MIMPI
NAYLA
Oleh: Dian Novianti
Nayla menatap senja dari balik jendela
kamarnya. Senja kali ini berwarna biru keabu-abuan. Tampaknya sebentar lagi
hujan akan turun. Nayla bersyukur. Dia selalu menyukai suasana hujan. Mencium
bau udaranya yang khas seraya memandangi rinai hujan yang menari-nari seperti
melagukan sebuah tembang sendu.
Tak sengaja, matanya menatap kalender
yang berada di samping jendela, 27 Mei 2004. Betapa cepat hari-hari berganti.
Rasanya baru kemarin dia sibuk menyusun bab demi bab skripsinya. Mempersiapkan
sidang, wisuda lalu menerima tawaran untuk menjadi tenaga pengajar di
kampusnya. Betapa cepat waktu berlalu. Tak terasa hampir sepuluh tahun. Berapa
banyak yang sudah dia lakukan dalam kurun satu dasa itu?
Menyelesaikan pendidikan strata dua
yang diperolehnya dari sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta dalam bidang
sistem informasi. Hari-harinya selalu dipadati dengan mengajar, mengadakan
penelitian atau sekedar mendengarkan berbagai keluhan atau persoalan para
mahasiswanya.
Nayla seorang pendengar yang baik. Dia
selalu dapat menyediakan waktu yang tersisa itu untuk mahasiswa-mahasiswanya.
Mencarikan jalan keluar dari masalah yang mereka hadapi. Dari keuangan,
akademik, kampus sampai masalah pribadi. Tidak sedikit dari mereka sudah menikah,
sehingga mereka sering sharing mengenai
kehidupan rumah tangga mereka.
Dari cerita-cerita mereka, kadang
menimbulkan keinginannya untuk menikah. Kadang dia
mengkhayal, seperti apa rasanya menikah, punya keluarga. Suaminya pasti seorang
laki-laki yang tampan, smart dan
sabar. Apakah dia bertubuh jangkung, berkulit putih bersih dengan wajah
kejawa-jawaan? Seperti Irgi...kah?
Tiba-tiba lamunannya mengarah pada sesosok laki-laki
muda, yang telah menemani hari-harinya hampir sedasa ini. 10 tahun? Tanpa sadar
Nayla menggeleng, betapa lamanya. Betapa kuatnya dia memendam perasaannya
selama ini.
Dia dan Irgi bersahabat mulai dari hari pertama mereka
masuk kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta di daerah Margonda, Depok.
Mulanya, Bu Kristin menugaskan mereka untuk mengkoordinir kegiatan para
mahasiswa di kelas mereka. Entah yang berkaitan dengan tugas, diktat kuliah, pendaftaran
ulang awal semester, pengumpulan Kartu Rencana Studi, pembagian Daftar Nilai, penjadwalan
Semester Pendek dan lain-lain.
Tadinya Nayla tidak menyadari bahwa perasaannya telah
berubah terhadap Irgi. Betapa selama ini dia terkesan dengan kebaikan,
perhatian dan ketulusan Irgi padanya.
Nayla tidak pernah berani bertanya sedikit pun tentang
perasaan Irgi terhadapnya, yang dia tahu bahwa Irgi tidak menyukai wanita
berumur lebih tua darinya. It’s fact,
umurnya dua tahun lebih tua dari Irgi. Karena itu dia tidak pernah berani
berharap. Menanam asa pada laki-laki Jawa itu. Kalaupun Irgi menyayanginya,
Nayla tahu, itu tidak lebih dari sekedar sahabat.
Di usianya yang tidak muda lagi, terkadang terbesit
keinginan untuk memiliki sebuah keluarga. Memiliki sepasang anak yang
lucu-lucu. Laki-laki dan perempuan. Pasti mereka setampan ayah dan secantik
ibunya. Walau Nayla sering menempis keinginannya itu. Dia sadar,
Tuhan belum berkenan memberikan pendamping hidupnya hingga detik ini. Dari
sekian banyak keberkahan dan kemudahan yang Tuhan telah berikan padanya, hanya
satu kekurangannya menjadi seorang wanita, yaitu menjadi istri dan ibu yang
baik untuk anak-anaknya.
