“Ra, cepetan ntar telat lagi!” teriak Tari. Masih
terkantuk-kantuk aku menyiapkan buku paket kimia, buku tulis dan buku les juga
pulpen satu biji. Ugh, seharusnya jam segini tidur siang. Dan sorenya bisa ngeceng
atau ngumpul-ngumpul sambil ngegosip seperti yang sering aku lakukan dengan
Sri, Linda, Pingki, Nella dan Tanti di Singkawang sana. Tapi begitu pindah ke
Medan, aku malah mengikuti jejak Tari berajin ria ikut bimbingan test.
“Tara,
sisiran rambutnya yang betul dong,” omel Mama seperti biasa.
“Tara udah
nggak sempat lagi, Mam,” terburu-buru kuambil sendal jepit. Kukepit buku-buku
dan pulpen di tangan. Mama geleng-geleng kepala. “Nggak bisa dandan rapian
dikit, Ra?”
“Ah malas,
Ma. Mau les ini ngapain sih rapi-rapi segala,” kulirik dandanan Tari yang rapi
jali seperti biasanya. Kemeja polos ungu dipadukan dengan rok lebar motif
bunga-bunga dengan warna lembut. Sedangkan aku sendiri? Hihihi Cuma kaos oblong
putih dan rok abu-abu.
“Tuh rambut
udah panjang. Potong aja kenapa sih? Atau kalau nggak iket biar rapian dikit,”
Mama masih saja mengomel di teras. Bang Sam supir pribadi Papa jai tersenyum
dengan kecerewetan Mama.
Sebelum mobil
keluar dari Jalan Sakti Lubis aku sudah tertidur di bangku belakang.
“Bangun, Ra,
udah nyampe!” Tari dengan ganas menggoncang-goncang badanku. “Molor melulu,”
wajahnya yang cantik cemberut.
“Ngantuk!
Tadi malam belajar kimia organik. Mana pr Bahasa Inggris berjubel-jubel. Sadis
deh sekolah di Medan!” jawabku seraya mencari-cari sendal jepit di kolong
bangku.
“Masih ada
waktu lima menit lagi. Aku ke ruang diskusi dulu, ada pr kimia,” aku memasuki
sebuah ruang yang nggak terlalu luas.
“Bang,
tolongin dong nomor lima,” kusodori buku paket kimia. “Sebentar yah, Dik. Tunggu
giliran,” jawab seorang mentor kimia yang sibuk meladeni pertanyaan seorang cowok
kacamata. Aku meliriknya nggak sengaja. Hmmm, lumayan manis.
“Bang,
bentar dong. Tinggal lima menit lagi masuk nih,” aku jengkel juga. Si Manis
memandangku. “Pr kimia organik yah? Nomor berapa?” tanyanya simpatik.
“Lima,” jawabku nggak sabar.
“Nih,
aku udah selesai. Copy aja,” dia menyodorkan bukunya.
“Thanks.
Aku lebih suka kalau ngerti jalannya,” kupasang wajah cuek.
“Terserah,”
dia keluar diikuti temannya. Dalam waktu lima menit aku mencoba keterangan
mentor kimia dengan baik. Untunglah selesai juga. Bergegas aku masuk kelas
begitu bel berbunyi panjang.
Pulang
les kutunggu Tari di pintu gerbang belakang. Mobil Papa juga belum kelihatan.
Bang Sam pasti masih di kantor Papa.
Tiiin,
suara klakson motor membuatku kaget. Brengsek! Hampir saja aku terserempet.
“Bisa
naik motor nggak sih?” Omelku. Cowok itu membuka helmnya. “Sorry, aku nggak
sengaja.” Si Manis itu lagi rupanya. Tanpa berkata apa-apa aku minggir dan
membiarkan motornya lewat.
“Lho,
hari Rabu kok les?” tanya Mama yang asyik dengan majalahnya. “Ikut kelas lain,
Mam. Abis kemarin nggak bisa les karena praktikum biologi,” aku menjawab
sembari menyisir rambutku yang kini telah rapi sebahu dengan model bob.
“kenapa
nggak pindah hari saja. Les kamu kan bentrok sama praktikum biologi,” Tari
datang sengan sepiring rujak yang menggiurkan. Kucomot nanas muda kesukaanku.
“Malas
ngurusnya ah. Lagian sementara ini. Paling nanti praktikumnya pindah hari,” aku
segera pamit.
