Sabtu, 20 September 2014

Burung-Burung Beterbangan



“Ra, cepetan ntar telat lagi!” teriak Tari. Masih terkantuk-kantuk aku menyiapkan buku paket kimia, buku tulis dan buku les juga pulpen satu biji. Ugh, seharusnya jam segini tidur siang. Dan sorenya bisa ngeceng atau ngumpul-ngumpul sambil ngegosip seperti yang sering aku lakukan dengan Sri, Linda, Pingki, Nella dan Tanti di Singkawang sana. Tapi begitu pindah ke Medan, aku malah mengikuti jejak Tari berajin ria ikut bimbingan test.
          “Tara, sisiran rambutnya yang betul dong,” omel Mama seperti biasa.
          “Tara udah nggak sempat lagi, Mam,” terburu-buru kuambil sendal jepit. Kukepit buku-buku dan pulpen di tangan. Mama geleng-geleng kepala. “Nggak bisa dandan rapian dikit, Ra?”
          “Ah malas, Ma. Mau les ini ngapain sih rapi-rapi segala,” kulirik dandanan Tari yang rapi jali seperti biasanya. Kemeja polos ungu dipadukan dengan rok lebar motif bunga-bunga dengan warna lembut. Sedangkan aku sendiri? Hihihi Cuma kaos oblong putih dan rok abu-abu.
          “Tuh rambut udah panjang. Potong aja kenapa sih? Atau kalau nggak iket biar rapian dikit,” Mama masih saja mengomel di teras. Bang Sam supir pribadi Papa jai tersenyum dengan kecerewetan Mama.
          Sebelum mobil keluar dari Jalan Sakti Lubis aku sudah tertidur di bangku belakang.
          “Bangun, Ra, udah nyampe!” Tari dengan ganas menggoncang-goncang badanku. “Molor melulu,” wajahnya yang cantik cemberut.
          “Ngantuk! Tadi malam belajar kimia organik. Mana pr Bahasa Inggris berjubel-jubel. Sadis deh sekolah di Medan!” jawabku seraya mencari-cari sendal jepit di kolong bangku.
          “Masih ada waktu lima menit lagi. Aku ke ruang diskusi dulu, ada pr kimia,” aku memasuki sebuah ruang yang nggak terlalu luas.
          “Bang, tolongin dong nomor lima,” kusodori buku paket kimia. “Sebentar yah, Dik. Tunggu giliran,” jawab seorang mentor kimia yang sibuk meladeni pertanyaan seorang cowok kacamata. Aku meliriknya nggak sengaja. Hmmm, lumayan manis.
            Tapi lama-lama Si Manis nggak tahu diri. Dia masih asyik diskusi beberapa soal kimia dengan seorang temannya dan mentor kimia.
          “Bang, bentar dong. Tinggal lima menit lagi masuk nih,” aku jengkel juga. Si Manis memandangku. “Pr kimia organik yah? Nomor berapa?” tanyanya simpatik.
“Lima,” jawabku nggak sabar.
          “Nih, aku udah selesai. Copy aja,” dia menyodorkan bukunya.
          “Thanks. Aku lebih suka kalau ngerti jalannya,” kupasang wajah cuek.
          “Terserah,” dia keluar diikuti temannya. Dalam waktu lima menit aku mencoba keterangan mentor kimia dengan baik. Untunglah selesai juga. Bergegas aku masuk kelas begitu bel berbunyi panjang.
          Pulang les kutunggu Tari di pintu gerbang belakang. Mobil Papa juga belum kelihatan. Bang Sam pasti masih di kantor Papa.
          Tiiin, suara klakson motor membuatku kaget. Brengsek! Hampir saja aku terserempet.
          “Bisa naik motor nggak sih?” Omelku. Cowok itu membuka helmnya. “Sorry, aku nggak sengaja.” Si Manis itu lagi rupanya. Tanpa berkata apa-apa aku minggir dan membiarkan motornya lewat.
