Selasa, 24 Juni 2014

Mimpi Nayla


MIMPI NAYLA
Oleh: Dian Novianti

          Nayla menatap senja dari balik jendela kamarnya. Senja kali ini berwarna biru keabu-abuan. Tampaknya sebentar lagi hujan akan turun. Nayla bersyukur. Dia selalu menyukai suasana hujan. Mencium bau udaranya yang khas seraya memandangi rinai hujan yang menari-nari seperti melagukan sebuah tembang sendu.
          Tak sengaja, matanya menatap kalender yang berada di samping jendela, 27 Mei 2004. Betapa cepat hari-hari berganti. Rasanya baru kemarin dia sibuk menyusun bab demi bab skripsinya. Mempersiapkan sidang, wisuda lalu menerima tawaran untuk menjadi tenaga pengajar di kampusnya. Betapa cepat waktu berlalu. Tak terasa hampir sepuluh tahun. Berapa banyak yang sudah dia lakukan dalam kurun satu dasa itu?
          Menyelesaikan pendidikan strata dua yang diperolehnya dari sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta dalam bidang sistem informasi. Hari-harinya selalu dipadati dengan mengajar, mengadakan penelitian atau sekedar mendengarkan berbagai keluhan atau persoalan para mahasiswanya.
          Nayla seorang pendengar yang baik. Dia selalu dapat menyediakan waktu yang tersisa itu untuk mahasiswa-mahasiswanya. Mencarikan jalan keluar dari masalah yang mereka hadapi. Dari keuangan, akademik, kampus sampai masalah pribadi. Tidak sedikit dari mereka sudah menikah, sehingga mereka sering sharing mengenai kehidupan rumah tangga mereka.
          Dari cerita-cerita mereka, kadang menimbulkan keinginannya untuk menikah. Kadang dia mengkhayal, seperti apa rasanya menikah, punya keluarga. Suaminya pasti seorang laki-laki yang tampan, smart dan sabar. Apakah dia bertubuh jangkung, berkulit putih bersih dengan wajah kejawa-jawaan? Seperti Irgi...kah?
Tiba-tiba lamunannya mengarah pada sesosok laki-laki muda, yang telah menemani hari-harinya hampir sedasa ini. 10 tahun? Tanpa sadar Nayla menggeleng, betapa lamanya. Betapa kuatnya dia memendam perasaannya selama ini.
Dia dan Irgi bersahabat mulai dari hari pertama mereka masuk kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta di daerah Margonda, Depok. Mulanya, Bu Kristin menugaskan mereka untuk mengkoordinir kegiatan para mahasiswa di kelas mereka. Entah yang berkaitan dengan tugas, diktat kuliah, pendaftaran ulang awal semester, pengumpulan Kartu Rencana Studi, pembagian Daftar Nilai, penjadwalan Semester Pendek dan lain-lain.
Tadinya Nayla tidak menyadari bahwa perasaannya telah berubah terhadap Irgi. Betapa selama ini dia terkesan dengan kebaikan, perhatian dan ketulusan Irgi padanya.
Nayla tidak pernah berani bertanya sedikit pun tentang perasaan Irgi terhadapnya, yang dia tahu bahwa Irgi tidak menyukai wanita berumur lebih tua darinya. It’s fact, umurnya dua tahun lebih tua dari Irgi. Karena itu dia tidak pernah berani berharap. Menanam asa pada laki-laki Jawa itu. Kalaupun Irgi menyayanginya, Nayla tahu, itu tidak lebih dari sekedar sahabat.
Di usianya yang tidak muda lagi, terkadang terbesit keinginan untuk memiliki sebuah keluarga. Memiliki sepasang anak yang lucu-lucu. Laki-laki dan perempuan. Pasti mereka setampan ayah dan secantik ibunya. Walau Nayla sering menempis keinginannya itu. Dia sadar, Tuhan belum berkenan memberikan pendamping hidupnya hingga detik ini. Dari sekian banyak keberkahan dan kemudahan yang Tuhan telah berikan padanya, hanya satu kekurangannya menjadi seorang wanita, yaitu menjadi istri dan ibu yang baik untuk anak-anaknya.
          Hingga usianya diambang 32 tahun, dia masih betah melajang. Sementara kedua adiknya telah ‘menghadiahkan’ cucu-cucu yang lucu untuk kedua orang tuanya. Nayla menerima semuanya dengan ikhlas. Karena dia menyadari, inilah jalan kehidupan yang harus dia jalani.
          Untunglah orang tuanya tidak pernah memaksanya untuk segera menikah. Mereka membiarkan Nayla untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Mereka hanya menginginkan Nayla bahagia. Hanya itu.
          Bahagiakah dia? Nayla tergelitik dengan pertanyaan batinnya. Sambil memandangi suasana senja yang makin redup dan dihiasi rintik-rintik hujan, dia membiarkan pikirannya menerawang kemana-mana.
          Sejujurnya dia bahagia. Dia memiliki kehidupan yang mapan. Rumah mungil, kendaraan roda empat yang dibelinya secara kredit dan karirnya sebagai seorang dosen yang menjanjikan. Dia bersyukur, selama dia kuliah hingga kini, dia merasa tidak pernah menyusahkan orang tuanya. Ketika kuliah, dia sudah hidup mandiri dengan bekerja sambil kuliah. Begitu lulus, dia langsung bekerja. Melanjutkan pendidikan ke S2 pun gratis. Semua biaya ditanggung pihak universitas, tempatnya mengajar
          Di Jakarta, dia tinggal sendiri. Orang tua dan kedua adiknya tinggal di Bandung. Karena hidup sendiri, dia hidup prihatin. Gajinya  tiap bulan dia tabung hingga dia berhasil membeli sebuah rumah mungil di pinggiran Depok, lima tahun yang lalu. Di waktu libur pun, dia manfaatkan dengan mengajar di kampus lain. Selain menambah penghasilan, dia berharap dengan kesibukannya itu, dapat mengurangi kesepian dalam hidupnya.
Suara adzan Maghrib menyadarkan lamunan panjangnya. Di luar, suasana semakin redup. Semakin muram. Senja telah pergi. Hujan turun semakin lebat. Angin malam menusuk-nusuk kulitnya yang putih bersih. Nayla bergegas menutup jendelanya.
*****

