Senin, 22 September 2014

Denise





Kami lagi gossip seru tentang Pak Hengki yang naksir Bu Aida, ketika Bella menghentikan suapan es krim coklatnya. Matanya asyik memandangi seseorang yang baru saja masuk. Serempak semua kepala menoleh.
Cowok itu dengan tenang mengambil tempat duduk di pojok kantin. Tidak dihiraukannya tatapan-tatapan itu. Dia lalu memesan sesuatu pada pelayan kantin dan begitu pesanannya dating, dia asyik melahap burger dan coca cola tanpa melihat-lihat isi kantin. Seakan dia ke situ cuma ingin makan.
Kulirik diam-diam. Hmmm, manis, mana kelihatannya kalem. Tanda cuek gitu. Boleh juga nih cowok. Kayaknya tipe setia yang tidak suka melirik cewek-cewek kece.
“Gila lho, cakep banget.” kali ini Bella bersuara.
“Iya, manis lagi. Aduuuh, pasti mahasiswa deeh.” seru Dinda sambil curi-curi pandang kea rah cowok itu.
Cowok itu Cuma makan dalam waktu sepuluh menit. Setelah membayar makanannya ke kasir kantin itu, dia pun segera berlalu.
“Net, kayaknya aku suka cowok itu.” bisik Denise setelah kami keluar dari kantrn Diaros. Yang lain kayaknya sudah lupa dengan cowok itu. Mereka sudah asyik ngecengin cowok-cowok yang asyik jalan-jalan di seputar komplek Pasiran yang terdapat dua buah sekolah SMA, satu sekolah SMP dan sekolah IKIP.
“Kayaknya dia anak IKIP deh.” kata Denise lagi ketika kami melewati sekolah itu.
“Yaahh, guru dong, Nis.” ledekku.
“Memang kalau guru kenapa, enggak keren?” Denis kelihatan marah. Aku Cuma berhihihi. Denise kalau sudah suka cowok susah melupakannya.
Satu minggu kemudian. Ketika lagi puyeng-puyengnya latihan matemika, terdengar suara ketukan.

