Rabu, 24 September 2014

BIAS HATI



Fey selalu datang ke kliniknya sekitar jam tujuh pagi. Terkadang lewat sedikit, terkadang sebelum jam tujuh. Dia membuka pintu ruang kliniknya. Ruang kliniknya selalu rapi dan wangi. Tidak terlihat seperti ruang praktek dokter pada umumnya.
        Fey, laki-laki tampan berumur 35 tahun, bekerja sebagai seorang psikiater di klinik tersebut. Ruang prakteknya selalu terbuka tepat jam delapan sampai menjelang makan siang. Setelah itu, dia harus bergegas menuju sebuah rumah sakit umum sampai hari menjelang senja.
        Pasiennya datang dari berbagai kalangan, dari kalangan atas sampai menengah ke bawah. Dari berbagai profesi. Eksekutif muda, manajer, pejabat, terkadang artis pemula, ibu rumah tangga, semuanya mengemukakan berbagai permasalahannya. Dari masalah rumah tangga yang cukup kompleks, trauma masa lalu yang menghambat aktivitas seseorang, korban kekerasan dalam rumah tangga dan lain-lain. Dia juga harus dapat menangani masalah-masalah psikologis yang lebih berat, seperti depresi, gangguan mood, insomnia berat, schizophrenia (yang ditandai dengan munculnya halusinasi dan delusi), dan berbagai masalah psikologis lain yang membutuhkan penanganan lebih dari sekedar konseling. Biasanya dia  menggunakan obat-obatan dalam proses terapinya.
        Fey duduk di kursi kerjanya yang empuk. Tania, perawatnya, sudah menyuguhkan secangkir kopi krim kesukaannya. Fey meneguknya sedikit. Ada waktu satu jam sebelum dia membuka kliniknya.
        Rutinitasnya sebelum beraktivitas adalah membuka laptopnya dan menjelajahi dunia maya. Cukuplah untuk menyenangkan hatinya. Jam 8 tepat Tania membuka pintu ruang prakteknya dan mulai memanggil satu per satu pasiennya hari ini. Fey memulai membuka hati dan telinganya untuk para kliennya.
        Namun dia tidak pernah membuka hati dan telinganya untuk seseorang. Hmm, tiba-tiba ada sebuah perasaan indah yang menyelinap dalam dadanya. Entah apa, tiba-tiba Fey merasa bahagia!

