“Hai, anak Sastra?” Sapa seseorang dengan Bahasa Indoneia
yang terpatah-patah. Kuangkat wajahku dari buku. Laki-laki cakep dengan tampang
bule. Sebelum sempat kujawab, dia mengulurkan tangannya. “I’m Patrick.” Kuhadiahkan senyum termanisku. “Ajeng.” “Nama
yang bagus,” dia tersenyum pula. Begitu lembut. Hmmm. Sempat-sempatnya muji si bule
itu. “Thank’s,” kututup buku. Lalu berdiri.
Mau pulang? Biar kuantar,”
kali ini Bahasa Indonesianya lancar. “Aku biasa sendiri,” jawabku. “Hmmm, aku
nggak bisa lihat wanita pulang sendirian. Kalau kukenal pasti kuantar,”
tawarnya sopan. Ahhh, pria bule memang lebih care dan gentle ketimbang
cowok Indonesia.
Dalam perjalanan pulang menuju kosku
kami sibuk bercerita-cerita. Soal Indonesia atau negeri asalnya, Australia.
Betapa menyenangkan ngobrol dengan dia, anaknya ramah dan aku bisa memperlancar
Bahasa Inggris. Lumayan. Lagipula menambah teman.
“Kamu ke Indonesia dalam
rangka apa?” tanyaku. “Turis. Udah
beberapa kali aku ke Bali. Tapi baru kali ini ke Yogya. Aku perlu temen nih. Di
samping untuk guide , aku juga perlu
mempelajari Bahasa Indonesia. Di college-ku
sana, aku ngambil mata kuliah Bahasa Indonesia.”
“Kenapa tertarik dengan
Bahasa Indonesia?” “Di Australia sudah banyak orang Indonesia yang sekolah dan
bisnis di sana. Aku perlu mempelajarinya agar mudah bercakap-akap dengan
mereka. Lagi pula my girlfriend
asli Indonesia.”
“Oya?” tanyaku tertarik.
“Ahh, tapi itu dulu.Kami
udah putus. Ternyata dia udah punya pacar di Indonesia. Aku nggak habis piker,
tega-teganya dia nyeleweng. Aku harap tidak semua wanita Indonesia seperti itu
. Aku tahu masih banyak yang setia,” pandangnya melembut. Aku sedikit grogi.
Patrick betul-betul menarik. Jangkung, dengan kulit putih
bersih , sepasang mata yang lembut dan care
itu yang membuatku seperti melayang
tinggi.
Baru seminggu kami
berteman, tapi sudah banyak yang kuketahui tentang keluarga, kuliah, teman-teman
dan kesukaannya mendengar Gamelan Jawa dan makan masakan gudeg.
“Boleh aku Tanya?”
tanyanya ketika kami sedang dinner di
Restoran Jepang. “Ada apa?” aku balik bertanya. Kulihat dia sedikit gugup. Lalu
dihirupnya teh hangat
sebelum mengeluarkan kata-katanya.
“Apakah kamu sudah punya
pacar?” ohh, My God, kirain mau nanya
apa, segitu gugupnya! Aku jadi ingin tertawa. Tapi melihat tampang seriusnya,
kutunda tawaku.
Aku mengangguk. Kulihat
matanya sedikit kecewa. Ahhh, itu mungkin hanya penglihatanku saja yang salah.
Lalu kuceritakan tentang Hanung.
“Besok kita ke sanggar
lukisnya yuk! Kukenalkan kamu dengan Hanung. Dia pasti senang dapat teman baru.
Apalagi bule ramah seperti kamu ,” kulihat
dia mengangguk.
Besoknya, seperti rencana semula,
kuajak ia ke sanggar lukis milik Hanung yang terletak di komplek kampus. Hanung
tampak sibuk memberi pelajaran pada beberapa mahasiswa baru seni rupa.
Patrick tampak antusias bertanya soal
lukisan. Dengan semangat pula Hanung menjawabnya. Ketika kutanya kenapa dia
begitu tertarik dengan lukisan , dia menjawab bahwa dia telah suka melukis
ketika berumur tujuh tahun. Lewat sepuluh tahun, dia tergila-gila dengan sport. Terutama basket. Tidak heran jika
tubuhnya atletis.
“Sampai kapan kamu di Yogya?”
Tanya Hanung.
“Mungkin sebulan aku di
sini. Liburan semesterku sampai bulan
depan. Gara-gara liburan summer kemarin aku kerja keras sebagai accounting, liburan kali ini kubalas
dengan travelling ke Indonesia.”
“Hanung, aku pinjam
Ajeng untuk mengantarku ke Borobudur,”
pintanya begitu kami pamit pulang.
“Boleh. Asal dikembalikan
yah?” candanya.
“Sure,” Patrick mengedipkan matanya lucu.
“Kau seharusnya senang
punya pacar seperti Hanung. Aku lihat dia memberi kebebasan penuh buat kamu dapat berteman
dan jalan dengan siapa saja.”