Suatu malam Nayla bermimpi.
Dalam mimpinya, Nayla mendapatkan seorang bayi laki-laki yang lucu. Kulitnya putih bersih, wajahnya tampan seperti…Irgi. Tangannya yang mungil melambai-lambai ke arahnya. Seperti memanggilnya. Nayla ingin menggendongnya.
“Bayinya minta digendong, Bu,” seorang perawat menyodorkan bayi mungil itu ke hadapannya.
“Tapi tubuh saya masih lemah, Mbak,” Nayla menolak dengan perasaan iba melihat bayi itu, yang terlihat kehausan minta minum darinya.
“Biar saya gendong, Mbak,” seseorang datang menawarkan bantuan. Ketika Nayla menoleh, mencari sumber suara tadi. Ternyata…Irgi. Laki-laki itu…Tuhan, apakah Engkau telah ‘menyulap’ umurku dua tahun lebih muda darinya hingga Irgi berkenan melamarku menjadi istrinya?
Selama ini dia berharap agar suatu saat Irgi akan melamarnya. Walau dia menyadari, Irgi tidak menyukai wanita yang lebih tua darinya. Menyadari itu membuat hatinya sedikit terluka, namun dia belum dapat menghapus bayang-bayang Irgi dalam kehidupannya.
Di mimpi yang lain, Nayla merayakan ulang tahun si kecil bersama Irgi di sebuah pesantren bersama para santri. Si kecil terlihat bahagia menggapai-gapai kue ulang tahunnya berbentuk tokoh angry bird . Irgi mengeceup pipi montoknya. Nayla tersenyum sumringah menggendong buah hatinya.
Malam yang lain, Nayla kembali bermimpi.
Mereka sedang berada di sebuah taman bunga yang indah. Berbagai jenis bunga memenuhi hampir seluruh isi taman itu. Bunga mawar, krisan, tulip, anyelir, alamanda, sedap malam dan lain-lain. Warnanya indah-indah, membuat Nayla ingin memetik salah satunya.
Nayla menggandeng tangan seorang anak laki-laki. Tanpa terasa bayi itu telah berusia 3 tahun. Dia laki-laki yang sangat tampan. Berambut ikal, hidung mancung, bibir tipis dan berkulit putih bersih. Dan di sebelahnya, Irgi memeluk bahunya erat. Mereka berjalan beriringan. Menikmati suasana taman yang indah.
Tiba-tiba gerimis datang. Mereka berlarian menyelamatkan diri. Hujan turun makin lebat. Nayla tak dapat melihat dengan jelas pandangannya. Putranya menghilang, tak dalam genggaman tangannya. Nayla mendengar putranya memanggil-manggil namanya. Nayla mencoba mencarinya, namun yang terlihat hanya rinaian hujan yang menari-nari.
“Nayla, cari anak kita!” terdengar teriakan suara Irgi.
Nayla lalu terbangun.
*****

          Nayla mencoba mencari jawaban atas mimpinya akhir-akhir ini. Dia membaca pada sebuah buku. Buku itu mengatakan bahwa mimpi adalah refleksi dari harapan-harapan yang kita simpan selama ini. Sedalam apa pun kita menyimpannya, namun asa itu selalu ada. Seikhlas apa pun kita menerima kenyataan yang ada, namun keinginan itu selalu membayangi hari-hari kita.
          Nayla termenung. Mencoba mencerna kalimat-kalimat itu.
          Tidak bisa dipungkiri bahwa dia kesepian. Pencapaian yang sudah dia raih dalam hidupnya ternyata tidak bisa mengisi kekosongan batinnya. Lumrah, karena dia seorang wanita biasa yang tetap ingin bahagia dalam hidupnya. Dan kebahagiaan itu dapat diraihnya dengan memiliki seorang suami yang menyayanginya dan tentu saja buah hatinya yang dapat mewarnai hari-harinya.
          Namun jika Tuhan belum berkenan memberinya jodoh, apakah dia harus meratapi terus-menerus kesedihannya? Selalu berharap jika suatu saat Irgi akan datang melamarnya,  kemudian mereka menikah dan memiliki sepasang anak yang lucu-lucu?
          Nayla menghela nafasnya berat. Disibaknya tirai yang menutupi jendela kamarnya. Pagi yang cerah. Mentari telah bersinar terang. Nayla bergegas bangun dan memulai aktivitasnya.
*****
         