“Silakan masuk.” suara Pak Gabril yang mengawasi kami terdengar berwibawa. Bu lila yang sedang mengambil cuti hamil tak dapat mengajar kami untuk beberapa bulan. Terpaksa selama ini Pak Gabril yang sok berwibawa itu mengawasi kami terus.
“Pak Gabril, saya membawa guru pengganti sementara Bu Lila.” Pak Kepala Sekolah masuk dengan seseorang. Serempak semua kepala menoleh.
Denise mencubit tanganku, Dinda bengong, Gladish mengucek-ucek matanya seakan tak percaya. Bella dan Yunita memandangnya tak berkedip. Ya ampun, bukankah itu cowok yang kami lihat di kantin Diaros seminggu yang lalu?
“Bapak tinggalkan dulu. Silakan, Pak Adit mulai mengajar.” Pak Kep-Sek keluar diikuti Pak Gabril. Sepeninggal beliau-beliau, kelas berubah ramai. Tapi tentu saja yang terbanyak jeritan tertahan cewek-cewek yang histeris melihat wajah dan penampilan guru baru itu.
“Nama saya Aditya. Tapi cukup panggil Pak Adit saja. Saya masih kuliah di IKIP jurusan Matematika. Saya mencoba akan mengajar sebaik-baiknya menggantikan Bu Lila sementara. Untuk itu saya mohon akan ada kerjasama yang baik antara kita.” Tuturnya lembut namun tegas. Suaranya simpatik seakan menyihir kami untuk segera menyetujui kata-katanya.
Denise sedari tadi diam. Semuanya asyik ngegosip seru tentang anak-anak SMP I. Kulirik wajahnya yang cantik. Sejak Pak Adit mengajar di SMP I ini. Denise memang kasmaran berat. Yang dibicarakan cuma soal Pak Adit. Pak Adit yang baik lah, yang manis lah, pintar, penuh perhatian dan lain-lain sebagainya. Demi Denise, telingaku kutabahkan untuk mendengar semua pujiannya tentang Pak Adit.
“Eh kita kompetisi yuuk untuk dapetin Pak Adit?” yunita menghentikan suapan baksonya. Lalu mengangguk setuju dengan usul Gladish.
“Enggak bisa! Denise udah naksir duluan. Kita ngalah dong untuk Denise.” Protesku.
“Betul niihh kamu naksir Pak Adit, Nis?”
“Pantesan sekarang kamu rajin benget ngerjain PR dan tugas matematika.”
“Yaa udah kita bantu Denise mendapatkan perhatian Pak Adit. Sori nis, lupain usulku tadi.” Gladish nyengir.
Pelajaran matematika berlangsung tertib dan menyenangkan. Cara mengajar Pak Adit yang enak. Serius tapi tidak kaku. Setiap Pak Adit menyuruh seorang anak maju untuk mengerjakan soal, mereka menunjuk Denise. Denise yang memang dasarnya jago matematika dengan mudah mengerjakan soal itu.
Bila ada tugas pasti Denise yang mengurusnya. Seluruh kelas tahu Denise lagi naksir Pak Adit dan mereka tahu kelima sahabat Denise sedang membantu Denise. Tidak ada yang protes dan iri karena Denise yang kalem dan baik hati itu telah memikat hati isi seluruh kelas.
Dua bulan sudah Pak Adit mengajar. Denise terpaksa harus sabar untuk mendapatkan hati Pak Adit. Pak Adit tetap saja baik dan tidak pernah membeda-bedakan perhatiannya. Denise sudah setengah putus asa tapi kami tetap member semangat untuknya.
“Net, menurutmu apakah aku salah jatuh cinta pada guru sendiri?” Tanya Denise seusai kami belajar kelompok di rumah Dinda. Kebetulan rumahku dan Denise searah hingga kami pulang bareng dengan jalan kaki.
“Menurutku sah-sah saja kamu jatuh cinta. Cinta itu kan anugerah. Siapa saja boleh jatuh cinta pun pada siapa saja. Entah pada sahabat, teman sekelas, teman kakak atau bahkan guru sendiri.” Ujarku so tua.
“Tapi rasanya Pak Adit lebih pantas menjadi abangku. Aku malu. Baru kelas tiga SMP jatuh cinta segala.”
“Ahh, enggak apa-apa kok, Nis, masak iya anak seusia kita enggak boleh jatuh cinta? Pokoknya usaha dulu kalau dia enggak menunjukkan perhatian yang lebih ya udah lupain aja, oke?” Denise mengangguk. Menyetujui usulku.
“Yang penting jangan gara-gara kamu naksir Pak Adit, kamu jadi acuhin belajar kamu. Ingat lho Nis, empat bulan lagi kita ujian akhir. Kita harus belajar sungguh-sungguh biar NEM kita semua bagus-bagus, biar masuk SMA I.” kataku semangat. Denise mengangguk. Seperti membeo saja kata-kataku tadi.

∞ ∞ ∞

RUMAH Bude Eti ramai oleh sanak family. Mbak Ratih kelihatan tambah cantik dan wajahnya berserk-seri menyambut kedatanganku.
“Aduuuhh Inet, kemana aja sih kamu. Mbak udah kangen nih.” Bertubi-tubi Mbak Ratih mencium kedua pipiku.
“Sori mbak, baru sekarang Inet sempat mampir. Habis sibuk belajar untuk menghadapi Ebtanas.”
Dengan tidak sabar Mbak Ratih menggandeng tanganku. Ingin cepat-cepat memperkenalkan aku dengan calon tunangannya.
Haaahh, Pak Adit? Aku terbengong-bengong. Pak Adit juga memandangiku tak percaya.
“Lhooo kalian saling kenal?” Tanya Mbak Ratih bingung.
“Aku mengajar Matematika di sekolahnya, Rat.” Jelas Pak Adit. Aku Cuma mengangguk saking shock-nya. Aku tak dapat membayangkan bagaimana reaksi Denise jika mengetahui Pak Adit akan bertunangan dengan Mba Ratih, sepupuku itu.
Aku tak mengatakan apa-apa kepada kelima sobat kentalku mengenai rencana pertunangan mereka beberapa bulan lagi. Apalagi kepada Denise. Aku tak ingin konsentrasi belajarnya akan terganggu.
Sedikitnya Denise sudah mencoba melupakan Pak Adit untuk menghimpun konsentrasinya menghadapi Ebtanas. Walau sekali-kali dia masih membicarakan tentang perasaannya terhadap Pak Adit.
Semua wajah tampak berseri-seri. Kami berenam saling berangkulan membentuk sebuah lingkaran kecil. Kami lulus dengan NEM baik dan yang paling surprise, kami semua diterima di SMA I.
“Net, Pak Adit.” Bisik Denise setelah mencoret-coret seragam dengan cat semprot dan spidol. Aku menoleh mengikuti arah tunjukan Denise.
Siang ini Pak Adit terlihat santai dengan kaos polo krem dan celana bahan coklat. Rambutnya dipotong pendek. Wajahnya terlihat berseri-seri. Iya seminggu lagi mau tunangan, siapa sih yang tidak bahagia?
“Kalian lulus semua kan? Gimana NEM-nya bagus?” Pak Adit datang menghampiri kami dan memberi ucapan selamat.
“Lulus doong!”