          “Lho, hari Rabu kok les?” tanya Mama yang asyik dengan majalahnya. “Ikut kelas lain, Mam. Abis kemarin nggak bisa les karena praktikum biologi,” aku menjawab sembari menyisir rambutku yang kini telah rapi sebahu dengan model bob.
          “kenapa nggak pindah hari saja. Les kamu kan bentrok sama praktikum biologi,” Tari datang sengan sepiring rujak yang menggiurkan. Kucomot nanas muda kesukaanku.
          “Malas ngurusnya ah. Lagian sementara ini. Paling nanti praktikumnya pindah hari,” aku segera pamit.
          “Berani kamu pakai sudaco? Tanya Mama khawatir. “Emangnya kammu udah tahu naik sudaco nomor berapa?”
          “Tenang aja deh, Mam. Jangan panggil Tara kalau ke Jalan Batam aja nggak berani pakai sudaco.”
          “Ini Medan, Ra, bukan Singkawang yang kota kecil itu?, Garis-garis di kening Mama bermuculan. “Mama dengar di Medan banyak preman. Betul nggak, Ri?”
          “Tau deh, Ma. Tari sih mendingan nggak keluar rumah kalau nggak diantar Papa atau Bang Sam. Takut.”
          “Kamu sih emang manja,” ledekku sambil pamit. Kupanggil becak yang kebetulan lewt. Di depan pasar Kampung Baru nanti aku naik sudaco.
          Tapi sial, begitu coba naik sudaco ke tempat les, aku malah terlambat. Kucari kelas 8BT dan bergegas masuk. Mentor Rudi yang mengajar matematika sudah memulaikan pelajarannya.
          “Terlambat, Dik?” sebuah suara jail menggoda. Aku cuek. Segera duduk di depan.           “Terlambat sekali nggak apa-apa asal jangan jadi kebiasaan. Karena jika jadi kebiasaan, kamu akan seperti ini jika datang UMPTN nanti,” kata Bnag Rudi. Seluruh kelas gerr.
          Wajahku merah karena merasa tersindir. Aku harus mencari sumber suara brengsek itu!
          “Nggak sholat, Dik?” sebuah suara mengganggu kesibukanku mengerjakan soal-soal. “Istirahat kan biasanya sholat.”
          Lagi-lagi Si Manis itu lagi. Kali ini dengan temannya yang berambut cepak. Ugh, rupanya dia menggodaku tadi.
          “Lagi nggak sholat,” jawabku ketus.
          “Lagi M yah, Dik?” usilnya lagi. Diikuti tawa temannya.
          “Adik, Adik, emangnya kamu kakakku apa? Sembarangan aja manggil adik!” Kututupi kejengahanku karena ketahuan rahasia bulananku.
          “Abis mungil sih. Jedes lagi!” Katanya sebelum pergi. “Hihihi apa hubungannya?” Si cepak ngakak. Si Manis ikutan ketawa dengan suara beratnya.
          Brengsek, brengsek! Aku ngomel-ngomel. Kenapa aku masuk kelas nyebelin ini? Ketemu sama si Brengsek itu lagi. Nggak dua kali deh aku numpang di kelas ini lagi. Amit, amit!
          Tapi dia kok tahu aku sering sholat Ashar di ruang sholat pas istirahat? Padahal aku nggak pernah melihat dia sholat? Mungkin aku yang kelewat cuek? Kugigit pensilku tanpa sadar.
          Sejak aku pindah ke Medan minat ngecengku jadi turun drastis. Habis nggak ada setan-setan penggoda seperti Sri cs yang maunya hura-huar melulu. Krelas tiga ini perlahan semangat belajarku tinggi. Sekolah di Medan saingannya lumayan berat. Belum lagi mikirin soal UMPTN. Mau nggak mau aku harus serius belajar.
          Sampai jadi enggak sempat lagi mikirin soal cowok.
          Beberapa hari yang lalu Sri kirim surat. Udah dapet cowok Medan belum, Ra? Kalau udah, bagi-bagi yah? Aku juga pengen untuk koleksi cowok-cowok dari Sabang sampai Merauke.
