Kamis, 18 September 2014

Pemandu Wisata





“Hai, anak Sastra?” Sapa seseorang dengan Bahasa Indoneia yang terpatah-patah. Kuangkat wajahku dari buku. Laki-laki cakep dengan tampang bule. Sebelum sempat kujawab, dia mengulurkan tangannya. “I’m Patrick.”  Kuhadiahkan senyum termanisku. “Ajeng.” “Nama yang bagus,” dia tersenyum pula. Begitu lembut. Hmmm. Sempat-sempatnya muji si bule itu. “Thank’s,” kututup buku. Lalu berdiri.

Mau pulang? Biar kuantar,” kali ini Bahasa Indonesianya lancar. “Aku biasa sendiri,” jawabku. “Hmmm, aku nggak bisa lihat wanita pulang sendirian. Kalau kukenal pasti kuantar,” tawarnya sopan. Ahhh, pria bule memang lebih care dan gentle ketimbang    cowok Indonesia.
Dalam perjalanan pulang menuju kosku kami sibuk bercerita-cerita. Soal Indonesia atau negeri asalnya, Australia. Betapa menyenangkan ngobrol dengan dia, anaknya ramah dan aku bisa memperlancar Bahasa Inggris. Lumayan. Lagipula menambah teman.

“Kamu ke Indonesia dalam rangka apa?” tanyaku.  “Turis. Udah beberapa kali aku ke Bali. Tapi baru kali ini ke Yogya. Aku perlu temen nih. Di samping untuk guide , aku juga perlu mempelajari Bahasa Indonesia. Di college-ku sana, aku ngambil mata kuliah Bahasa Indonesia.”

 “Kenapa tertarik dengan Bahasa Indonesia?” “Di Australia sudah banyak orang Indonesia yang sekolah dan bisnis di sana. Aku perlu mempelajarinya agar mudah bercakap-akap dengan mereka. Lagi pula my girlfriend asli Indonesia.”

“Oya?” tanyaku tertarik.
“Ahh, tapi itu dulu.Kami udah putus. Ternyata dia udah punya pacar di Indonesia. Aku nggak habis piker, tega-teganya dia nyeleweng. Aku harap tidak semua wanita Indonesia seperti itu . Aku tahu masih banyak yang setia,” pandangnya melembut. Aku sedikit grogi.

Patrick betul-betul menarik. Jangkung, dengan kulit putih bersih , sepasang mata yang lembut dan care itu yang membuatku seperti  melayang tinggi.
Baru seminggu kami berteman, tapi sudah banyak yang kuketahui tentang keluarga, kuliah, teman-teman dan kesukaannya mendengar Gamelan Jawa dan makan masakan gudeg.

“Boleh aku Tanya?” tanyanya ketika kami sedang dinner di Restoran Jepang. “Ada apa?” aku balik bertanya. Kulihat dia sedikit gugup. Lalu dihirupnya teh hangat sebelum mengeluarkan kata-katanya.
“Apakah kamu sudah punya pacar?” ohh, My God, kirain mau nanya apa, segitu gugupnya! Aku jadi ingin tertawa. Tapi melihat tampang seriusnya, kutunda tawaku.

Aku mengangguk. Kulihat matanya sedikit kecewa. Ahhh, itu mungkin hanya penglihatanku saja yang salah. Lalu kuceritakan tentang Hanung.
“Besok kita ke sanggar lukisnya yuk! Kukenalkan kamu dengan Hanung. Dia pasti senang dapat teman baru. Apalagi bule ramah seperti  kamu ,” kulihat dia mengangguk.

Besoknya, seperti rencana semula, kuajak ia ke sanggar lukis milik Hanung yang terletak di komplek kampus. Hanung tampak sibuk memberi pelajaran pada beberapa mahasiswa baru seni rupa.


Patrick tampak antusias bertanya soal lukisan. Dengan semangat pula Hanung menjawabnya. Ketika kutanya kenapa dia begitu tertarik dengan lukisan , dia menjawab bahwa dia telah suka melukis ketika berumur tujuh tahun. Lewat sepuluh tahun, dia tergila-gila dengan sport. Terutama basket. Tidak heran jika tubuhnya atletis.

“Sampai kapan kamu di Yogya?” Tanya Hanung.
“Mungkin sebulan aku di sini.  Liburan semesterku sampai bulan depan. Gara-gara liburan summer  kemarin aku kerja keras sebagai accounting, liburan kali ini kubalas dengan travelling ke Indonesia.”
“Hanung, aku pinjam Ajeng  untuk mengantarku ke Borobudur,” pintanya begitu kami pamit pulang.
“Boleh. Asal dikembalikan yah?” candanya.
Sure,” Patrick mengedipkan matanya lucu.

