Rabu, 25 Juni 2014

Tentang Jeff


Suatu sore di sudut kantin sekolah. Jeff sedang menikmati segelas milkshake coklat kesukaannya. Kupandangi gelas tinggi berisi jus strawberry favoritku tanpa selera. Entah mengapa sore ini aku merasa bad mood.
          “Kamu kenapa sih, Gi? BT gitu? Bingung mau kuliah dimana?”
          Aku hanya tersenyum saja menanggapi pertanyaan Jeff.
          “Mana dong Regi yang kukenal? Regi sahabatku yang selalu ceria, yang selalu memandang hidup ini indah!”
          Kenapa sih, Jeff, elo cuma nganggap gue sahabat elo aja? Gimana kalo gue bilang, gue suka ama elo. Lebih dari sahabat. Seandainya bisa, Tuhan. Seandainya ada keajaiban yang datang pada gue. Dapat berubahkah perasaan elo pada gue, Jeff?
          “Besok naik kereta jam berapa?” tanyaku malas. Jeff memandangiku. Dia pun menjawab enggan. “Jam lima sore.”
           “Jadi rencana kamu gimana? Jadi ikutan ‘SPMB’? Jadi milih UNDIP? Seandainya kamu masih di sini. Kita nggak perlu berpisah,” kupandangi wajah coklatnya. Jeff tersenyum. “Come on, Gi. Kehidupan harus terus berjalan. Tapi persahabatan kita tetap selamanya.”
          “Walau nanti kamu mendapatkan pengganti Vita?”
          Jeff terbahak. “Biar nanti aku udah merit pun kamu tetap sahabatku, Regi.”
          “Jadi kamu tuh sebetulnya udah ‘nyimpen’ cewek di sana yah, Jeff?” godaku lagi. Aku tidak tahu apakah harus bahagia atau sedih.
          Jeff tersenyum. “Sekarang yang aku inginkan aku bisa kuliah sebaik-baiknya. Jadi sarjana lalu kerja. Dan membahagiakan kedua orang tuaku.”
          “Gi, kamu ingat gak pertama kali kita ketemu?” tanyanya tiba-tiba. Aku tersenyum. Ingat kejadian lucu tiga tahun yang lalu.
          “Waktu itu kamu bentak aku hanya karena aku tanya hari kedua ‘Orientasi Sekolah’ bawa apa aja...”
          “Abis aku juga kena bentak kakak senior yang paling sadis gara-gara aku nanya ukuran korek apinya,” potongku tidak mau kalah. “Tapi sorry yah, Jeff. Biar udah aku bentak kamu nggak dendam. Malah nolongin aku. Kalo gak, aku pasti disuruh maju dan dihukum macem-macem.”
          “Kamu tuh lucu, Gi. Kupikir kamu tuh cewek paling galak diantara anak-anak yang lain, taunya waktu kamu nangis-nangis saking paniknya karena tugas kamu belum selesai, aku nggak tega juga,” Jeff tersenyum lebar.
          “Gimana aku nggak panik. Aku disuruh bawa Greensport. Padahal saat itu kan minuman itu udah gak ada lagi. Cuma kamu yang bisa nolong. Untung bude kamu masih nyimpen botol itu. Kamu ngasih ide supaya air jeruk dimasukin ke botol itu aja biar nggak ketauan.”
          Sejak itu persahabatan kami terjalin. Bagiku Jeff sahabat yang paling baik. Waktu Eyang meninggal, Jeff yang mengantarku ke Semarang. Memang sih dia juga sekalian mau pulang kampung. Tapi setidak-tidaknya aku punya teman berbagi kesedihan. Sementara keluargaku berangkat duluan karena aku harus mengikuti ujian kenaikan kelas. Jeff juga yang mendengar keluh kesahku soal Rendy.