          Tanpa sadar aku senyum-senyum sendiri.
          “Kenapa senyum-senyum, Dik? Mulai kumat yah? Udah minum obat belum?” Cowok itu  uncul lagi. Masih dengan Si Cepak. Aku tetap tabah dengan kecuekanku.
          Si Manis itu terlihat kian manis sehabis sholat, lirikku begitu cowok itu kelihatan sibuk berdiskusi pelajaran dengan temannya. Si Cepak juga lumayan. Ohh, seandainya ada Sri, asyik kali yah ngegosip soal cowok.
          Pelajaran fisika kuikuti dengan gelisah. Aduh, gimana pulangnya! Perutku terasa semakin sakit saja. Mana harus naik sudaco lagi. Ya... beginilah risikonyya jadi cewek.
          Selesai kuis kegelisahanku bertambah. Begitu bel pulang berbunyi, aku masih duduk pura-pura sibuk menyalin catatan fisika yang tertinggal. Padahal sih sudah lengkap.
          “Belum pulang, Dik?” Si Manis menyapa. Dengan lesu aku menggeleng. Sibuk memikirkan bagaimana caranya aku pulang? Naik taxi? Hmm, takut juga. Soalnya aku belum hafal jalan. Kalau nanti dibawa kabur gimana? Dengar cerita soal kejahatan di Medan seram juga. Habis kota besar sih. Nggak kaya Singkawang yang aman, sentosa dan damai.
          Kelas sudah sepi. Tinggal aku sendiri. Aduh, aku makin bingung! Tak kuat menahan sakit perut.
          “Kenapa belum pulang juga?” Si Manis balik lagi. Mau nggak mau aku cerita juga masalahku.
          “Aku antarin kamu pulang,” dia dia mengulum senyumnya. Brengsek, sempat-sempatnya  ngeledekin lagi di saat aku kesakitan seperti ini. Tapi Si Manis ini baik juga. Buktinya, mau mengantarkan aku pulang. Tapi aku bingung, aku belum kenal Si Manis masak mau saja diantarkan pulang sih? Tapi pertolongannya amat sangat aku butuhkan....
          “Nggak percaya sama aku yah? Tenang aja deh, aku ngggak punya niat jahat. Niatku cukup baik kokpengen nolongin kamu. Daripada kamu nggak b isa pulang karena sakit, mendingankan bareng aku aja,” Si Manis seperti dapat menebak jalan pikiranku.
          “Oya, kita belum kenalan. Namaku Ferry, kamu?” Dia menyodorkan tangannya seblum mengenakan helmnya. “Tara,” jawabku rada malu. Hmmm, nama Si Manis bagus juga.
          Selama dalamm perjalanan kami kebanyakan diam. Ferry kadang-kadanh nanya arah jalan rumahku. Aku menjawab ala kadarnya karena akupun nggak hafal. Tapi untunglah akhirnya aku sampai juga.
          “Kenapa baru pulang, Ra?” tanya Mama cemas menungguku di teras. Setelah Si Manis pamit, Mama nanyain macam-macam soal dia.
          “Itu teman kamu? Kok Mama nggak pernah lihat? Hati-hati, Ra, jangan pacaran dulu. Kamu udah mau ujian.”
          Aku Cuma geleng-geleng kepala dengan kecerewetannya. Mama, Mama, ada-ada aja! Bagaimana aku akan menceritakan masalahku kalau Mama nggak ngasih kesempatan untuk bicara.
          Sejak Ferry mengantakan aku pulang, aku jadi suka melamunkan dia. Aku berusaha menghilangkan bayangannya. Tapi semakin aku berusaha, bayangannya semakin kuat mengikat. Tidak, Tuhan, jangan biarkan dia hadir di saat aku ingin serius belajar. Aku nggak ingin dia menganggu belajarku.
          Semakin kupikirkan, aku semakin gelisah. Setiap malam aku lebih banyak melamun di depan meja belajar. Tumpukan buku kubiarkan begitu saja tanpa ingin kusentuh.