Hingga usianya diambang 32 tahun, dia
masih betah melajang. Sementara kedua adiknya telah ‘menghadiahkan’ cucu-cucu yang
lucu untuk kedua orang tuanya. Nayla menerima semuanya dengan ikhlas. Karena
dia menyadari, inilah jalan kehidupan yang harus dia jalani.
Untunglah orang tuanya tidak pernah
memaksanya untuk segera menikah. Mereka membiarkan Nayla untuk memilih jalan
hidupnya sendiri. Mereka hanya menginginkan Nayla bahagia. Hanya itu.
Bahagiakah dia? Nayla tergelitik
dengan pertanyaan batinnya. Sambil memandangi suasana senja yang makin redup
dan dihiasi rintik-rintik hujan, dia membiarkan pikirannya menerawang
kemana-mana.
Sejujurnya dia bahagia. Dia memiliki
kehidupan yang mapan. Rumah mungil, kendaraan roda empat yang dibelinya secara
kredit dan karirnya sebagai seorang dosen yang menjanjikan. Dia bersyukur,
selama dia kuliah hingga kini, dia merasa tidak pernah menyusahkan orang
tuanya. Ketika kuliah, dia sudah hidup mandiri dengan bekerja sambil kuliah.
Begitu lulus, dia langsung bekerja. Melanjutkan pendidikan ke S2 pun gratis.
Semua biaya ditanggung pihak universitas, tempatnya mengajar
Di Jakarta, dia
tinggal sendiri. Orang tua dan kedua adiknya tinggal di Bandung. Karena
hidup sendiri, dia hidup prihatin. Gajinya tiap bulan dia tabung hingga
dia berhasil membeli sebuah rumah mungil di pinggiran Depok, lima tahun yang
lalu. Di waktu libur pun, dia manfaatkan dengan mengajar di
kampus lain. Selain menambah penghasilan, dia berharap dengan kesibukannya itu,
dapat mengurangi kesepian dalam hidupnya.
Suara adzan Maghrib menyadarkan lamunan panjangnya. Di
luar, suasana semakin redup. Semakin muram. Senja
telah pergi. Hujan turun semakin lebat. Angin malam menusuk-nusuk kulitnya yang
putih bersih. Nayla bergegas menutup jendelanya.
*****
Suatu malam Nayla bermimpi.
Dalam mimpinya, Nayla mendapatkan seorang bayi laki-laki
yang lucu. Kulitnya putih bersih, wajahnya tampan seperti…Irgi. Tangannya yang
mungil melambai-lambai ke arahnya. Seperti memanggilnya. Nayla ingin menggendongnya.
“Bayinya minta digendong, Bu,” seorang perawat menyodorkan
bayi mungil itu ke hadapannya.
“Tapi tubuh saya masih lemah, Mbak,” Nayla menolak dengan
perasaan iba melihat bayi itu, yang terlihat kehausan minta minum darinya.
“Biar saya gendong, Mbak,” seseorang datang menawarkan
bantuan. Ketika Nayla menoleh, mencari sumber suara tadi. Ternyata…Irgi.
Laki-laki itu…Tuhan, apakah Engkau telah ‘menyulap’ umurku dua tahun lebih muda darinya hingga Irgi berkenan melamarku menjadi istrinya?
Selama ini dia berharap agar suatu saat Irgi akan
melamarnya. Walau dia menyadari, Irgi tidak menyukai wanita yang lebih tua
darinya. Menyadari itu membuat hatinya sedikit terluka, namun dia belum dapat
menghapus bayang-bayang Irgi dalam kehidupannya.
