue latihan basket dulu, yah!” Adel hanya mengangguk.
Aku menuju lapangan basket. Pikiranku masih tertuju pada Adel. Ada apa yah? Aku
mencoba berpikir keras. Apa dia punya masalah dengan keluarganya, anak-anak
yang lain atau…cowok?
Ketika aku
menoleh, sosok Adel sudah menghilang. Kuhela nafas berat.
Desi
Siang ini aku
pulang sekolah bareng Adel. Sebelum pulang, aku ajak dulu ke Café Dixy yang
letaknya tidak jauh dari sekolah. Sudah lama kami tidak nongkrong di sana.
Entah kemana anak-anak yang lain. Tadi aku ingin mengajak yang lain, tapi hanya
ada Adelia.
Aku melirik
Adel. Akhir-akhir ini Adel jadi pendiam, wajahnya selalu terlihat murung, dia
jadi moody begitu. Padahal apa sih yang kurang dalam hidupnya? Bakat
menulisnya begitu mengagumkan. Dia kini sedang magang di sebuah majalah remaja,
siapa tahu nanti dia jadi penulis freelance di majalah remaja tersebut.
Dia sudah bisa nyari uang sendiri dari honor yang dia terima kalau tulisannya
dimuat di media massa. Atau
jangan-jangan dia punya masalah dengan…cowok?
“Elo mau
pesan apa?” tanyaku begitu kami sudah sampai tempat favorit kami. Tempat duduk
di sudut café, dekat jendela.
“Gue cappucino
sama muffin rasa keju,” jawab Adelia dengan pandangan tertuju pada
desain interior café yang simpel tapi cozy itu.
“Elo gak mo
makan?” tanyaku begitu seorang pelayan café menyodorkan list menu café
dengan desain yang unik.
“Gue gak
laper,” jawabnya pelan. “Oke, Mbak, saya pesan steak dengan kentang
goreng, salad dan teh botol. Gak pake lama yah, Mbak?” aku mencoba membuat
suasana menjadi ceria.
“Elo gak
berubah juga, Des. Tetep aja semangat dengan yang namanya makan. Katanya mo
diet,” Adelia mulai terlihat tersenyum. Syukurlah, aku telah membuatnya sedikit
hepi.
“Ngapain sih
hidup dibuat susah? Elo kan tau sendiri, Del, hidup ini udah susah, jadi jangan
dibikin ribet. Bikin pusing tau!” aku sudah menikmati salad dengan topping
saus thousand island kesukaanku.
Adelia
terdiam. Dia mengambil seiris kentang goreng dari piringku, kemudian dicocolnya
ke saus. Dia memakan kentang itu dengan pandangan keluar jendela.
“Elo mo gue
pesanin kentang goreng atau steak?” aku sudah asyik mengiris-iris daging
steak yang gendut itu. Kucocol irisan steak itu ke saus berwarna
putih yang rasanya enaaak banget! Hmm, nyam-nyam-nyam!
“Gak ah, gue
lagi males makan,” jawab Adel tak bersemangat.
“Ih, nanti
badan elo tambah mungil lagi. Elo kenapa sih, Del? Lagi punya masalah? Sama
siapa? Pasti sama Irgi yah? Kalian berdua tuh kayak anjing dan kucing, kalo
ketemu pasti berantem,” kataku sok tahu.
“Gue sama
Irgi baik-baik aja kok. Lagian gue jarang ketemu sama dia. Dia sibuk terus sama
latihan basketnya.”
“Sama kayak
elo, sibuk terus ama kegiatan elo. Sampe gue dicuekin. Gue heran deh, punya
temen geng tapi berasa gak punya temen. Irma lagi asyik sama Aji. Mereka jadian
aja gue gak tau. Mana gak pake acara makan-makan lagi. Dasar! Dipa gak tau lagi
sibuk apa. Kalo gue ajak jalan, ada aja alasannya. Males-lah, capek-lah, ih
ngeselin gak sih?”
“Des,
makannya bisa cepetan dikit gak? Kepala gue kok mendadak pusing sih?”
Aku lihat
Adelia menghabiskan minumannya. Sedangkan sepotong muffin itu cuma
dicuilnya sedikit. Daripada mubazir, kuembat juga kuenya. Adelia hanya geleng
kepala melihat kelakuanku.
“Biar gue
yang bayar, Des,” dia sudah mengambil dompet kulitnya yang berwarna coklat
dengan aksen huruf G itu.
“Wah,
bener-bener rejeki gue hari ini. Entar pulangnya gue anterin, Del!”
“Thank’s!”
Adel hanya tersenyum. Sedikit. Duh, aku jadi pusing mikirin anak itu!
Mudah-mudahan Adelia baik-baik saja. Ih, kok jadi mirip lagu ‘Ratu’ yah?
Aji
Istirahat Irgi ngajakin makan mie ayam di kantin. Aku
hanya memesan es teh manis dan gado-gado.
Tumben.
Biasanya kalo istirahat dia lebih suka nongkrong di lapangan basket. Tadi Irma
ngirim SMS, kalo istirahat ini dia mau ke perpustakaan, nyari bahan buat
tugas laporan magangnya. Syukurlah, aku bisa ngegosip bareng Irgi.