          Aku resah, apakah ini hanya perasaanku sendiri. Apakah dia juga menyukaiku? Rasanya iya, buktinya dia rajin menarik perhatian dengan menggodaku ketika aku menumpang dikelasnya. Dan dia sudi mengantarku pulang. Kalau nggak ada maksud, buat apa dia buang-buang waktu untuk mengantrku pulang?
          Tapi rasanya juga nggak. Buktinya dia nggak pernah main ke sini. Kalau memang dia suka, dia bisa main ke sini mengadakan ‘pendekatan’. Toh dia telah tahu rumahku. Apa dia terlalu sibuk sehingga nggak sempat ke sini? Kalau dia mau mengantarku pulang, niatnya mungkin Cuma ingin menolong. Lain nggak.
          Aku saja yang merasa ge-er. Mengapa aku menarik kesimpulan semudah itu? Ugh, malu-maluin! Aku menarik napas kesal.
          “Kenapa, Ra, suntuk banget keliatannya?”
          Tari duduk di pinggir tempat tidur. Aku memandangnya bingung. Cerita, nggak, cerita, nggak....
          “Nggak apa-apa kok. Lagi pusing ajah mikirin kuis tadi sore,” aku pura-pura sibuk dengan soal-soal.
          “Gitu aja pakai dipikirin. ‘ntar strees lagi. Minjem catatan biologi dong, Ra, aku ketinggalan nih.”
          Untunglah Tari langsung percaya. Dengan suka cita kuberikan catatanku.
          “Cari siapa sih? Tanya Tari bingung ketika dilihatnya aku masih berdiri di depan pintu gerbang. “Nggak cari siapa-siapa kok,” jawabku gugup.
          “Kalau nggak cari siapa-siapa kenapa nggak langsung masuk. Udah dapat kelasnya belum?”
          “Belum cari. Kami duluan aja deh. Aku masih pengen di sini dulu,” untunglah Tari nurut juga. Aduh, mana tuh anak kok nggak kelihatan. Apa dia nggak ikut Test Uji Kemampuan yang diadakan dua minggu sekali, setiap hari Minggu?
          Karena lelah berdiri akhirnya aku masuk juga. Apalagi aku belum ketemu ruanganku. Mana lima menit lagi test mulai. Asuh, sempat-sempatnya nayriin dia, bukannya belajar mau tset! Mending dia juga nyariin. Aduuh, kamu kok bego banget sih Tara! Aku ngedumel dalam hati.
          “Tara,” seseorang menyapaku begitu test selesai. Aku menoleh bingung mencari sumber suara itu di antara puluhan orang berdesakan pulang.
          Ferry tersenyum manis. Kubalas dengan suka cita. Ugh, akhirnya ketemu juga.
          “Pulang sendiri?” tanyanya.
          Aku menggeleng. “Dijemput.”
          “Oke, kalau gitu aku duluan yah?” Dia berlalu begitu saja.
          Kupandangi tubuhnya yang jangkung. Cuma begini saja? Tara, Tara, rasa sukamu Cuma sia-sia. Kamu Cuma bertepuk sebelah tangan. Sudahlah, Tara, lupakan dia!
          “Kamu kenapa sih, Ra, kayak orang kebingungan gitu?” tanya Tari penasaran.
          “Nggak apa-apa kok. Tuh, Papa jemput!” aku berusaha mengelak.
          Sejak pertemuan terkahir itu, aku nggak pernah ketemu dia lagi. Aku nggak pernah menumpang lagi di kelasnya karena hampir setiap pulang sekolah ada saja kegiatan yang harus kuikuti. Praktikum biologi, les tambahan matematika dan belajar bareng dengan kelompok belajarku. Karena mengambil hari les beda, membuat kami nggak bisa ketemu. Lagi pula nggak ada gunanya, pikirku dengan hati nelangsa.
          Siang ini dandananku rapi. Blus putih, rok biru kotak-kotak dan sepatu sendal kulit. Gara-gara harus ikut sebuah acara non formil di kantor Papa, aku diwajibkan rapi oleh Mama. Dari kantor Papa aku langsung les.