Di mimpi yang lain, Nayla merayakan ulang tahun si kecil
bersama Irgi di sebuah pesantren bersama para santri. Si kecil terlihat bahagia
menggapai-gapai kue ulang tahunnya berbentuk tokoh angry bird . Irgi mengeceup pipi montoknya. Nayla tersenyum
sumringah menggendong buah hatinya.
Malam yang lain, Nayla kembali bermimpi.
Mereka sedang berada di sebuah taman bunga yang indah.
Berbagai jenis bunga memenuhi hampir seluruh isi taman itu. Bunga mawar,
krisan, tulip, anyelir, alamanda, sedap malam dan lain-lain. Warnanya
indah-indah, membuat Nayla ingin memetik salah satunya.
Nayla menggandeng tangan seorang anak laki-laki. Tanpa terasa bayi itu telah berusia 3 tahun. Dia laki-laki yang
sangat tampan. Berambut ikal, hidung mancung, bibir tipis dan berkulit putih
bersih. Dan di sebelahnya, Irgi memeluk bahunya erat. Mereka berjalan
beriringan. Menikmati suasana taman yang indah.
Tiba-tiba gerimis datang. Mereka berlarian menyelamatkan
diri. Hujan turun makin lebat. Nayla tak dapat melihat dengan jelas
pandangannya. Putranya menghilang, tak dalam genggaman tangannya. Nayla
mendengar putranya memanggil-manggil namanya. Nayla mencoba mencarinya, namun
yang terlihat hanya rinaian hujan yang menari-nari.
“Nayla, cari anak kita!” terdengar teriakan suara Irgi.
Nayla lalu terbangun.
*****
Nayla mencoba mencari jawaban atas
mimpinya akhir-akhir ini. Dia membaca pada sebuah buku. Buku itu mengatakan
bahwa mimpi adalah refleksi dari harapan-harapan yang kita simpan selama ini.
Sedalam apa pun kita menyimpannya, namun asa itu selalu ada. Seikhlas apa pun
kita menerima kenyataan yang ada, namun keinginan itu selalu membayangi
hari-hari kita.
Nayla termenung. Mencoba mencerna
kalimat-kalimat itu.
Tidak bisa
dipungkiri bahwa dia kesepian. Pencapaian yang sudah dia raih dalam hidupnya
ternyata tidak bisa mengisi kekosongan batinnya. Lumrah, karena dia seorang
wanita biasa yang tetap ingin bahagia dalam hidupnya. Dan kebahagiaan itu dapat
diraihnya dengan memiliki seorang suami yang menyayanginya dan tentu saja buah
hatinya yang dapat mewarnai hari-harinya.
Namun jika Tuhan belum
berkenan memberinya jodoh, apakah dia harus meratapi terus-menerus
kesedihannya? Selalu berharap jika suatu saat Irgi akan datang melamarnya, kemudian mereka menikah dan memiliki sepasang
anak yang lucu-lucu?
Nayla menghela nafasnya
berat. Disibaknya tirai yang menutupi jendela kamarnya. Pagi yang cerah.
Mentari telah bersinar terang. Nayla bergegas bangun dan memulai aktivitasnya.
*****
Begitu tiba di kampus, Nayla memasuki ruang dosen dan duduk di meja kerjanya. Ponselnya memberikan
signal ada sms yang masuk. Nayla membuka ponselnya.
Nay, nanti malam
kujemput. Dandan yang cantik ya, see you later. Irgi mengajaknya
makan malam di sebuah restoran Italia di daerah Menteng.
Nayla membuka laptopnya. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan.
Namun Nayla malah termenung
di depan laptopnya. Akhir-akhir ini mereka jarang pergi besama.