Tumben
siang ini muka Irgi serius banget. Mana makan mie ayamnya cepet banget lagi!
Wah, jangan-jangan mangkuknya bakal kemakan juga, hehehe. Selesai makan, dia
curhat tentang…Adelia!
“Gue
kasian ama Adel, Ji. Akhir-akhir ini dia keliatan murung. Gue ngerasa ada
sesuatu yang menimpanya. Tapi anehnya kenapa dia gak cerita sih? Kita kan udah
deket, masak sih dia gak percaya kalo kita bisa bantuin dia?”
Aku
terdiam dengan kata-kata Irgi barusan. Adelia. Kenapa aku melupakan sosok yang
satu itu yah? Kapan terakhir aku jalan sama dia? Yap, di acara ultah Desi di
Dufan enam bulan yang lalu. Ketika aku mulai
mendekati Irma. Duh, kenapa aku setega itu yah? Di depan matanya
sendiri, aku dan Irma bergandengan tangan dengan mesra. Tapi Adel seperti tidak
peduli. Dia seperti melupakan kisah cinta kami yang ‘tersembunyi’ itu begitu
saja. Jadi siapa yang salah, kalau aku sengaja ‘memamerkan’ kemesraanku dengan
Irma di depannya?
“Ji, elo
denger kata-kata gue gak?” Irgi memutuskan lamunanku tentang Adel. “Denger,”
kataku asal aja seraya meneguk minumanku.
“Gue pengen
elo bantuin gue untuk deketin dia, Ji!”
“What?”
minumanku tersedak di tenggorokan. “Dia siapa, Gi?”
“Yah,
Adelia-lah! Siapa lagi? Wah, bokis loe, loe gak dengerin kata-kata gue!” Irgi
menonjok dadaku keras. Sakit! Tapi bukan dadaku, melainkan hatiku yang tak rela
Adelia jatuh ke pelukan Irgi. Apakah ini berarti aku masih mencintainya?
Irma
Tidak sengaja aku bertemu dengan Adel di
perpustakaan. Dia kelihatan sibuk dengan buku-buku referensi untuk tugas
biologi-nya. Aku menyapanya. Dia kelihatan ingin menghindar. Kukatakan bahwa
aku ingin berbicara dengannya.
“Ada apa, Ma?” tanyanya to the
point. “Besok, Aji ultah. Gue pengen ngasih kejutan buat dia. Kita kerjain
dia di café Dixy, yuk!”
“Wah, kayaknya gue gak bisa, Ma. Ada
rapat redaksi. Sori, yah!”
“Bener gak bisa, apa elo sengaja
menghindar dari gue sama Aji?’ kali ini aku yang to the point. Wajahnya
terlihat memucat.
“Del, sori yah, kalo gue nanya
langsung sama elo! Bukan maksud gue bikin elo sedih. Tapi sebagai wanita, gue
gak pengen nyakitin hati sahabatnya sendiri. Feeling gue berkata kalo
sebelom gue ‘jadian’ sama Aji, kalian udah pernah ‘jadian’. Hubungan ini kalian
rahasia kan? Hanya gara-gara ide yang dicetuskan Desi kalo sesama geng tidak
boleh ada yang pacaran. Tapi perasaan kan gak bisa dipaksakan. Kalian jatuh
cinta, lalu pacaran secara backstreet. Lalu putus, dan Aji mulai deketin
gue…”
“Ya, elo sengaja kan deketin dia
supaya buat gue menderita? Kalian memang pasangan yang hebat!” Adelia
membanting buku-buku itu dan pergi meninggalkanku begitu saja.
Aku hanya bisa terpaku.
Desi
Heran
deh katanya anak-anak disuruh ngumpul di café Dixy buat ngasih kejutan ke Aji.
Tapi Irma yang punya acara ini, malah nggak kelihatan batang hidungnya. Aji
sendiri sibuk nanyain Adelia yang juga nggak datang siang ini. Kok bukan
nanyain Irma sih?
Waduh, ada apa sih?
Irgi sendiri kayak orang linglung.
Kerjaannya ngelamun terus. Ngelamunin siapa sih? Jangan-jangan Adel lagi!
Beberapa hari yang lalu, Irgi sempet curhat tentang perasaannya terhadap Adel.
Perasaan itu udah lama dipendamnya tapi gara-gara ide yang pernah aku buat
tentang larangan pacaran diantara kami, buat Irgi nggak berani menyatakan
perasaannya terhadap Adel. Tapi larangan itu kan udah aku cabut. Buktinya Aji
dan Irma udah lama ‘jadian’.
“Udah, pada pesen makan duluan gih,
paling Irma telat datang,” Aji memutuskan kesunyian diantara kami.
“Paling juga lagi sibuk cari kado. Gue
pesen makanan duluan yah, laper nih! Gi, loe mo makan apa?”
“Nas-gor dengan lemon-tea,”
jawab Irgi tak bersemangat. Dipa sendiri sudah tidak sabar memesan spaghetti
dengan coca cola.