Begitu tiba di kampus, Nayla memasuki ruang dosen dan duduk di meja kerjanya. Ponselnya memberikan signal ada sms yang masuk. Nayla membuka ponselnya.
Nay, nanti malam kujemput. Dandan yang cantik ya, see you later. Irgi mengajaknya makan malam di sebuah restoran Italia di daerah Menteng.
Nayla membuka laptopnya. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Namun Nayla malah termenung di depan laptopnya. Akhir-akhir ini mereka jarang pergi besama. Walau sebelumnya, hampir setiap minggu, Irgi selalu berkunjung ke kampus atau ke rumahnya. Mereka bekerja di kampus yang berbeda. Nayla di kampus almamaternya sedangkan Irgi diterima sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi negeri. Walau kedua kampus itu hanya berjarak beberapa kilometer saja, namun karena kesibukan, mereka jarang bertemu. Mereka jarang lunch atau dinner bersama. Namun, seperti biasa Nayla selalu menunggu kehadiran Irgi. Begitu lamakah dia menunggu, 10 tahun? Tanpa sadar Nayla menggeleng-geleng kepalanya.
          Nayla berdandan secantik mungkin. Dia mengenakan gaun malam berwarna merah marun dengan model simpel. Rambutnya yang sebahu diikat buntut kuda, memperlihatkan lehernya yang jenjang. Dandanannya sederhana, namun tidak mengurangi kecantikannya.
          Dikenakan kalung bermata safir dengan warna yang senada dengan gaunnya. Terlihat kontras dengan giwang mutiara mungil berwarna putih tulang. Tas kepit hitam sepadan dengan sepatu berhak tinggi dengan warna yang sama.
          Irgi terpaku. Pandangannya tak lepas dari sosok wanita di hadapannya, membuat Nayla tersipu-sipu. Lalu mereka memesan makanan khas Italia.
          “Nayla, mungkin ini pertemuan kita yang terakhir di Indonesia,” suara Irgi memecahkan kesunyian diantara mereka. Sebuah tembang lembut menemani acara makan malam  itu.
          Nayla mengangkat gelas tingginya. Diteguk sedikit isinya. Dia mencoba tenang. Ditunggunya kata-kata Irgi berikutnya.
          “Aku harus pergi. Kedutaan Inggris menawariku beasiswa S3 dengan komitmen aku harus bekerja di sana selepas kuliah. Karena itu aku mengajakmu ke sini, entah sebagai acara perpisahan kita atau…,” kali ini Irgi yang meneguk minumannya. Dipandanginya Nayla sebentar, sebelum melanjutkan kalimat berikutnya.
          “Setelah bertahun-tahun kita bersahabat, aku hanya ingin berterima kasih kepadamu, bahwa kau telah bersedia menjadi sahabatku selama ini. Bersedia mendengar ceritaku, masalahku dan menemani hari-hariku. Bertahun-tahun. Bukan waktu yang sebentar, tapi kau telah berhasil menjadi sahabatku yang paling baik, Nayla.”
          Nayla terdiam. Pandangannya terpaku pada isi gelasnya yang berwarna putih keperakan. Kalau itu racun, mungkin dia akan meneguknya sampai habis. Agar dia dapat bermimpi lagi. Bermimpi tentang taman yang indah. Bermimpi tentang seorang anak laki-laki yang tampan.
          Suara Irgi makin terdengar samar-samar. Yang terdengar kemudian adalah sebuah tembang lembut yang membuaikan telinga Nayla.

          Kali ini Nayla tersenyum. Entah pada siapa. Dan untuk apa senyuman itu. Mungkin untuk menandakan bahwa dia telah mengetahui arti mimpinya selama ini. Bahwa dia harus segera melupakan Irgi. Melupakan impiannya? Namun tiba-tiba terdengar suara Irgi yang lembut, menatapnya penuh mesra. “Nayla, maukah kau menikah denganku? Aku sadar bahwa aku tidak bisa berpisah denganmu. Aku baru menyadari bahwa selama ini aku mencintaimu. Selama ini aku bodoh, sudah menyia-nyiakan kebaikan hatimu. Nayla, maafkan aku,” Irgi menggenggam tangannya erat. Nayla tertegun, mengangkat wajah cantiknya dan memandangi wajah tampan di depannya. Oh, Tuhan...apakah ini hanya mimpi? Tanpa sadar Nayla mencubit lengannya, sakiiit...
          Nayla membalas menatap wajah tampan di depannya. Tanpa kata-kata apapun, dia yakin Irgi sudah tahu jawabannya. 

0 komentar:

Posting Komentar