          “Aku udah bilang sama kamu, Gi. Putusin Rendy! Buat apa sih kamu menyiksa diri,” nasehatnya waktu itu. Ahh, Jeff, seandainya kamu tahu! Aku terpaksa menerima cinta Rendy karena aku tahu sia-sia saja menunggu cinta darimu. Kamu tidak pernah mencintaiku.        
“Aku nggak setuju kamu pacaran sama Rendy, Gi. Kamu kan tau sendiri tipe cowok macam apa Rendy itu. Korban broken-home, playboy, tukang bolos sekolah. Sementara kamu. Pinter, aktivis OSIS, ketua kelas. Dunia kalian tuh berbeda.”
          “Aku cuma kasian aja ama dia, Jeff. Dia perlu kasih sayang. Itu nggak dia dapetin di rumahnya.”
           Dari rasa kasihan itu aku ‘pura-pura’ mencintainya. Kutemani hari-harinya. Alhamdulillah, perlahan Rendy dapat merubah tingkah lakunya. Dia jadi rajin sekolah, lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah  dan yang penting dia bisa menghargai wanita.
Tapi lama-lama aku tidak kuat juga. Aku tidak bisa membohonginya terus-menerus. Aku terpaksa berkata jujur. Rendy marah. Dia tidak menyangka aku tega berbuat seperti itu.
          “Ini demi kebaikan kamu, Rendy. Aku ingin kamu berubah. Kasihan ortu kamu yang udah susah-susah biayain kamu sekolah, kalo kamu sia-siain begitu aja...”
          “Ala, sok tau kamu! Aku tau kenapa kamu tega berbuat seperti ini terhadapku. Karena Jeff, ‘kan? Aku tau sebetulnya kamu mencintai dia. Kamu cuma pengen buat Jeff jeles!”
          “Kok ngelamun, Gi, inget Rendy yah?” tiba-tiba Jeff menyentuh tanganku. Aku tersenyum. “Kasian Rendy, yah Jeff? Aku nggak tau dimana dia sekarang. Sejak dia tidak naik kelas, dia pindah sekolah.
          “Aku merasa bersalah, Jeff...”
          “Ssttt, jangan ngomong gitu, Gi. Rendy patah hati karena dia amat mencintai kamu.”
          Tiba-tiba aku tertawa. “Cinta itu apa sih, Jeff? Aku nggak pernah tau. Dan aku nggak pengen cinta datang kalo cuma buatku menderita.”
          Jeff juga sama gilanya sore ini. “Sama. Aku juga nggak ngerti cinta itu apa. Di saat aku pengen merasakannya dengan seorang cewek yang betul-betul aku cintai, cewek itu cuma pengen memanfaatkan kebaikanku aja. Aku juga nggak pengen jatuh cinta kalo cuma buat aku sakit hati.”
          Lalu kami sama-sama tertawa terbahak-bahak. Ahh, kapan lagi bisa ’gila’ bareng. Air mataku sampai berjatuhan. Kulihat bahu kokoh Jeff terguncang-guncang saking hebohnya dia tertawa.
          Mendadak aku terdiam. Tuhan, kapan akan kutemui mata kelam itu lagi? Mata yang selalu memandangiku lembut. Yang selalu kutebak-tebak apa artinya? Besok terakhir aku menikmatinya. Setelah itu Jeff akan pergi dari kehidupanku. Walau dia tidak ingin persahabatan kami berhenti, tapi aku yang ingin. Aku tidak ingin terbelenggu oleh sosok Jeff selamanya.
          “Ada apa, Gi?” tanyanya begitu aku terdiam. Perlahan aku menggeleng. “Sore ini saat-saat terakhir kita menikmati kebersamaan kita, Jeff. Aku nggak tau apa nanti aku punya sahabat lagi yang bebas ngomong apa aja seperti kamu. Curhat segala macem. Bagiku kamu sahabat yang paling baik.”
          Jeff mengangguk. “Kamu juga. Kalo bukan kamu yang comblangi aku dengan Vita mungkin aku nggak pernah ngerasain yang namanya pacaran,” katanya lugu.