“Ini
Medan, Ra, bukan Singkawang yang kota kecil itu?, Garis-garis di kening Mama
bermuculan. “Mama dengar di Medan banyak preman. Betul nggak, Ri?”
“Tau
deh, Ma. Tari sih mendingan nggak keluar rumah kalau nggak diantar Papa atau
Bang Sam. Takut.”
“Kamu
sih emang manja,” ledekku sambil pamit. Kupanggil becak yang kebetulan lewt. Di
depan pasar Kampung Baru nanti aku naik sudaco.
Tapi
sial, begitu coba naik sudaco ke tempat les, aku malah terlambat. Kucari kelas
8BT dan bergegas masuk. Mentor Rudi yang mengajar matematika sudah memulaikan
pelajarannya.
“Terlambat,
Dik?” sebuah suara jail menggoda. Aku cuek. Segera duduk di depan. “Terlambat sekali nggak apa-apa asal
jangan jadi kebiasaan. Karena jika jadi kebiasaan, kamu akan seperti ini jika
datang UMPTN nanti,” kata Bnag Rudi. Seluruh kelas gerr.
Wajahku
merah karena merasa tersindir. Aku harus mencari sumber suara brengsek itu!
“Nggak
sholat, Dik?” sebuah suara mengganggu kesibukanku mengerjakan soal-soal. “Istirahat kan biasanya sholat.”
Lagi-lagi
Si Manis itu lagi. Kali ini dengan temannya yang berambut cepak. Ugh, rupanya
dia menggodaku tadi.
“Lagi
nggak sholat,” jawabku ketus.
“Lagi
M yah, Dik?” usilnya lagi. Diikuti tawa temannya.
“Adik,
Adik, emangnya kamu kakakku apa? Sembarangan aja manggil adik!” Kututupi
kejengahanku karena ketahuan rahasia bulananku.
“Abis
mungil sih. Jedes lagi!” Katanya sebelum pergi. “Hihihi apa hubungannya?” Si
cepak ngakak. Si Manis ikutan ketawa dengan suara beratnya.
Tapi
dia kok tahu aku sering sholat Ashar di ruang sholat pas istirahat? Padahal aku
nggak pernah melihat dia sholat? Mungkin aku yang kelewat cuek? Kugigit
pensilku tanpa sadar.
Sejak
aku pindah ke Medan minat ngecengku jadi turun drastis. Habis nggak ada
setan-setan penggoda seperti Sri cs yang maunya hura-huar melulu. Krelas tiga
ini perlahan semangat belajarku tinggi. Sekolah di Medan saingannya lumayan
berat. Belum lagi mikirin soal UMPTN. Mau nggak mau aku harus serius belajar.
Sampai
jadi enggak sempat lagi mikirin soal cowok.
Beberapa
hari yang lalu Sri kirim surat. Udah
dapet cowok Medan belum, Ra? Kalau udah, bagi-bagi yah? Aku juga pengen untuk
koleksi cowok-cowok dari Sabang sampai Merauke.
Tanpa
sadar aku senyum-senyum sendiri.
“Kenapa
senyum-senyum, Dik? Mulai kumat yah? Udah minum obat belum?” Cowok itu uncul lagi. Masih dengan Si Cepak. Aku tetap
tabah dengan kecuekanku.
Si
Manis itu terlihat kian manis sehabis sholat, lirikku begitu cowok itu
kelihatan sibuk berdiskusi pelajaran dengan temannya. Si Cepak juga lumayan.
Ohh, seandainya ada Sri, asyik kali yah ngegosip soal cowok.
Pelajaran
fisika kuikuti dengan gelisah. Aduh, gimana pulangnya! Perutku terasa semakin
sakit saja. Mana harus naik sudaco lagi. Ya... beginilah risikonyya jadi cewek.
Selesai
kuis kegelisahanku bertambah. Begitu bel pulang berbunyi, aku masih duduk
pura-pura sibuk menyalin catatan fisika yang tertinggal. Padahal sih sudah
lengkap.
“Belum
pulang, Dik?” Si Manis menyapa. Dengan lesu aku menggeleng. Sibuk memikirkan
bagaimana caranya aku pulang? Naik taxi? Hmm, takut juga. Soalnya aku belum
hafal jalan. Kalau nanti dibawa kabur gimana? Dengar cerita soal kejahatan di
Medan seram juga. Habis kota besar sih. Nggak kaya Singkawang yang aman,
sentosa dan damai.
“Kenapa
belum pulang juga?” Si Manis balik lagi. Mau nggak mau aku cerita juga
masalahku.
