Kami lagi gossip seru tentang Pak Hengki yang
naksir Bu Aida, ketika Bella menghentikan suapan es krim coklatnya. Matanya
asyik memandangi seseorang yang baru saja masuk. Serempak semua kepala menoleh.
Cowok
itu dengan tenang mengambil tempat duduk di pojok kantin. Tidak dihiraukannya
tatapan-tatapan itu. Dia lalu memesan sesuatu pada pelayan kantin dan begitu
pesanannya dating, dia asyik melahap burger dan coca cola tanpa melihat-lihat
isi kantin. Seakan dia ke situ cuma ingin makan.
Kulirik
diam-diam. Hmmm, manis, mana kelihatannya kalem. Tanda cuek gitu. Boleh juga
nih cowok. Kayaknya tipe setia yang tidak suka melirik cewek-cewek kece.
“Gila
lho, cakep banget.” kali ini Bella bersuara.
“Iya,
manis lagi. Aduuuh, pasti mahasiswa deeh.” seru Dinda sambil curi-curi pandang
kea rah cowok itu.
Cowok
itu Cuma makan dalam waktu sepuluh menit. Setelah membayar makanannya ke kasir kantin
itu, dia pun segera berlalu.
“Net,
kayaknya aku suka cowok itu.” bisik Denise setelah kami keluar dari kantrn
Diaros. Yang lain kayaknya sudah lupa dengan cowok itu. Mereka sudah asyik
ngecengin cowok-cowok yang asyik jalan-jalan di seputar komplek Pasiran yang
terdapat dua buah sekolah SMA, satu sekolah SMP dan sekolah IKIP.
“Kayaknya
dia anak IKIP deh.” kata Denise lagi ketika kami melewati sekolah itu.
“Yaahh,
guru dong, Nis.” ledekku.
“Memang
kalau guru kenapa, enggak keren?” Denis kelihatan marah. Aku Cuma berhihihi.
Denise kalau sudah suka cowok susah melupakannya.
Satu
minggu kemudian. Ketika lagi puyeng-puyengnya latihan matemika, terdengar suara
ketukan.
“Silakan masuk.” suara Pak Gabril yang mengawasi kami terdengar berwibawa. Bu lila yang sedang mengambil cuti hamil tak dapat mengajar kami untuk beberapa bulan. Terpaksa selama ini Pak Gabril yang sok berwibawa itu mengawasi kami terus.
“Pak
Gabril, saya membawa guru pengganti sementara Bu Lila.” Pak Kepala Sekolah
masuk dengan seseorang. Serempak semua kepala menoleh.
Denise
mencubit tanganku, Dinda bengong, Gladish mengucek-ucek matanya seakan tak
percaya. Bella dan Yunita memandangnya tak berkedip. Ya ampun, bukankah itu
cowok yang kami lihat di kantin Diaros seminggu yang lalu?
“Bapak
tinggalkan dulu. Silakan, Pak Adit mulai mengajar.” Pak Kep-Sek keluar diikuti
Pak Gabril. Sepeninggal beliau-beliau, kelas berubah ramai. Tapi tentu saja
yang terbanyak jeritan tertahan cewek-cewek yang histeris melihat wajah dan
penampilan guru baru itu.
“Nama
saya Aditya. Tapi cukup panggil Pak Adit saja. Saya masih kuliah di IKIP
jurusan Matematika. Saya mencoba akan mengajar sebaik-baiknya menggantikan Bu
Lila sementara. Untuk itu saya mohon akan ada kerjasama yang baik antara kita.”
Tuturnya lembut namun tegas. Suaranya simpatik seakan menyihir kami untuk
segera menyetujui kata-katanya.
Denise
sedari tadi diam. Semuanya asyik ngegosip seru tentang anak-anak SMP I. Kulirik
wajahnya yang cantik. Sejak Pak Adit mengajar di SMP I ini. Denise memang
kasmaran berat. Yang dibicarakan cuma soal Pak Adit. Pak Adit yang baik lah,
yang manis lah, pintar, penuh perhatian dan lain-lain sebagainya. Demi Denise,
telingaku kutabahkan untuk mendengar semua pujiannya tentang Pak Adit.
“Eh
kita kompetisi yuuk untuk dapetin Pak Adit?” yunita menghentikan suapan
baksonya. Lalu mengangguk setuju dengan usul Gladish.