          Aku tersenyum kecil. Terbayang lagi masa-masa ‘sakit hati’ itu. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa berperan sebaik itu. Memerankan seorang mak comblang yang sukses, padahal hatiku sendiri menjerit pilu.
          Malam Minggu pertama Jeff mengajak kencan Vita. Dia menelpon aku dulu sebelum menjemput Vita. Perasaaku terasa hampa begitu kudengar suaranya yang bahagia. Aku sengaja menghindar ketika dia sedang hepi-hepinya dengan Vita. Jeff sempat protes.
          “Walau aku telah memiliki Vita bukan berarti persahabatan kita renggang seperti ini, Gi.”
          “Tapi aku gak pengen Vita nuduh yang macem-macem dengan persahabatan kita, Jeff.”
          “Emangnya dia nuduh kamu?”
          “Nggak sih. Tapi aku kan tau diri, Jeff. Udah deh nikmati aja hubungan kamu sama Vita. Aku lagi pengen sendiri,” kutinggalkan Jeff. Rasanya aku ingin menjerit. Baru kali ini hatiku terasa sakit sekali. Aku tidak pernah merasakan sebelumnya. Pun ketika  aku putus dengan Rendy.
          Tapi masa-masa manis Jeff cuma berjalan enam bulan. Vita memutuskan hubungan begitu saja ketika dia bertemu lagi dengan seorang cowok yang lebih ‘oke’ ketimbang Jeff. Sejak itu, hampir setiap hari Jeff menelpon aku. Apalagi kalau curhat soal Vita.
          Tidak terasa begitu kulirik jam tanganku, sudah jam setengah enam sore! Ya, ampun! Saking asyiknya ngobrol, sampai tidak terasa kalau di luar sana sudah mulai gelap. Sebentar lagi Maghrib.
          “Yuk, kuantarkan kamu pulang,” setelah membayar minuman, kami menuju tempat parkir. Dia membukakan pintu mobil untukku. Kebetulan sore ini dia pinjam mobil budenya. Sesaat aku tertegun. Kapan lagi ada seorang cowok yang begitu jentelnya memperlakukan aku seperti ini? Ahh, Jeff, andaikan tidak ada perpisahan, keluhku sambil menarik nafas panjang.
*****
          Jeff, aku selalu menikmati hari-hari kita dulu. Setiap bersamamu, selalu mengesankan hatiku. Di saat kita bertengkar pun, bagiku momen itu meninggalkan kenangan tersendiri.
          Jeff, aku selalu dapat menghapal dengan baik, mimikmu bila bercerita. Seru! Dan aku selalu tertawa terkekeh-kekeh melihat gaya bicaramu yang kuanggap lucu. Itu kulakukan hanya ingin menutupi perasaanku sendiri. Betapa aku bahagia bersamamu. Bahagia mendengar ceritamu. Bahagia dengan kebersamaan kita.
          Mendadak aku akan terdiam jika kamu menyinggung soal Vita. Yap, Vita! Gadis cantik yang lincah itu telah mencuri hatimu. Kamu dengan malu-malu mulai mencurahkan isi hatimu yang kudengarkan dengan  pura-pura sepenuh hati.
          “Kamu bisa bantu aku, kan, Gi?” kamu menatapku dalam. Tuhan, jika tidak ada gadis bernama Vita, ingin kusentuh tanganmu yang kokoh dan kubisikkan padamu kalau aku cinta kamu!
          “Gi,” malah kamu yang menyentuh tanganku. “Sori, aku selalu merepotkanmu,” wajahmu yang coklat menatapku bersalah.
          “Nggak, Jeff. Aku akan bantu kamu kok. Kamu sahabatku,” kata sahabat kutekan sedalam mungkin. Walau pahit, itulah kenyataannya.
          “Kupikir sia-sia juga menyukai Vita. Dia pasti tidak menyukaiku.”
          “Dari mana kamu tau?”
          “Aku merasa begitu kok.”  