“Itu memang kelebihannya
tapi sekaligus juga kekurangannya,” keluhku.
“What’s happen?”
“Ahhh, sudahlah . Sabtu
besok kita jadi ke Borobudur kan? Jangan lupa bawa tustel ,” aku melambaikan
tangan. Patrick telah menghilang di gelapnya malam.
“Apa, sabtu besok kamu ke
Borobudur dengan bule itu? Apa malamnya kamu nggak ada acara dengan Hanung?”
Tanya Dewi, teman sekamarku.
“Ahhh, Hanung mana mau
peduli denganku. Lukisannya nomor satu, sedangkan aku hanya nomor kesekian,” keluhku
kesal.
“Karena itu kamu sering
jalan dengan Patrick? Sebelum Pat, ada juga Jon, Brandon, James turis-turis
bule yang memerlukanmu sebagai guide.”
“Lumayan kan, aku bisa
nambah teman, Bahasa Inggris-ku lancar, uang makan terjamin…”
“Ahhh, kamu matre juga!”
telakan yang membuatku melotot . Tapi Dewi malah tertawa riuh.
“Kalau bukan matre, apa
namanya? Kamu suka bergaul dengan bule –bule itu karena kamu bisa pergi dan
makan gratis kan? Itu tidak kamu dapatkan dari Hanung. Karena dia terlalu giat
mencari uang untuk biaya hidup dan kuliahnya sendiri di Yogya. Yah, sekali-kali
kamu ditraktir makan tapi dibandingkan dengan bule-bule itu, Hanung tidak ada
artinya apa-apa.”
Aku terdiam. Lama. Ahhh,
sejahat itukah? Sungguh, aku tak pernah menyadarinya.
“Jeng, tolong jaga
perasaan Hanung. Aku tahu dia pasti kecewa kamu pergi seenaknya dengan
bule-bule itu. Dia tidak pernah melarang karena selama ini dia merasa bersalah
tak dapat menemanimu setiap saat karena dia harus bekerja.”
“Itu kulakukan karena aku
kecewa selama ini tak pernah kulihat Hanung cemburu. Aku selalu berprasangka
Hanung tidak pernah utuh mencintaiku.”
“Tanya itu pada Hanung. Jangan
mengambil kesimpulan sendiri,” Dewi menjentik hidungku.
“Ahhh,sudahlah,Wi. Mungkin
kamu benar . Walau aku tidak menyadarinya. Walau yang kucari dengan mereka
hanya kesenangan belaka…”
“Dan pelarian karena
Hanung tidak begitu perhatian padamu?”
“Maybe,” kuangkat bahu.
“Sorry, Pat, aku nggak bisa ngantar kamu ke Borobudur,” aku tak
berani memandang wajahnya. Aku tak ingin melihat kekecewaan di matanya yang
biru.
“Kenapa , Jeng?” suaranya
begitu sedih.
“Kau lihat aku udah
semangat bawa tustel, berbagai camilan dan soft
drink dalam ransel,” dia menunjukkan ransel yang bertengger di pundaknya .
“Sorry, kepalaku pusing.”
“Kamu sakit?” Dia
menatapku begitu khawatir .
“Kubelikan obat yah?”
“Thank’s. Nggak usah. Aku hanya perlu istirahat. Mungkin aku
kecapean karena harus kerja membatik
begitu pulang kuliah.”
“Kamu kerja?” dia
ternganga. Mungkin dia heran. Dipikirnya aku tipe cewek hura-hura yang hanya
memikirkan kesenangan belaka. Tidak heran jika Patrick berpikir begitu. Hampir
tiap malam aku menemaninya ke diskotik atau hampir tiap hari mengantarnya shopping atau nongkrong di café.
Baru kusadari aku hanya
cewe pemimpi yang melarikan diri dari kenyataan bahwa aku hanya anak petani
miskin yang beruntung dapat kuliah dengan
beasiswa. Aku sibuk bergaul dengan bule-bule yang dapat menunjang kesenanganku hura-hura.
Dewi betul, seharusnya aku
memikirkan dan menjaga perasaan Hanung.
“Yah, aku harus
kerja. Kau pikir darimana biaya hidupku di Yogya selama ini? Aku kerja
serabutan. Guru les privat , guide, pelayan cafe, penjaga toko dan sekarang aku
bekerja part time sebagai pembatik.”
“I don’t believe,” dia melongo lagi. Aku
tersenyum. Walau kurasakan getir.
“Ahhh, sudahlah.
Aku masuk dulu. Sorry, aku capek
sekali.”
“Istirahatlah,
Jeng. Nanti malam aku ke sini yah? Kubawakan bubur ayam hangat. Itu kesukaan
kamu kan?”
“Nggak usah.
Nanti malam Hanung ke sini,”dustaku. Sekali lagi kutatap matanya yang kecewa.
Dia langsung pamit tanpa berkata apa-apa lagi. Kulepas kepergiannya dengan
perasaan hampa.