Walau sebelumnya, hampir setiap minggu, Irgi selalu berkunjung ke kampus atau
ke rumahnya. Mereka bekerja di kampus yang berbeda. Nayla di kampus almamaternya
sedangkan Irgi diterima sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi negeri. Walau
kedua kampus itu hanya berjarak beberapa kilometer saja, namun karena
kesibukan, mereka jarang bertemu. Mereka jarang lunch atau dinner bersama. Namun, seperti biasa Nayla selalu
menunggu kehadiran Irgi. Begitu lamakah dia menunggu, 10 tahun? Tanpa sadar
Nayla menggeleng-geleng kepalanya.
Nayla berdandan secantik mungkin. Dia
mengenakan gaun malam berwarna merah marun dengan model simpel. Rambutnya yang
sebahu diikat buntut kuda, memperlihatkan lehernya yang jenjang. Dandanannya
sederhana, namun tidak mengurangi kecantikannya.
Dikenakan kalung bermata safir dengan
warna yang senada dengan gaunnya. Terlihat kontras dengan giwang mutiara mungil
berwarna putih tulang. Tas kepit hitam sepadan dengan sepatu berhak tinggi
dengan warna yang sama.
Irgi terpaku. Pandangannya tak lepas
dari sosok wanita di hadapannya, membuat Nayla tersipu-sipu. Lalu mereka
memesan makanan khas Italia.
“Nayla, mungkin ini pertemuan kita
yang terakhir di Indonesia,” suara Irgi
memecahkan kesunyian diantara mereka. Sebuah tembang lembut menemani acara
makan malam itu.
Nayla mengangkat gelas tingginya.
Diteguk sedikit isinya. Dia mencoba tenang. Ditunggunya kata-kata Irgi
berikutnya.
“Aku harus pergi. Kedutaan Inggris
menawariku beasiswa S3 dengan komitmen aku
harus bekerja di sana selepas kuliah. Karena itu aku mengajakmu ke sini, entah sebagai acara perpisahan kita atau…,” kali ini Irgi yang meneguk minumannya. Dipandanginya
Nayla sebentar, sebelum melanjutkan kalimat berikutnya.
“Setelah bertahun-tahun kita
bersahabat, aku hanya ingin berterima kasih kepadamu, bahwa kau telah bersedia
menjadi sahabatku selama ini. Bersedia mendengar ceritaku, masalahku dan
menemani hari-hariku. Bertahun-tahun. Bukan waktu yang sebentar, tapi kau telah
berhasil menjadi sahabatku yang paling baik, Nayla.”
Nayla terdiam. Pandangannya terpaku
pada isi gelasnya yang berwarna putih keperakan. Kalau itu racun, mungkin dia
akan meneguknya sampai habis. Agar dia dapat bermimpi lagi. Bermimpi tentang
taman yang indah. Bermimpi tentang seorang anak laki-laki yang tampan.
Suara Irgi makin terdengar samar-samar.
Yang terdengar kemudian adalah sebuah tembang lembut yang membuaikan telinga
Nayla.
Kali ini Nayla tersenyum. Entah pada
siapa. Dan untuk apa senyuman itu. Mungkin untuk menandakan bahwa dia telah
mengetahui arti mimpinya selama ini. Bahwa dia harus segera melupakan Irgi.
Melupakan impiannya? Namun tiba-tiba terdengar suara Irgi yang lembut,
menatapnya penuh mesra. “Nayla, maukah kau menikah denganku?
Aku sadar bahwa aku tidak bisa berpisah denganmu. Aku baru menyadari bahwa
selama ini aku mencintaimu. Selama ini aku bodoh, sudah menyia-nyiakan kebaikan
hatimu. Nayla, maafkan aku,” Irgi menggenggam tangannya erat. Nayla tertegun,
mengangkat wajah cantiknya dan memandangi wajah tampan di depannya. Oh,
Tuhan...apakah ini hanya mimpi? Tanpa sadar Nayla mencubit lengannya,
sakiiit...
Nayla membalas menatap wajah
tampan di depannya. Tanpa kata-kata apapun, dia yakin Irgi sudah tahu
jawabannya.
0 komentar:
Posting Komentar