“Kau seharusnya senang punya pacar seperti Hanung. Aku lihat dia memberi kebebasan penuh buat kamu dapat berteman dan jalan dengan siapa saja.”
“Itu memang kelebihannya tapi sekaligus juga kekurangannya,” keluhku.
What’s happen?”
“Ahhh, sudahlah . Sabtu besok kita jadi ke Borobudur kan? Jangan lupa bawa tustel ,” aku melambaikan tangan. Patrick telah menghilang di gelapnya malam.

“Apa, sabtu besok kamu ke Borobudur dengan bule itu? Apa malamnya kamu nggak ada acara dengan Hanung?” Tanya Dewi, teman sekamarku.
“Ahhh, Hanung mana mau peduli denganku. Lukisannya nomor satu, sedangkan aku hanya nomor kesekian,” keluhku kesal.
“Karena itu kamu sering jalan dengan Patrick? Sebelum Pat, ada juga Jon, Brandon, James turis-turis bule yang memerlukanmu sebagai guide.”
 “Lumayan kan, aku bisa nambah teman, Bahasa Inggris-ku lancar, uang makan terjamin…”
“Ahhh, kamu matre juga!” telakan yang membuatku melotot . Tapi Dewi malah tertawa riuh.
“Kalau bukan matre, apa namanya? Kamu suka bergaul dengan bule –bule itu karena kamu bisa pergi dan makan gratis kan? Itu tidak kamu dapatkan dari Hanung. Karena dia terlalu giat mencari uang untuk biaya hidup dan kuliahnya sendiri di Yogya. Yah, sekali-kali kamu ditraktir makan tapi dibandingkan dengan bule-bule itu, Hanung tidak ada artinya apa-apa.”

Aku terdiam. Lama. Ahhh, sejahat itukah? Sungguh, aku tak pernah menyadarinya.
“Jeng, tolong jaga perasaan Hanung. Aku tahu dia pasti kecewa kamu pergi seenaknya dengan bule-bule itu. Dia tidak pernah melarang karena selama ini dia merasa bersalah tak dapat menemanimu setiap saat karena dia harus bekerja.”
“Itu kulakukan karena aku kecewa selama ini tak pernah kulihat Hanung cemburu. Aku selalu berprasangka Hanung tidak pernah utuh mencintaiku.”
“Tanya itu pada Hanung. Jangan mengambil kesimpulan sendiri,” Dewi menjentik hidungku.
“Ahhh,sudahlah,Wi. Mungkin kamu benar . Walau aku tidak menyadarinya. Walau yang kucari dengan mereka hanya kesenangan belaka…”
“Dan pelarian karena Hanung tidak begitu perhatian padamu?”
Maybe,” kuangkat bahu.
Sorry, Pat, aku nggak bisa ngantar kamu ke Borobudur,” aku tak berani memandang wajahnya. Aku tak ingin melihat kekecewaan di matanya yang biru.
“Kenapa , Jeng?” suaranya begitu sedih.
“Kau lihat aku udah semangat bawa tustel, berbagai camilan dan soft drink dalam ransel,” dia menunjukkan ransel yang bertengger di pundaknya .
Sorry,  kepalaku pusing.”

“Kamu sakit?” Dia menatapku begitu khawatir .
“Kubelikan obat yah?”
Thank’s. Nggak usah. Aku hanya perlu istirahat. Mungkin aku kecapean karena harus  kerja membatik begitu pulang kuliah.”
“Kamu kerja?” dia ternganga. Mungkin dia heran. Dipikirnya aku tipe cewek hura-hura yang hanya memikirkan kesenangan belaka. Tidak heran jika Patrick berpikir begitu. Hampir tiap malam aku menemaninya ke diskotik atau hampir tiap hari mengantarnya shopping atau nongkrong di café.
Baru kusadari aku hanya cewe pemimpi yang melarikan diri dari kenyataan bahwa aku hanya anak petani miskin yang beruntung dapat kuliah dengan  beasiswa. Aku sibuk bergaul dengan bule-bule  yang dapat menunjang kesenanganku hura-hura.
Dewi betul, seharusnya aku memikirkan dan menjaga perasaan Hanung.
“Yah, aku harus kerja. Kau pikir darimana biaya hidupku di Yogya selama ini? Aku kerja serabutan. Guru les privat , guide, pelayan cafe, penjaga toko dan sekarang aku bekerja part time sebagai pembatik.”
I don’t believe,” dia melongo lagi. Aku tersenyum. Walau kurasakan getir.
“Ahhh, sudahlah. Aku masuk dulu. Sorry, aku capek sekali.”
“Istirahatlah, Jeng. Nanti malam aku ke sini yah? Kubawakan bubur ayam hangat. Itu kesukaan kamu kan?”
“Nggak usah. Nanti malam Hanung ke sini,”dustaku. Sekali lagi kutatap matanya yang kecewa. Dia langsung pamit tanpa berkata apa-apa lagi. Kulepas kepergiannya dengan perasaan hampa.