“Enggak
bisa! Denise udah naksir duluan. Kita ngalah dong untuk Denise.” Protesku.
“Betul
niihh kamu naksir Pak Adit, Nis?”
“Pantesan
sekarang kamu rajin benget ngerjain PR dan tugas matematika.”
“Yaa
udah kita bantu Denise mendapatkan perhatian Pak Adit. Sori nis, lupain usulku
tadi.” Gladish nyengir.
Pelajaran
matematika berlangsung tertib dan menyenangkan. Cara mengajar Pak Adit yang
enak. Serius tapi tidak kaku. Setiap Pak Adit menyuruh seorang anak maju untuk
mengerjakan soal, mereka menunjuk Denise. Denise yang memang dasarnya jago
matematika dengan mudah mengerjakan soal itu.
Bila ada tugas pasti Denise yang mengurusnya. Seluruh kelas tahu
Denise lagi naksir Pak Adit dan mereka tahu kelima sahabat Denise sedang
membantu Denise. Tidak ada yang protes dan iri karena Denise yang kalem dan
baik hati itu telah memikat hati isi seluruh kelas.
Dua bulan sudah Pak Adit mengajar. Denise terpaksa harus sabar
untuk mendapatkan hati Pak Adit. Pak Adit tetap saja baik dan tidak pernah
membeda-bedakan perhatiannya. Denise sudah setengah putus asa tapi kami tetap
member semangat untuknya.
“Net, menurutmu apakah aku salah jatuh cinta pada guru sendiri?”
Tanya Denise seusai kami belajar kelompok di rumah Dinda. Kebetulan rumahku dan
Denise searah hingga kami pulang bareng dengan jalan kaki.
“Menurutku sah-sah saja kamu jatuh cinta. Cinta itu kan anugerah.
Siapa saja boleh jatuh cinta pun pada siapa saja. Entah pada sahabat, teman
sekelas, teman kakak atau bahkan guru sendiri.” Ujarku so tua.
“Tapi rasanya Pak Adit lebih pantas menjadi abangku. Aku malu.
Baru kelas tiga SMP jatuh cinta segala.”
“Ahh, enggak apa-apa kok, Nis, masak iya anak seusia kita enggak
boleh jatuh cinta? Pokoknya usaha dulu kalau dia enggak menunjukkan perhatian
yang lebih ya udah lupain aja, oke?” Denise mengangguk. Menyetujui usulku.
“Yang penting jangan gara-gara kamu naksir Pak Adit, kamu jadi
acuhin belajar kamu. Ingat lho Nis, empat bulan lagi kita ujian akhir. Kita
harus belajar sungguh-sungguh biar NEM kita semua bagus-bagus, biar masuk SMA
I.” kataku semangat. Denise mengangguk. Seperti membeo saja kata-kataku tadi.
∞ ∞ ∞
RUMAH
Bude
Eti ramai oleh sanak family. Mbak Ratih kelihatan tambah cantik dan wajahnya
berserk-seri menyambut kedatanganku.
“Aduuuhh
Inet, kemana aja sih kamu. Mbak udah kangen nih.” Bertubi-tubi Mbak Ratih
mencium kedua pipiku.
“Sori
mbak, baru sekarang Inet sempat mampir. Habis sibuk belajar untuk menghadapi
Ebtanas.”
Dengan
tidak sabar Mbak Ratih menggandeng tanganku. Ingin cepat-cepat memperkenalkan
aku dengan calon tunangannya.
Haaahh,
Pak Adit? Aku terbengong-bengong. Pak Adit juga memandangiku tak percaya.
“Lhooo
kalian saling kenal?” Tanya Mbak Ratih bingung.
“Aku
mengajar Matematika di sekolahnya, Rat.” Jelas Pak Adit. Aku Cuma mengangguk
saking shock-nya. Aku tak dapat membayangkan
bagaimana reaksi Denise jika mengetahui Pak Adit akan bertunangan dengan Mba
Ratih, sepupuku itu.
Aku
tak mengatakan apa-apa kepada kelima sobat kentalku mengenai rencana
pertunangan mereka beberapa bulan lagi. Apalagi kepada Denise. Aku tak ingin
konsentrasi belajarnya akan terganggu.