          Setengah nggak percaya, kupandangi sosok jangkung yang berjalan ke arahku. Ohh, My God, Ferry! Sudah berapa lama yah aku nggak ketemu? Yah, hampir sebulan. Dan kini makhluk itu terlihat rapi seperti biasanya. Kemeja kotak-kotak putih, celana bahan biru dan sepatu kulit hitam, kemana larinya kaos oblong, jeans belel, dan cats putih?
          “Kamu kelihatan manis yang ini, Ra. Ngelamar kerja dimana?” ledeknya jail.
          “Kamu sendiri?” balasku nggak mau kalah. Dia nyengir.
          “Apa kabar?” dia memandangku lekat.
          Seketika aku gugup. “Baik-baik saja,” jawabku berusaha tenang. Aku sibuk berdoa. Ternyata aku belum dapat melupakannya. Ohh, tolonglah aku, Tuhan. “ Tara, kamu nggak apa-apa kan?” tanyanya cemas.
          Aku menggeleng lesu. Kutarik napas dalam-dalam. Menghilangkan beban dalam dadaku. Kemudian kurasakan lega.
          “Kamu ikut program intensive kan?” tanyanya setalah kami sama-sama diam. Aku Cuma mengangguk.
          “Daftar bareng, yuk! Senin depan gimana?”
          “Oke, aku setuju,” jawabku antusias. Nggak nyangka dia bakal mengajakku daftar bareng.
          “Jam 3 siang aku tunggu disini. Jangan sampai lupa, Ra. Aku pengen banget kita bisa sekelas.”
          Dia memandangku lagi. Lamaaaa. Aku rada salah tingkah juga. Tuhan, jangan buat aku salah mengambil kesimpulan lagi, pintaku serius.

BURUNG-BURUNG BETERBANGAN
Oleh : Dian Novianti
            


SEMAKIN KU PIKIRKAN, AKU SEMAKIN GELISAH. SETIAP MALAM AKU LEBIH BANYAK MELAMUN DI DEPAN MEJA BELAJAR. TUMPUKAN BUKU KUBIARKAN BEGITU SAJA TANPA INGIN KUSENTUH
          “Kamu daftar program intensive hari ini aja. Kenapa harus Senin depan sih?” kerut-kerut di kening Mama bermunculan lagi.
          “Nggak bisa, Ma. Tara udah janji sama teman.”
          “Teman? Teman yang mana, yang nganterin kamu pulang tempo hari itu? Jangan macam-macam, Tara. Mama nggak mau belajarmu terganggu gara-gara cowok.” Mama menatapku tajam.
          “Udah, Ri, kamu daftarkan Tara sekalian kalau dia nggak mau ikut. Ngapain sih harus nunggu orang lain? Nanti kalau nggak kebagian kelas gimana?” keputusan Mama nggak bisa diganggu gugat lagi.
          Karena aku telah ingkar janji, Ferry selalu membuang wajahnya setiap bertemu. Ingin kujelaskan  segalanya. Tapi sepertinya Ferry nggak mau ngasih kesempatan.
          Salahku juga. Senin itu aku nggak datang untuk menjelaskan kalau aku sudah daftar duluan gara-gara aku ketiduran. Ugh, bencinya melihat Ferry jadi berubah dingin begitu.
          “Hmmm, tumben dandan rapi?” tanya Tari curiga.
          “Boleh dong sekali-kali rapi kan acara perpisahan bimbingantest,” jawabku cuek. Kupandangi sekali lagi dandananku. Perfect, pujiku. Hmm, pasti Ferry nggak percaya kalau ternyata  aku bisa semodis ini. Iya, kalau nanti ketemu, kalau nggak? Kutarik napas dan menghembuskannya perlahan. Tuhan, beri kami kesempatan untuk bertemu trakhir klainya, please!
          Samapai acara dimulai sosoknya nggak kutemukan. Sudah berkali-kali kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru gedung pertemuan ini. Tapi nihil! Mungkin Ferry nggak datang....