          Aku tertawa perlahan. “Kamu minder, yah?” Vita anak yang cukup tajir, cukup populer di sekolah ini. Salah satu kembang sekolah.
          Kamu mendelik tidak suka. “Aku nggak minder. Tapi aku denger dia udah punya pacar. Betul nggak sih, Gi?”
          “Kudenger juga begitu.”
          “Cari cewek lain dong! Susah banget sih.”
          “Kamu mau jadi cewekku, Gi?” pintamu tiba-tiba. Jantungku langsung berdebar tidak karuan. Kutatap matamu. Kamu pasti sedang bercanda.
          “Ahh, kamu sendiri nggak mau,” kamu tertawa pelan. “Aku emang bukan cowok yang bisa dibanggakan. Aku cuma Jeff, laki-laki biasa yang tidak punya apa-apa. Seharusnya aku emang nggak mikirin cewek dulu. Tapi Vita, ahh dia terlalu sayang untuk dilupakan,” matamu kembali menerawang.
          Bunyi ponsel membuyarkan lamunan panjangku.        
          “Hai, kamu belom pergi juga?”
          “Hai, Jeff, kamu udah di Gambir, kok cepet banget?” aku melirik jam dinding. Masih jam satu siang. Padahal keretanya sendiri baru berangkat jam lima sore.
          “Tadi aku sekalian ikut budeku yang mau ke Pasar Baru. Mangkanya daripada aku bengong sendirian, mendingan kamu langsung pergi aja, Gi. Kita masih punya waktu buat ngegosip,” katanya semangat.
          “Oke deh, aku berangkat sekarang,” bergegas kuambil tas ransel kulitku dan pamit pada Mama. Rumahku yang berdekatan dengan stasiun KA kampus UI. Aku cukup berjalan kaki menuju stasiun. Untunglah cuma nunggu beberapa menit, KA Jabotabek jurusan Kota datang. Aku segera naik.
          Penumpang kereta tidak berjubel seperti biasanya. Aku leluasa duduk di dekat pintu dengan pikiran yang menerawang kemana-mana.
          Rasanya baru kemarin ketika Jeff mengajakku main ke Bogor meminjam motor sepupunya. Ketika pulang, hujan turun sangat deras. Jeff memberikan jaketnya untuk kupakai. Dengan badan menggigil kami terpaksa berhenti di sebuah mushola kecil.
          “Sori yah, Gi,” katanya minta maaf. Aku cuma tersenyum aja. Dan ketika perjalanan terpaksa dilanjutkan lagi karena sudah malam. Jeff ngebut untuk mengejar waktu supaya  tidak kemalaman. Beberapa kali dia ngerem mendadak. Tubuhku bersentuhan dengan punggungnya yang kokoh. Dadaku langsung berdebar-debar. Norak!
          Aku tersenyum sendiri. Seorang ibu di depanku menatapku heran. Siapa yang peduli. Aku melanjutkan kembali lamunanku.
          Rasanya juga baru kemarin ketika Jeff mengajakku nonton acara LA Lights Jazz di kampus UI. Informasi mengenai acara-acara kampus yang terbuka untuk umum, selalu kutahu dari sepupuku Mira, yang kuliah di UI.
          Suasananya begitu asyik karena kulihat semua penonton menikmati permainan musik grup jazz tersebut. Beberapa kali kepala Jeff bergoyang mengikuti irama musik yang mengasyikkan. Kami larut dalam suasana yang mengasyikka itu.
          “Wah, gila, mereka kreatif banget,” puji Jeff pada sebuah bintang tamu yang mengkombinasikan musik jazz dengan alat musik tradisional. Aku mengangguk setuju. Siang itu aku hepi banget. Kami bisa sama-sama nonton acara musik jazz itu. Bagiku kesempatan itu jarang terjadi.