        Dea membuka pintu ruang kerjanya. Ruang yang mungil dan simpel, bercat kuning gading, bersih dan wangi. Ada sebuah meja kerja yang tersusun rapi oleh tumpukan buku, agenda kerja, sebuah bingkai foto pemiliknya dan satu set alat tulis yang tertata rapi. Meja kerjanya menghadap ke jendala. Jika dia jenuh dengan pekerjaannya, Dea akan melayangkan pandangannya ke luar jendela. Betapa menyenangkan melihat para mahasiswi yang tengah bercanda di taman kampus. Pakaian mereka modis dengan model terkini. Tentu saja menarik  perhatian serombongan mahasiswa yang juga berkumpul di koridor kampus menunggu jam kuliah berikutnya.
        Dea menyesal, mengapa dulu tidak ‘memanfaatkan’ masa kuliahnya dengan bersenang-senang? Dulu dia terlalu serius belajar. Waktunya dihabiskan untuk belajar dan berorganisasi. Selain kuliah, Dea aktif di kepengurusan buletin kampus dan anggota paduan suara di kampusnya.
        Sampai dia bertemu dengan sesosok laki-laki muda di sebuah perkemahan di daerah Jayagiri. Mahasiswa Pencinta Alam di kampusnya mengundang semua pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) untuk mengikuti acara ‘Go Green’ dengan membersihkan Jayagiri dari sampah-sampah yang berserakan. Acara berlangsung selama tiga hari. Selama itu dia selalu memandang sesosok tampan yang selalu asyik dengan gitarnya, duduk di depan perkemahan klub sains, sebuah UKM yang diikutinya.
        Dia selalu asyik dengan kesendiriannya. Seakan tidak tertarik berbaur dengan peserta yang lain. Padahal jika dia tahu, banyak peserta wanita yang selalu membicarakan sosok cool itu.
        “Namanya Fey, Feyanto. Anak Kedokteran. Kamu belum pernah melihat sebelumnya, Dea?” Tanya Esanti temannya sesama pengurus di buletin kampus. Dea hanya mengangguk saja. Tentu saja dia tidak pernah melihat laki-laki bertubuh jangkung dan atletis itu. Universitas Merah Putih memiliki beberapa kampus yang tersebar di beberapa tempat. Fakultas Kedokteran berada di kampus pusat, sedangkan dia selalu kuliah di kampus baru. Ke kampus pusat jika dia harus mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan keuangan dan akademik.
        Malam terakhir di Jayagiri, panitia membuat acara “Malam Api Unggun” sebagai acara ramah-tamah. Kemudian salah satu dari mereka, mengocokkan gulungan-gulungan kertas dalam sebuah botol plastik. Gulungan-gulungan kertas itu akan menampilkan sebuah nama beserta tantangannya. Pada gulungan kertas kesekian, tercantum namanya dan Fey dalam secarik kertas itu. Tantangannya cukup mudah: bernyanyi dengan iringan musik.
        Tak sengaja pandangan mereka bertemu. Fey maju menenteng gitar kesayangannya. Dia memberi kode supaya Adealia bernyanyi. Entahlah, tiba-tiba semua mengalir begitu saja. Dea menyanyikan lagu “Melati dari Jayagiri”. Dia merasa lagu itu pas di moment tersebut.
        Rasanya Dea tak sanggup bernyanyi. Nadanya terlalu lembut mengiringi permainan gitar Fey. Dea merasa sosok itu memandanginya terus-menerus. Dea mengalihkan pandangannya pada kobaran api unggun yang menjilat-jilati kayu bakar. Tak berani membalas tatapan yang kelam dan dalam itu.
        Sejak itu dia tidak pernah melupakan sosok itu sampai detik ini, walau mereka tidak pernah lagi bertemu sejak pertemuan terakhir di acara Wisuda Kampus, dua belas tahun yang lalu.
        Lamunan Dea terhenti. Sebuah pesan masuk.
        Dea, kita diundang Bram, mantan ketua senat periode kita kuliah. Dia mengadakan acara syukuran, sudah terpilih sebagai anggota dewan. Kau datang ya, nanti kujemput. Acaranya minggu depan.
        Pesan dari Esanti. Dia dan beberapa teman kuliahnya acap kali mengadakan pertemuan untuk sekedar bersilaturahmi. Kemudian mereka membentuk sebuah komunitas yang berisi para alumni yang dulu pernah berkiprah sebagai pengurus di beberapa Unit Kegiatan Mahasiswa di kampus mereka dulu.
        Hanya beberapa kali saja dia hadir. Itu pun karena Esanti yang memaksanya. Dia selalu bersyukur ketika dia hadir, sosok itu berhalangan hadir karena kesibukan.
        Informasi dari Esanti, bahwa Fey sudah berhasil menyelesaikan pendidikan spesialis psikiatri atau kedokteran jiwanya. Dia bekerja di sebuah klinik dan rumah sakit umum yang cukup besar di Jakarta. Untunglah, Esanti tidak pernah memberikan informasi tambahan apakah Fey sudah menikah atau belum.
        Dea belum memutuskan apakah dia akan datang atau tidak. Dari balik jendela ruang kerjanya, Dea melihat sepasang sejoli sedang bersenda gurau melintasi koridor kampus. Tanpa sadar Dea tersenyum. Mungkin dia sedikit iri dengan pemandangan manis itu.