“Elo, Ji?” aku menoleh pada Aji. “Apa
kita gak nungguin Adel dulu…”
“Maksud elo, Adel sama Irma?” Irgi
memotong kata-kata Aji dengan nada agak sewot.
Waduh, ada apa sih? Kok, kayak mau ada
perang sih! Wah, suasananya kok jadi gak enak kayak gini sih? Adel sama Irma
kemana sih? Aku SMS aja deh!
Adelia gak bisa datang. Ada rapat
redaksi katanya. Hp-nya Irma mati, nggak bisa dihubungi. Jadilah siang itu
hanya diisi makan siang bersama. Seperti biasa aku menikmati steak dan
salad kesukaanku, Irgi setengah hati melahap nasi gorengnya dan Aji yang
vegetarian sejati hanya memesan kentang goreng dan milkshake coklat.
Dipa sendiri cuek bebek saja dengan suasana ‘dingin’ siang ini.
Sampai acara makan siang bersama itu
usai, Irma tidak datang! Aku dan Dipa nebeng Irgi yang dijemput siang itu. Aji
masih ingin di café, tangannya sibuk mengirim SMS. Aku sempat
meliriknya. Ada nama Adel. Tak sengaja pandanganku bertemu dengan Irgi. Wajah
cowok berkulit putih itu berubah. Seperti tidak suka dengan apa yang dikerjakan
Aji.
Irgi
Siang
ini aku terburu-buru ke ruangan olah raga. Ada rapat internal. Katanya Pak Gun
memiliki informasi penting yang akan dibagikan ke anak-anak basket.
Supaya cepat, aku melewati taman
belakang. Tak kusangka, aku bertemu Adel dengan Aji di sana. Mereka sedang
bertengkar! Hati-hati aku berjalan ke arah mereka dan bersembunyi di belakang
pohon akasia. Aji mengungkit-ungkit sesuatu. Hatiku menjadi tidak tenang ketika
kudengar Aji mengungkit hubungannya dengan Adel. Aku tidak menyangka bahwa
mereka pernah berpacaran!
Aji sepertinya ingin balik lagi dengan
Adel. Tapi gadis itu menolak. Adel tidak ingin Irma pernah merasakan sakit hati
seperti dirinya. Tapi Aji terus memaksa membuat Adel marah. Refleks, aku
menarik kemeja Aji. Aji kaget, wajahnya langsung berubah melihatku. Dia tidak
menyangka aku ada di sini.
“Mau apa loe, Gi? Mau sok jagoan loe
di depan Adel? Biar Adel tau elo suka ama dia, gitu?” kata-kata sinisnya
membuat emosiku naik. Apalagi dia sudah menyinggung soal perasaanku terhadap
Adel. Sebelum aku melayangkan tinjuan, Desi datang bersama Dipa dan Irma. Dia
‘mengangkut’ kami semua ke café Dixy dengan Starlet merahnya.
Desi
Sampai
di café Dixy, aku langsung memesan enam gelas lemon tea dingin. Minuman
itu cepat tersaji dan dapat segera ‘mendinginkan’ suasana. Semua diam membisu.
Kulihat Irma berusaha menghindar dari Aji. Ugh, dasar buaya darat juga si Aji!
Hihihi, kayak lagu ‘Ratu’ lagi sih?
Kasihan Adel, berarti selama ini dia
menderita dengan tingkah Aji itu. Aku tidak bisa menyalahkan Irma, toh selama
ini dia tidak tahu bahwa Adel dan Aji pernah menjalin suatu hubungan spesial.
Aku tidak tahu apa yang menyebabkan hubungan mereka putus di tengah jalan. Aku
hanya bisa mengira, mungkin Aji tidak suka dengan keaktifan Adel dengan
kegiatan tulis-menulisnya. Sirik kali Aji kalau Adel lebih ngetop dari
dia!
Tumben kali ini Adel dan Irgi berusaha
menjaga jarak. Biasanya mereka berdekatan dan saling menyela. Namun kali ini,
seperti ada yang tengah mereka sembunyikan. Entah apa.
Sementara Dipa cuek bebek saja,
seperti tidak merasakan apa-apa. Aku hanya tersenyum dan menggeleng-geleng
kepala melihat tingkah polah mereka.
Namun biar begitu, mereka tetap sahabat-sahabatku.
Aku hanya berharap Aji menyadari kesalahannya. Bisa jadi, Irma tidak akan lagi
melanjutkan hubungan dengannya. Aku berdoa semoga Irgi berani mengungkapkan isi
hatinya kepada Adel. Kalau perlu aku akan membantunya. Sebagai menebus rasa
bersalahku gara-gara ikrar sialan itu yang membuat segalanya menjadi
berantakan!
Tak sengaja aku melihat pandangan Adel dan Irgi bertemu. Wajah mereka seketika memerah. Kompak! Aku tersenyum melihat tingkah mereka berdua. Bahagia. Sebahagia aku memiliki mereka. Sahabat-sahabatku.
*****
0 komentar:
Posting Komentar