          Lamunanku terputus begitu kereta berhenti. Aku lihat baru sampai stasiun Manggarai. Kulirik jam tangan. Jam tiga kurang. Ya, ampun lama juga perjalanan! Tadi di stasiun Pasar Minggu kereta juga berhenti agak lama.
          Sampai sepuluh menit kereta belum juga berangkat. Kulirik jam tangan tidak sabar. sudah jam tiga lewat sepuluh menit. Aku terpaksa turun. Segera kustop taxi yang kebetulan mangkal di depan stasiun Manggarai.
          “Gambir, Pak,” kataku tidak sabar.
          Begitu sampai di Gambir jam sudah menunjukkan jam empat kurang lima belas menit. Gila juga, makiku begitu melihat argo taxi. Jakarta sekarang tidak toleransi lagi soal waktu dan tempat. Jam berapa pun pasti macet!
          Setengah berlari aku naik ke lantai dua. Tapi Jeff tidak kelihatan. Apa mungkin dia menunggu di lantai tiga, dipikirnya pasti aku naik KA Jabotabek? Aku naik lagi. Dengan nafas yang masih terengah-engah kucari Jeff. Tapi tidak kelihatan juga.
          Pufff! Kutarik nafas kuat-kuat. Kucoba tenang. Barangkali Jeff ada kafe. Mungkin dia menungguku di sana? Begitu aku turun, kudengar suara sms masuk ke ponselku. Dia menungguku di lantai satu. Tolol, mengapa aku tidak menelponnya sedari tiba di Gambir, aku memaki diriku sendiri.
          Jeff sialan! aku ngomel-ngomel. Tapi kali ini aku tersenyum lega.
          “Kemana aja sih, Gi?” tanya Jeff begitu melihatku. Kuceritakan semuanya. Jeff tertawa ngakak. “Jadi waktu kamu naik ke lantai tiga, aku malah turun ke bawah. Soalnya aku tungguin KA Jabotabek, kok kamu nggak muncul. Aku pikir kamu naik taxi. Aku telpon tapi kamu nggak ngangkat ponselmu.”
          Jeff langsung mengajakku ke kafe. Dia pesan secangkir kopi krem dan aku  lemon tea. “Makan. Gi?” tawarnya. Aku menggeleng. “Nggak laper.”
          Cuma sisa satu jam pertemuanku yang terakhir dengannya. Heran, kali ini kami lebih banyak diam. Beberapa kali kulihat dia meneguk minumannya. Minumanku sendiri tinggal setengah.
          “Haus, Gi? Kok gelasnya bocor yah?” dia mencoba mencair suasana dengan meledekku.
          “Huh,” kumonyongkan bibirku. Dia memang suka menggodaku. Jeff tertawa panjang. “Kapan lagi kita bisa seperti ini yah, Gi?”
          Kuteguk lagi minumanku. “Awas, kalo aku ke Semarang, kamu nggak mau main ke rumah Eyangku!” ancamku pura-pura galak.
          “Beres! Entar aku ajak jalan-jalan kelilingi kota Semarang. Aku nelaktir kamu deh. Mau makan, nonton, tinggal bilang aja.”
          “Bener yah? Awas, kalo kamu bohong!” kami tertawa lagi. Heboh! Beberapa pengunjung melihat ke arah kami dengan tatapan tidak suka. Tapi siapa yang peduli. Ini saat-saat terakhir aku bersamanya.
          “Seharusnya kamu kuliah aja di Kedokteran UI, gak perlu mudik lagi ke Semarang,” tak sengaja kutatap mata kelamnya. Jeff tersenyum.
          “Bapakku sekarang sudah pensiun, Gi. Beliau ingin membantu meneruskan usaha keluarganya. Nggak salah kan, kalo aku juga ikut membantunya. Apalagi alasanku ‘kabur’ ke Jakarta karena aku tidak tahan melihat orang tuaku selalu bertengkar. Ini bentuk protesku terhadap mereka. Syukurlah, kini mereka sudah akur lagi, Gi.”