Sedikitnya
Denise sudah mencoba melupakan Pak Adit untuk menghimpun konsentrasinya
menghadapi Ebtanas. Walau sekali-kali dia masih membicarakan tentang
perasaannya terhadap Pak Adit.
Semua
wajah tampak berseri-seri. Kami berenam saling berangkulan membentuk sebuah
lingkaran kecil. Kami lulus dengan NEM baik dan yang paling surprise, kami
semua diterima di SMA I.
“Net,
Pak Adit.” Bisik Denise setelah mencoret-coret seragam dengan cat semprot dan
spidol. Aku menoleh mengikuti arah tunjukan Denise.
Siang
ini Pak Adit terlihat santai dengan kaos polo krem dan celana bahan coklat.
Rambutnya dipotong pendek. Wajahnya terlihat berseri-seri. Iya seminggu lagi
mau tunangan, siapa sih yang tidak bahagia?
“Kalian
lulus semua kan? Gimana NEM-nya bagus?” Pak Adit datang menghampiri kami dan
memberi ucapan selamat.
“Lulus
doong!”
“Dapat SMA I.”
“Waaahh
hebat dong.” Pujinya lagi. Dia lalu mengeluarkan sebuah amplop dari tas
kerjanya.
“Kalau
hari minggu besok kalian tidak ada acara kemana-mana, saya minta kalian sudi
datang ke acara pertunangan saya dengan Ratih, sepupu Inet.” Pak Adit melirikku
dengan wajah berseri-seri.
“Haahhh?”
semua terbengong-bengong.mereka setengah tak percaya Pak Adit bakal menjadi
calon saudara sepupuku. Tak sengaja kulihat mata Denise berkaca-kaca.
Setelah
Pak Adit pamit menuju ruang Kep-Sek, semua sobatku menyemprotku dengan cat ke
baju putih-biruku.
“Payah
nih anak. Diam-diam bakal saudara sama Pak Adit.”
“Enggak
bilang-bilang lagi.”
“Dasar
pengkhianat!”
Setelah
berkali-kali aku minta maaf, mereka baru melepaskan semprotan cat itu. Aku baru
sadar ternyata Denise sudah tidak ada bersama kami.
“Dinda,
Denise kemana?” tanyaku panik. Mereka baru sadar juga akhirnya. Lalu segera
kami mencari Denise ke kantin, perpustakaan, WC, aula. Ternyata Denise tengah
melamun di taman belakang depan kolam teratai.
“Nis,
kenapa?” Tanya Bella lembut. Denise mengangkat wajahnya. Matanya terlihat basah.
“Sudah
deh Nis, relain Pak Adit pergi dengan hatimu. Broken heart itu soal biasa. Masih banyak episode-episode cinta
lainnya. Siapa tahu pertemuanmu dengan Pak Adit Cuma sepenggal episode.” Kata
Dinda sok puitis.
“Nanti
di SMA I kita cari lagi cowok kayak Pak Adit, aku yakin deh masih banyak
Adit-Adit yang lain. Yang lebih oke dan sesuai sama kita-kita.” Sambung Yunita.
“Memang
kosmetika, apa?” sambar Gladis jail. Yunita melotot.
Perlahan
mendung di wajah Denise lenyap. Senyumnya tersungging di bibirnya yang mungil.
“Ngomong-ngomong
Pak Adit punya adik cowok enggak Net?” Tanya Gladish serius.
“Ada dua malah. Adel dan Abel. Kembar lho.
Sekolahnya di SMA I.” jawabku semangat.
“Cari
yuukk!”
“Ayuuuk
siapa takut!”
Kami
beriringan pulang. Kami kembali ribut becanda dan ngegosip.
“Betul
Net, Pak Adit punya kembar?” bisik Denise serius seakan tak percaya dengan
informasiku tadi.
“Iyaa
benar. Masak kamu enggak percaya sih….”
“Kenalkan
aku satu yaa Net? Betul lhoo!”
Aku
bengong. Denise sudah melupakan kesedihannya. Dasar cinta anak SMP. Ternyata
cuma cinta monyet belaka. Biar air mata sudah keluar juga, tapi tetap saja
mudah untuk dilupakan. Siapa bilang first
love never dies.
*****
0 komentar:
Posting Komentar