        Fey sedang membereskan file-file pasiennya ketika Tania masuk memberitahukan ada tamu untuknya. Fey menyuruh Tania agar mempersilahkan tamu itu masuk ke ruangannya. Bram tersenyum lebar seraya menjabat tangan sang dokter bersahabat.
        “Gimana kabarnya, Bro?” Bram meneliti tubuh sahabatnya yang semakin atletis. “Masih sering ke gym kau rupanya?” Ledek Bram.
        “Iya-lah, memangnya kau, yang mana punya waktu untuk berolah raga,” Fey menelpon Tania untuk meminta perawatnya menyiapkan dua cangkir kopi krem. Tak berapa lama Tania masuk memenuhi permintaan Fey.
        “Cantik kali, perawat kau itu,” ledek Bram seraya menerima secangkir kopi panas dari Fey. Fey hanya tersenyum. Meneguk sedikit kopinya. “Sayang sekali aku sudah punya anak tiga, coba kalau aku masih bujangan, sudah kulamar dia!” Bram tertawa terbahak-bahak. Fey membalasnya dengan tersenyum lebar.
        Mereka bersahabat sejak SMA di Medan. Di Jakarta mereka kuliah di kampus yang sama namun berbeda jurusan. Fey memilih Kedokteran, sedangkan Bram lebih tertarik menekuni Ilmu Politik. Karirnya cukup melesat. Di kampus saja, dia pernah menduduki sebagai ketua senat. Dan kini dia terpilih sebagai anggota dewan.
        “Kau harus datang, Fey. Aku membuat acara syukuran, kecil-kecilan lah...”
        “Di hotel kau bilang kecil-kecilan?” Fey menggeleng kepalanya. “Hidup hemat sedikit-lah, Bro!” Bram terbahak. “Bukan uangku, Fey. Mertuaku yang membiayai semuanya. Tidak sia-sia kan aku punya mertua kaya,” tawa Bram makin keras.
        Kembali Fey menggelengkan kepalanya. Dia lebih memilih menikmati kopinya.
        “Oya, kapan kau akan menikah, Fey? Umurmu sudah berapa? Betah kali kau membujang!” Kali ini Bram lebih tertarik dengan topik kehidupan sahabatnya. Fey mendadak salah tingkah. Topik yang selalu ia hindari.
        “Apa kau tidak bisa melupakan gadis itu?” Tanya Bram dengan senyum menggoda.
        “Gadis yang mana?” Fey balik bertanya.
        “Ahh, berapa banyak gadis dalam kehidupanmu itu?” Bram meneguk kopinya. Fey menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. “Kau tahu sendiri kan?”
        “Waktu jaman kuliah dulu, kau pernah mendekati Sana, gadis Batak yang satu kampus dengan kita, namun orang tuanya tidak setuju karena kalian berbeda marga. Kemudian kau pernah menjalin cinta dengan Ayu, gadis Jawa yang terpaksa menerima lamaran laki-laki pilihan orang tuanya. Dan terakhir Citra,  teman kuliahmu di pendidikan spesialis psikiatri. Walau sebenarnya aku tahu, cintamu hanya untuk seorang gadis yang amat kau cintai, Adealia..”
        “Oya, dimana dia sekarang?” Tanya Fey penasaran.
        “Cari tahu sendiri-lah! Kau berteman saja di media sosial. Dia cukup eksis kok! Salah sendiri, kalau ada pertemuan kau jarang sekali hadir. Padahal kau bisa bertemu dengan gadis cantik itu...”
        “Tambah cantik?” Tanyanya lagi spontan, dengan wajah semerah kepiting rebus. Bram tertawa riuh. “Buka saja laptop-mu, kau lihat sendiri-lah,” Bram pamit dengan tawa yang berderai.