          Aku terdiam. Memandangi gelas tinggi berisi tea lemon. Setiap orang memiliki kehidupan sendiri-sendiri. Rendy yang memilih lari dari masalah, dan tak mau kembali. Jeff lebih baik, dia pun menutupi kekecewaannya dengan memilih jalan hidupnya sendiri. Melanjutkan SMU-nya ke Depok, tinggal bersama budenya. Kini dia memilih kembali keluarganya yang masih membutuhkan kehadirannya.
          Sedangkan aku? Kupandangi langit dari jendela kafe. Aku ibarat awan-awan biru, seperti kelihatannya indah. Namun di dalamnya terasa hampa, kosong...
          “Udah jam lima kurang dua puluh menit, Gi. Kayaknya aku harus siap-siap deh...Shit!” Jeff merogoh kantongnya. “Aku lupa belum beli tiket, Gi!”
          Aku geleng-geleng kepala. “Aduuh, kamu tuh gimana sih, Jeff? Niat pulang gak sih?
          Jeff menggeleng. “Rasanya aku masih pengen di sini sama kamu. Ok, kamu nunggu dulu ya, Gi. Aku ke bawah dulu,” Jeff langsung pergi. Sepuluh menit kemudian, dia datang dengan senyum lebar. “Untung masih kebagian, Gi.”
          “Kamu niat pulang nggak sih?” tanyaku pura-pura marah. Pertanyaan itu kuulang lagi. Aku berharap dia membatalkan kepergiannya.
Jeff tersenyum. “Sebetulnya nggak sih. Aku berat berpisah sama kamu, Gi,” dia menatapku lama. Membuatku salah tingkah.
Rasanya aku membayangkan Jeff mengajakku pergi bersama. Kami pergi naik kereta api, entah tujuan kemana. Dengan masing-masing big ransel di punggung, kami seperti ingin pergi berlibur. Travelling ke sebuah tempat.
Namun ternyata, Jeff lalu mengajakku naik ke lantai tiga.
          Kereta jurusan Semarang sudah datang. Jeff mengajakku masuk ke dalam. Menemani mencari nomor bangkunya. “Nih, Jeff,” tunjukku pada nomor 8A. Jeff meletakkan big ransel dan sebuah tas travelnya ke tempat penyimpanan.
          “Udah yah, Jeff, aku turun. Entar kebawa sampe ke Semarang nih,” candaku dengan senyum yang dipaksakan. Lamunanku, Jeff menahan tanganku dan menatapku dengan wajah memelas, “kamu mau pergi bersamaku gak, Gi? Kamu kuliah di Undip juga ya?”
“Kuantar, yuk!” gandengan tangannya membuyar lamunanku.
          “Udah kamu masuk gih, entar ketinggalan!” kudorong tubuhnya yang jangkung agar masuk kembali. Jeff menatapku lama sebelum dia masuk.
          “Aku pergi dulu yah, Gi,” dia langsung masuk. Aku hanya diam terpaku. Sebuah pengumuman terdengar. Kereta jurusan Semarang akan segera berangkat.
          Beberapa menit kemudian, kereta bergerak perlahan. Jeff melambaikan tangannya begitu lewat dihadapanku. Kubalas dengan perasaan yang tak menentu.
          Kugigit bibirku pedih. Tiba-tiba kurasakan kesunyian di sekelilingku. Aku kembali seperti awan-awan biru itu. Hampa. Perasaanku terasa kosong. Tidak akan kutemukan lagi mata kelamnya, tawa lepasnya, wajah coklatnya yang bersahabat dan segala kebaikannya.
          Kuhela nafasku kuat-kuat. Mataku terasa panas. Kupalingkan wajahku ke samping. Aku tidak ingin orang-orang itu melihatku menangis. Tapi siapa yang peduli?
          Kulihat kereta semakin kencang melaju. Semakin berlari menjauh. Jauh. Membawa Jeff pergi. Tak terjangkau lagi.

*****

0 komentar:

Posting Komentar