“Aku
antarin kamu pulang,” dia dia mengulum senyumnya. Brengsek,
sempat-sempatnya ngeledekin lagi di saat
aku kesakitan seperti ini. Tapi Si Manis ini baik juga. Buktinya, mau mengantarkan
aku pulang. Tapi aku bingung, aku belum kenal Si Manis masak mau saja
diantarkan pulang sih? Tapi pertolongannya amat sangat aku butuhkan....
“Nggak
percaya sama aku yah? Tenang aja deh, aku ngggak punya niat jahat. Niatku cukup
baik kokpengen nolongin kamu. Daripada kamu nggak b isa pulang karena sakit,
mendingankan bareng aku aja,” Si Manis seperti dapat menebak jalan pikiranku.
“Oya,
kita belum kenalan. Namaku Ferry, kamu?” Dia menyodorkan tangannya seblum
mengenakan helmnya. “Tara,” jawabku rada malu. Hmmm, nama Si Manis bagus juga.
Selama
dalamm perjalanan kami kebanyakan diam. Ferry kadang-kadanh nanya arah jalan
rumahku. Aku menjawab ala kadarnya karena akupun nggak hafal. Tapi untunglah
akhirnya aku sampai juga.
“Kenapa
baru pulang, Ra?” tanya Mama cemas menungguku di teras. Setelah Si Manis pamit,
Mama nanyain macam-macam soal dia.
“Itu
teman kamu? Kok Mama nggak pernah lihat? Hati-hati, Ra, jangan pacaran dulu.
Kamu udah mau ujian.”
Aku
Cuma geleng-geleng kepala dengan kecerewetannya. Mama, Mama, ada-ada aja!
Bagaimana aku akan menceritakan masalahku kalau Mama nggak ngasih kesempatan
untuk bicara.
Sejak
Ferry mengantakan aku pulang, aku jadi suka melamunkan dia. Aku berusaha
menghilangkan bayangannya. Tapi semakin aku berusaha, bayangannya semakin kuat
mengikat. Tidak, Tuhan, jangan biarkan dia hadir di saat aku ingin serius
belajar. Aku nggak ingin dia menganggu belajarku.
Aku
resah, apakah ini hanya perasaanku sendiri. Apakah dia juga menyukaiku? Rasanya
iya, buktinya dia rajin menarik perhatian dengan menggodaku ketika aku
menumpang dikelasnya. Dan dia sudi mengantarku pulang. Kalau nggak ada maksud,
buat apa dia buang-buang waktu untuk mengantrku pulang?
Tapi
rasanya juga nggak. Buktinya dia nggak pernah main ke sini. Kalau memang dia
suka, dia bisa main ke sini mengadakan ‘pendekatan’. Toh dia telah tahu
rumahku. Apa dia terlalu sibuk sehingga nggak sempat ke sini? Kalau dia mau
mengantarku pulang, niatnya mungkin Cuma ingin menolong. Lain nggak.
Aku
saja yang merasa ge-er. Mengapa aku menarik kesimpulan semudah itu? Ugh,
malu-maluin! Aku menarik napas kesal.
“Kenapa,
Ra, suntuk banget keliatannya?”
Tari
duduk di pinggir tempat tidur. Aku memandangnya bingung. Cerita, nggak, cerita,
nggak....
“Nggak
apa-apa kok. Lagi pusing ajah mikirin kuis tadi sore,” aku pura-pura sibuk
dengan soal-soal.
“Gitu
aja pakai dipikirin. ‘ntar strees lagi. Minjem catatan biologi dong, Ra, aku
ketinggalan nih.”
Untunglah
Tari langsung percaya. Dengan suka cita kuberikan catatanku.
“Cari
siapa sih? Tanya Tari bingung ketika dilihatnya aku masih berdiri di depan
pintu gerbang. “Nggak cari siapa-siapa kok,” jawabku gugup.
“Kalau
nggak cari siapa-siapa kenapa nggak langsung masuk. Udah dapat kelasnya belum?”
“Belum
cari. Kami duluan aja deh. Aku masih pengen di sini dulu,” untunglah Tari nurut
juga. Aduh, mana tuh anak kok nggak kelihatan. Apa dia nggak ikut Test Uji
Kemampuan yang diadakan dua minggu sekali, setiap hari Minggu?
“Tara,”
seseorang menyapaku begitu test selesai. Aku menoleh bingung mencari sumber
suara itu di antara puluhan orang berdesakan pulang.