“Dapat SMA I.”
“Waaahh hebat dong.” Pujinya lagi. Dia lalu mengeluarkan sebuah amplop dari tas kerjanya.
“Kalau hari minggu besok kalian tidak ada acara kemana-mana, saya minta kalian sudi datang ke acara pertunangan saya dengan Ratih, sepupu Inet.” Pak Adit melirikku dengan wajah berseri-seri.
“Haahhh?” semua terbengong-bengong.mereka setengah tak percaya Pak Adit bakal menjadi calon saudara sepupuku. Tak sengaja kulihat mata Denise berkaca-kaca.
Setelah Pak Adit pamit menuju ruang Kep-Sek, semua sobatku menyemprotku dengan cat ke baju putih-biruku.
“Payah nih anak. Diam-diam bakal saudara sama Pak Adit.”
“Enggak bilang-bilang lagi.”
“Dasar pengkhianat!”
Setelah berkali-kali aku minta maaf, mereka baru melepaskan semprotan cat itu. Aku baru sadar ternyata Denise sudah tidak ada bersama kami.
“Dinda, Denise kemana?” tanyaku panik. Mereka baru sadar juga akhirnya. Lalu segera kami mencari Denise ke kantin, perpustakaan, WC, aula. Ternyata Denise tengah melamun di taman belakang depan kolam teratai.
“Nis, kenapa?” Tanya Bella lembut. Denise mengangkat wajahnya. Matanya terlihat  basah.
“Sudah deh Nis, relain Pak Adit pergi dengan hatimu. Broken heart itu soal biasa. Masih banyak episode-episode cinta lainnya. Siapa tahu pertemuanmu dengan Pak Adit Cuma sepenggal episode.” Kata Dinda sok puitis.
“Nanti di SMA I kita cari lagi cowok kayak Pak Adit, aku yakin deh masih banyak Adit-Adit yang lain. Yang lebih oke dan sesuai sama kita-kita.” Sambung Yunita.
“Memang kosmetika, apa?” sambar Gladis jail. Yunita melotot.










“Sudah Denise sayang, hapus air matamu. Kecantikan diwajahmu akan hilang, Dik.” Gurau Bella.
Perlahan mendung di wajah Denise lenyap. Senyumnya tersungging di bibirnya yang mungil.
“Ngomong-ngomong Pak Adit punya adik cowok enggak Net?” Tanya Gladish serius.
 “Ada dua malah. Adel dan Abel. Kembar lho. Sekolahnya di SMA I.” jawabku semangat.
“Cari yuukk!”
“Ayuuuk siapa takut!”
Kami beriringan pulang. Kami kembali ribut becanda dan ngegosip.
“Betul Net, Pak Adit punya kembar?” bisik Denise serius seakan tak percaya dengan informasiku tadi.
“Iyaa benar. Masak kamu enggak percaya sih….”
“Kenalkan aku satu yaa Net? Betul lhoo!”

Aku bengong. Denise sudah melupakan kesedihannya. Dasar cinta anak SMP. Ternyata cuma cinta monyet belaka. Biar air mata sudah keluar juga, tapi tetap saja mudah untuk dilupakan. Siapa bilang first love never dies.


*****

0 komentar:

Posting Komentar