          “Cari siapa sih?” Tari seperti terganggu dengan kesibukanku. “Nggak cari siapa-siapa. Cuma pengen lihat-lihat siapa tahu dapat kecengan.”
          Tari ngakak, “Mau pergi jauh aja pakai cari kecengan di sini,” ledeknya.
          “Namanya juga usaha,” balasku nggak mau kalah.
          Ohh, Tuhan, please, moga bisa ketemu. Untuk terakhir kalinya.
          “Tara,” sebuah suara memanggilku. Kuhentikan langkahku. Aku tahu itu suara Ferry. Seluruh persendian kurasakan lemas. Terimakasih, Tuhan, kau dengar doaku.
          “Ri, tunggu aku dimobil,” Trai menoleh dengan seribu tanda tanya. Tapi dia menurut juga.
          “Aku pikir kamu nggak datang,” kutatap sejenak mata kelamnya. Lalu menunduk nggak berdaya.
          “Aku duduk di balkon atas,” suaranya terdengar bergetar.
          Ohh, Tuhan, apa yang akan terjadi? Pikirku bingung. Jangan ada story apa-apa, Tuhan. Aku akan pergi jauh. Aku akan meninggalkannya. Aku nggak akan ketemu lagi.
          “Maafkan kelakuan konyolku beberapa waktu yang lalu. Aku hanya benci kamu bohonh.”
          “Nggak apa-apa kok. Aku yang salah. Nggak seharusnya ingkar janji. Seandainya aja kamu tahu.....”
          “Udah deh nggak usah dibahas lagi. Udah lewat ini,” tertawanya terdengar perlahan.
          “Kamu mau melanjutkan kuliah dimana, Ra?” tanyanya setelah kami terdiam kesekian menit.
          “Kamu?” aku balik bertanya.
          “Disini aja. Mudah-mudahan sih dapat FK USU,” jawabnya. “Kamu Ra, di USU juga kan?”
          Kutenangkan diri sebelum aku menjawabnya. Ohh, Tuhan, mengapa aku merasa nada suaranya penuh harap? Mudah-mudahan pendengaranku yang salah. Aku nggak ingin ada story di atantara kami sebelum aku pergi. Cukup sebuah rasa suka yang perlahan akan menghilang.
          “Papa ingin agar aku dan saudara kembarku di Australia. Menurut Papa agar kami bisa mandiri.”
          “Tapi kamu tetap  bisa liburan ke Medan kan, Ra?” tanyanya terbata-bata. Mungkin dia nggak nyangka aku akan pergi juah.
          “Kita mungkin nggak bisa ketemu lagi, Fer. Papa dipindahkan lagi ke Jakarta. Kemungkinan kami nggak balik lagi ke Medan.”
          “Jadi kita berpisah?” tanyanya seperto nggak rela.
          Dengan berat aku mengangguk.
          “Selamat jalan, Ra.”
          Ketika kuangkat wajahku, kulihat ada kesedihan di wajahnya. Aku sendiri telah merasakan kesedihan yang sama sejak menit-menit lalu.
          “Terima kasih semoga kamu sukses,” aku mencoba tersenyum tabah.
          “Kamu juga,” dia membalas senyumku dengan senyuman yang teramat manis.
          Kupandangi sekali lagi wajahnya sebelum Bang Sam menstater mobil. Selamat tinggal, Fer. Bergegas kukeringkan air mata tuntas tanpa sisa. Toh nggak ada gunanya. Aku harus menghadapinya dengan tabah.

          Kupandangi burung-burung yang beterbangan dari balik jendela mobil. Burung-burung itu seperti aku dan Ferry yang mempunyai kehidupan sendiri-sendiri. Mengarungi cakrawala luas. Seperti kehidupan kami yang masih panjang. Yang masih memiliki ribuan episode yang berbeda. Pertemuanku dengan Ferry Cuma episode yang harus kami hadapi. Dan meninggalkannya seperti buku catatan hati yang harus di tutup rapat-rapat. Tanpa di buka lagi.

0 komentar:

Posting Komentar