Ferry
tersenyum manis. Kubalas dengan suka cita. Ugh, akhirnya ketemu juga.
“Pulang
sendiri?” tanyanya.
Aku
menggeleng. “Dijemput.”
“Oke,
kalau gitu aku duluan yah?” Dia berlalu begitu saja.
Kupandangi
tubuhnya yang jangkung. Cuma begini saja? Tara, Tara, rasa sukamu Cuma sia-sia.
Kamu Cuma bertepuk sebelah tangan. Sudahlah, Tara, lupakan dia!
“Kamu
kenapa sih, Ra, kayak orang kebingungan gitu?” tanya Tari penasaran.
“Nggak
apa-apa kok. Tuh, Papa jemput!” aku berusaha mengelak.
Sejak
pertemuan terkahir itu, aku nggak pernah ketemu dia lagi. Aku nggak pernah
menumpang lagi di kelasnya karena hampir setiap pulang sekolah ada saja
kegiatan yang harus kuikuti. Praktikum biologi, les tambahan matematika dan
belajar bareng dengan kelompok belajarku. Karena mengambil hari les beda,
membuat kami nggak bisa ketemu. Lagi pula nggak ada gunanya, pikirku dengan
hati nelangsa.
Siang
ini dandananku rapi. Blus putih, rok biru kotak-kotak dan sepatu sendal kulit.
Gara-gara harus ikut sebuah acara non formil di kantor Papa, aku diwajibkan
rapi oleh Mama. Dari kantor Papa aku langsung les.
Setengah
nggak percaya, kupandangi sosok jangkung yang berjalan ke arahku. Ohh, My God, Ferry! Sudah berapa lama yah aku
nggak ketemu? Yah, hampir sebulan. Dan kini makhluk itu terlihat rapi seperti
biasanya. Kemeja kotak-kotak putih, celana bahan biru dan sepatu kulit hitam,
kemana larinya kaos oblong, jeans
belel, dan cats putih?
“Kamu
sendiri?” balasku nggak mau kalah. Dia nyengir.
“Apa
kabar?” dia memandangku lekat.
Seketika
aku gugup. “Baik-baik saja,” jawabku berusaha tenang. Aku sibuk berdoa.
Ternyata aku belum dapat melupakannya. Ohh, tolonglah aku, Tuhan. “ Tara, kamu
nggak apa-apa kan?” tanyanya cemas.
Aku
menggeleng lesu. Kutarik napas dalam-dalam. Menghilangkan beban dalam dadaku.
Kemudian kurasakan lega.
“Kamu
ikut program intensive kan?” tanyanya setalah kami sama-sama diam. Aku Cuma
mengangguk.
“Daftar
bareng, yuk! Senin depan gimana?”
“Oke,
aku setuju,” jawabku antusias. Nggak nyangka dia bakal mengajakku daftar
bareng.
“Jam
3 siang aku tunggu disini. Jangan sampai lupa, Ra. Aku pengen banget kita bisa
sekelas.”
Dia
memandangku lagi. Lamaaaa. Aku rada salah tingkah juga. Tuhan, jangan buat aku
salah mengambil kesimpulan lagi, pintaku serius.
Oleh : Dian Novianti
SEMAKIN KU PIKIRKAN, AKU SEMAKIN
GELISAH. SETIAP MALAM AKU LEBIH BANYAK MELAMUN DI DEPAN MEJA BELAJAR. TUMPUKAN
BUKU KUBIARKAN BEGITU SAJA TANPA INGIN KUSENTUH
“Kamu
daftar program intensive hari ini aja. Kenapa harus Senin depan sih?”
kerut-kerut di kening Mama bermunculan lagi.
“Nggak
bisa, Ma. Tara udah janji sama teman.”
“Teman?
Teman yang mana, yang nganterin kamu pulang tempo hari itu? Jangan macam-macam,
Tara. Mama nggak mau belajarmu terganggu gara-gara cowok.” Mama menatapku
tajam.
“Udah,
Ri, kamu daftarkan Tara sekalian kalau dia nggak mau ikut. Ngapain sih harus
nunggu orang lain? Nanti kalau nggak kebagian kelas gimana?” keputusan Mama
nggak bisa diganggu gugat lagi.
Salahku
juga. Senin itu aku nggak datang untuk menjelaskan kalau aku sudah daftar
duluan gara-gara aku ketiduran. Ugh, bencinya melihat Ferry jadi berubah dingin
begitu.
“Hmmm,
tumben dandan rapi?” tanya Tari curiga.