***

“Jeng, aku pamit,” seminggu kemudian Patrick datang. Dandanannya sore ini begitu rapi dengan kemeja corak batik ringan dan celana bahan krem. Kugigit bibirku dengan pedih. Kemeja itu kubelikan di Malioboro.
“Seminggu kita nggak pernah ketemu yah, Jeng, gimana kabarmu?” dia duduk di sampingku.
Suasana kos sore ini terlihat sepi.
“Baik,” hanya itu yang dapat kujawab. Kalau saja dia tahu betapa stressna aku menghadapi persoalan yang datang bertubi-tubi. Hanung yang pulang kampung tanpa pamit karena si Mboknya sakit, adikku yang kirim surat minta dikirimi uang  SPP karena panen Bapak gagal kali ini dan ujian-ujian yang harus kuhadapi di kampus. Rasanya kepalaku ingin pecah.

Bagaimana dapat membantu adikku sedangkan aku telah mengundurkan diri dari pekerjaanku karena aku tidak sanggup kerja sampai malam seperti itu. Dan sekarang Patrick pamit pulang ke Australia.
“Kenapa, Jeng, tubuhmu kurus?” dia memandangku penuh perhatian.  Dengan lesu aku menngeleng.
“Sekiranya ada yang dapat  kubantu?” sekali lagi aku menggeleng.
“Okelah, aku pamit dulu. Besok aku pulang ke Australia. Ini sedikit kenang-kenangan untukmu,” dia menyodorkan bungkusan mungil. Lalu pergi begitu saja tanpa berkata apa-apa lagi.

Dengan hati-hati kubuka bungkusannya. Isinya adalah scraft warna merah muda dengan motif bunga-bunga kecil. Begitu manis. Dan juga minyak wangi dengan aroma lembut. Secarik kertas terjatuh.

Dear, Ajeng.
Aku senang memiliki teman baru seramah kamu. Hari-hariku jadi penuh warna begitu kutahu masih ada gadis cantik yang baik hati seperti kamu. Walau aku kecewa kau telah memiliki Hanung tapi... sudahlah, itu tak penting lagi. Kubawa foto-foto kita, akan kuingat wajaahmu yang cantik dan senyummu yang ramah. Tak kusangka di balik keceriaanmu itu, ternyata kau gadis tegar yang membiayai sendiri hidupmu di Yogya.
Jeng, ada sedikit kenang-kenangan buatmu. Kuberi scarf dan parfum agar aku selalu terkenang akan kelembutanmu.
Selamat tinggal, Jeng. Salam buat Hanung.

Aku tercenung. Rasanya ada yang kehilangan dengan kepergiannya. Tidak pernah kualami dengan bule-bule sebelumnya. Mungkin persahabatan kami yang manis dan tulus telah begitu berkesan di hatiku.
“Selamat tinggal, Patrick,” bisikku samar-samar.

***

“Jeng, ada yang cari kamu tuh,” Wedha menyembulkan kepalanya dari balik pintu ruang On Air.
“Siapa?” kucopot headphone. Kunaikkan tape nomor satu. Tembang Negeri Di Awan milik Katon terdengar manis. Lalu kusiapkan iklan di tape nomor dua.
“Lihatlah ke depan,” jawab Wedha tak sabar.
Bergegas aku ke luar. Di ruang tamu Studio One-Zero kulihat Hanung membaca sebuah buku.
“Hai, kapan datang?” sapaku surprise. Hanung tersenyum. “Tadi pagi aku datang. Aku ke kampus sebentar lalu ke sini.”
“Kok tau aku kerja di sini?” tanyaku dengan nada yang sama. Masih surprise.
“Tau dong. Masak kerja pacar sendiri nggak  tau,” Hanung mengedipkan matanya centil. Aku jadi tersipu-sipu.
“Bagaimana kabar si Mbok?”
“Baik. Beliau udah sembuh. Berkat do’amu juga.” Aku mengangguk-angguk.
 Ikut merasa senang juga.
“Oya, Jeng, nih ada sedikit uang buat bayar SPP adikmu. Kebetulan sebelum pulang kampung, lukisanku terjual.”
“Nggak usah, Nung, udah kukirimkan uangnya kok. Dari hasil honorku ngirim cerpen.”
“Kamu bisa buat cerpen?” tanyanya takjub.
“Apapun kulakukan, Nung. Asal halal kan?” Hanung mengangguk.
Sebelum kuceritakan soal Patrick, Wedha sudah teriak mengatakan bahwa lagu Katon sudah habis.
“Aku siaran dulu yah, Nung.”
“Minta lagu dong, Jeng,” pintanya tiba-tiba.
“Lagu apaan? Aku menghentikan langkahku.
I Will Always Love You-nya Whitney Houston.”
Aku menoleh. Bingung. Tidak nyangka ternyata Hanung bisa romantis juga.
Hanung mengedipkan matanya. Tapi yang jelas, aku bahagiaaaaaa sekali. ©

0 komentar:

Posting Komentar