***
“Jeng, aku
pamit,” seminggu kemudian Patrick datang. Dandanannya sore ini begitu rapi
dengan kemeja corak batik ringan dan celana bahan krem. Kugigit bibirku dengan
pedih. Kemeja itu kubelikan di Malioboro.
“Seminggu kita
nggak pernah ketemu yah, Jeng, gimana kabarmu?” dia duduk di sampingku.
Suasana kos sore
ini terlihat sepi.
“Baik,” hanya
itu yang dapat kujawab. Kalau saja dia tahu betapa stressna aku menghadapi
persoalan yang datang bertubi-tubi. Hanung yang pulang kampung tanpa pamit
karena si Mboknya sakit, adikku yang kirim surat minta dikirimi uang SPP karena panen Bapak gagal kali ini dan
ujian-ujian yang harus kuhadapi di kampus. Rasanya kepalaku ingin pecah.
Bagaimana dapat membantu adikku
sedangkan aku telah mengundurkan diri dari pekerjaanku karena aku tidak sanggup
kerja sampai malam seperti itu. Dan sekarang Patrick pamit pulang ke Australia.
“Kenapa, Jeng,
tubuhmu kurus?” dia memandangku penuh perhatian. Dengan lesu aku menngeleng.
“Sekiranya ada
yang dapat kubantu?” sekali lagi aku
menggeleng.
“Okelah, aku
pamit dulu. Besok aku pulang ke Australia. Ini sedikit kenang-kenangan
untukmu,” dia menyodorkan bungkusan mungil. Lalu pergi begitu saja tanpa
berkata apa-apa lagi.
Dengan hati-hati kubuka bungkusannya.
Isinya adalah scraft warna merah muda dengan motif bunga-bunga kecil. Begitu
manis. Dan juga minyak wangi dengan aroma lembut. Secarik kertas terjatuh.
Dear, Ajeng.
Aku senang memiliki teman baru seramah kamu.
Hari-hariku jadi penuh warna begitu kutahu masih ada gadis cantik yang baik
hati seperti kamu. Walau aku kecewa kau telah memiliki Hanung tapi... sudahlah,
itu tak penting lagi. Kubawa foto-foto kita, akan kuingat wajaahmu yang cantik
dan senyummu yang ramah. Tak kusangka di balik keceriaanmu itu, ternyata kau
gadis tegar yang membiayai sendiri hidupmu di Yogya.
Jeng, ada sedikit kenang-kenangan buatmu. Kuberi
scarf dan parfum agar aku selalu terkenang akan kelembutanmu.
Selamat tinggal, Jeng. Salam buat Hanung.
Aku tercenung. Rasanya ada yang
kehilangan dengan kepergiannya. Tidak pernah kualami dengan bule-bule
sebelumnya. Mungkin persahabatan kami yang manis dan tulus telah begitu
berkesan di hatiku.
“Selamat
tinggal, Patrick,” bisikku samar-samar.
***
“Jeng, ada yang
cari kamu tuh,” Wedha menyembulkan kepalanya dari balik pintu ruang On Air.
“Siapa?” kucopot
headphone. Kunaikkan tape nomor satu. Tembang Negeri Di Awan milik Katon terdengar manis. Lalu kusiapkan
iklan di tape nomor dua.
“Lihatlah ke
depan,” jawab Wedha tak sabar.
Bergegas aku ke
luar. Di ruang tamu Studio One-Zero
kulihat Hanung membaca sebuah buku.
“Hai, kapan
datang?” sapaku surprise. Hanung tersenyum.
“Tadi pagi aku datang. Aku ke kampus sebentar lalu ke sini.”
“Kok tau aku
kerja di sini?” tanyaku dengan nada yang sama. Masih surprise.
“Tau dong. Masak
kerja pacar sendiri nggak tau,” Hanung
mengedipkan matanya centil. Aku jadi tersipu-sipu.
“Bagaimana kabar
si Mbok?”
“Baik. Beliau
udah sembuh. Berkat do’amu juga.” Aku mengangguk-angguk.
Ikut merasa senang juga.
“Oya, Jeng, nih
ada sedikit uang buat bayar SPP adikmu. Kebetulan sebelum pulang kampung,
lukisanku terjual.”
“Nggak usah,
Nung, udah kukirimkan uangnya kok. Dari hasil honorku ngirim cerpen.”
“Kamu bisa buat
cerpen?” tanyanya takjub.
“Apapun
kulakukan, Nung. Asal halal kan?” Hanung mengangguk.
Sebelum
kuceritakan soal Patrick, Wedha sudah teriak mengatakan bahwa lagu Katon sudah
habis.
“Aku siaran dulu
yah, Nung.”
“Minta lagu
dong, Jeng,” pintanya tiba-tiba.
“Lagu apaan? Aku
menghentikan langkahku.
“I Will Always Love You-nya Whitney Houston.”
Aku menoleh.
Bingung. Tidak nyangka ternyata Hanung bisa romantis juga.
Hanung
mengedipkan matanya. Tapi yang jelas, aku bahagiaaaaaa sekali. ©
0 komentar:
Posting Komentar