“Boleh
dong sekali-kali rapi kan acara perpisahan bimbingantest,” jawabku cuek.
Kupandangi sekali lagi dandananku. Perfect, pujiku. Hmm, pasti Ferry nggak
percaya kalau ternyata aku bisa semodis
ini. Iya, kalau nanti ketemu, kalau nggak? Kutarik napas dan menghembuskannya
perlahan. Tuhan, beri kami kesempatan untuk bertemu trakhir klainya, please!
Samapai
acara dimulai sosoknya nggak kutemukan. Sudah berkali-kali kuedarkan pandangan
ke seluruh penjuru gedung pertemuan ini. Tapi nihil! Mungkin Ferry nggak
datang....
“Cari
siapa sih?” Tari seperti terganggu dengan kesibukanku. “Nggak cari siapa-siapa.
Cuma pengen lihat-lihat siapa tahu dapat kecengan.”
Tari
ngakak, “Mau pergi jauh aja pakai cari kecengan di sini,” ledeknya.
“Namanya
juga usaha,” balasku nggak mau kalah.
Ohh,
Tuhan, please, moga bisa ketemu.
Untuk terakhir kalinya.
“Tara,”
sebuah suara memanggilku. Kuhentikan langkahku. Aku tahu itu suara Ferry.
Seluruh persendian kurasakan lemas. Terimakasih, Tuhan, kau dengar doaku.
“Ri,
tunggu aku dimobil,” Trai menoleh dengan seribu tanda tanya. Tapi dia menurut
juga.
“Aku
pikir kamu nggak datang,” kutatap sejenak mata kelamnya. Lalu menunduk nggak
berdaya.
“Aku
duduk di balkon atas,” suaranya terdengar bergetar.
“Maafkan
kelakuan konyolku beberapa waktu yang lalu. Aku hanya benci kamu bohonh.”
“Nggak
apa-apa kok. Aku yang salah. Nggak seharusnya ingkar janji. Seandainya aja kamu
tahu.....”
“Udah
deh nggak usah dibahas lagi. Udah lewat ini,” tertawanya terdengar perlahan.
“Kamu
mau melanjutkan kuliah dimana, Ra?” tanyanya setelah kami terdiam kesekian
menit.
“Kamu?” aku
balik bertanya.
“Disini
aja. Mudah-mudahan sih dapat FK USU,” jawabnya. “Kamu Ra, di USU juga kan?”
Kutenangkan
diri sebelum aku menjawabnya. Ohh, Tuhan, mengapa aku merasa nada suaranya
penuh harap? Mudah-mudahan pendengaranku yang salah. Aku nggak ingin ada story
di atantara kami sebelum aku pergi. Cukup sebuah rasa suka yang perlahan akan
menghilang.
“Papa
ingin agar aku dan saudara kembarku di Australia. Menurut Papa agar kami bisa
mandiri.”
“Tapi
kamu tetap bisa liburan ke Medan kan,
Ra?” tanyanya terbata-bata. Mungkin dia nggak nyangka aku akan pergi juah.
“Kita
mungkin nggak bisa ketemu lagi, Fer. Papa dipindahkan lagi ke Jakarta.
Kemungkinan kami nggak balik lagi ke Medan.”
“Jadi
kita berpisah?” tanyanya seperto nggak rela.
Dengan
berat aku mengangguk.
“Selamat
jalan, Ra.”
Ketika
kuangkat wajahku, kulihat ada kesedihan di wajahnya. Aku sendiri telah
merasakan kesedihan yang sama sejak menit-menit lalu.
“Terima
kasih semoga kamu sukses,” aku mencoba tersenyum tabah.
Kupandangi
sekali lagi wajahnya sebelum Bang Sam menstater mobil. Selamat tinggal, Fer.
Bergegas kukeringkan air mata tuntas tanpa sisa. Toh nggak ada gunanya. Aku harus
menghadapinya dengan tabah.
Kupandangi
burung-burung yang beterbangan dari balik jendela mobil. Burung-burung itu
seperti aku dan Ferry yang mempunyai kehidupan sendiri-sendiri. Mengarungi
cakrawala luas. Seperti kehidupan kami yang masih panjang. Yang masih memiliki
ribuan episode yang berbeda. Pertemuanku dengan Ferry Cuma episode yang harus
kami hadapi. Dan meninggalkannya seperti buku catatan hati yang harus di tutup
rapat-rapat. Tanpa di buka lagi.
0 komentar:
Posting Komentar