        Malam semakin larut. Fey masih asyik dengan pekerjaannya. Membuat laporan perkembangan kondisi pasien, adalah tugas rutinnya setiap malam. Diiringi musik instrumental lembut membuat dia betah bekerja.
        Tiba-tiba saja jari-jarinya meng-klik sebuah browser. Fey sudah menjelajahi dua maya. Dia log in ke sebuah media sosia. Dicari nama Adealia. Dadanya tiba-tiba bergemuruh.
        Bram betul, Dea cukup aktif di sosial media tersebut. Hampir setiap hari dia meng-up date statusnya. Isi postingnya cukup seru. Tentang pekerjaannya sebagai dosen, tentang kehidupan kampusnya dan lain-lain. Terkadang dia memposting foto terbarunya. Foto tentang kegiatan kampusnya, bersama teman-temannya atau sajian menu yang tengah dia nikmati di sebuah resto atau kafe. Adealia semakin cantik dengan berhijab, puji Fey tanpa sadar.
        Ada sebuah foto yang membuat Fey seakan berhenti bernafas. Dea tengah tertawa bahagia menggendong seorang bayi mungil. Dibelakangnya, berdiri seorang laki-laki muda dan tampan, tersenyum seraya memegang bahu Dea.
        Fey langsung menutup laptopnya.

        Adealia berdandan cantik malam itu. Dia mengenakan tunik polos warna biru langit dengan bodiran bunga mawar di pinggirannya berwarna merah tua senada dengan kerudung satin.
        Dia duduk satu  meja dengan Esanti dan bersama teman-teman kuliah lainnya. Entah mengapa dia berharap Fey akan hadir. Setidaknya dia bisa menuntaskan rasa rindunya. Walau mungkin Fey kini sudah berbahagia dengan keluarga kecilnya.
        Seorang pelayan membawa beberapa minuman ringan. Dea memilih orange juice kesukaannya. Dia teguk sedikit untuk mengurangi rasa grogi yang tiba-tiba muncul.
        “Dia belum datang,” Esanti melirik Dea. Dea hanya tertunduk, pura-pura sibuk dengan ponselnya. “Kata Bram, dia berjanji akan datang.”
        “Mungkin sibuk,” jawab Dea dengan hati nelangsa. Harusnya dia tidak usah datang jika hanya kekecewaanya yang kini ia rasakan.
        Sampai acara itu selesai, Fey tidak menampakkan batang hidungnya.

        “Kenapa kau tak datang?” Suara Bram langsung terdengar begitu Fey mengangkat ponselnya. “Kau sudah berjanji akan datang..”
        “Maaf, Bro..Aku sibuk,” Fey memain-mainkan pulpen di tangannya.
        “Kau tahu, ada seorang gadis yang sangat kecewa begitu tahu kau tak hadir...”
        “Maksudmu, Dea?” Potong Fey tak sabar. “Bukankah dia sudah bahagia dengan keluarga kecilnya,” suara Fey terdengar sinis.
        “Keluarga? Keluarga yang mana?” Nada Bram terdengar tak sabar.
        “Aku melihat fotonya. Dia tengah menggendong seorang bayi dengan laki-laki muda di belakangnya..”
        “Hahaha...Kau cemburu, Bro! Laki-laki itu adik iparku. Aku yang memposting foto itu seminggu yang lalu di acara ulang tahun anakku yang paling besar di rumah eyangnya. Bayi itu anakku yang baru berumur enam bulan. Kau tidak tahu kan kalau keluarganya dan keluarga besar istriku bertetanggaan...”
        “Bram, antarkan aku ke rumahnya,” nada Fey terdengar panik.
        Bram tertawa keras dan terdengar getir.
        “Sayang, Fey. Adealia sudah pergi. Dia menerima beasiswa S3 ke Malaysia...”
        Dari seberang sana Bram sudah menutup ponselnya. Tinggal Fey yang terdiam terpaku. Tanpa sadar dia pandangi senja yang berwarna merah kejinggaan dari balik jendela kamarnya. Tak lama kemudian warnanya makin memudar. Hanya tersisa bias cahaya yang masuk melewati kaca jendelanya yang bening.

        Seperti hatinya saat ini. Sudah tak berbentuk lagi. Hanya tersisa biasnya.

0 komentar:

Posting Komentar