Kamis, 18 September 2014

Misteri Hutan Kecil





Dari jendela perpustakaan, Riris melihat seorang cowok duduk di bawah pohon beringin dekat hutan kecil itu, tengah memandangnya dengan tatapan sedih dan menusuk hati. Siapa sebenarnya cowok itu?

Riris mendekap diktatnya erat-erat. Menatap arloji mungilnya di pergelangan tangan. Jam sembilan malam. Perasaan jadi ngga enak. Semalam ini dia masih berkeliaran di kampus. Gara-gara dia harus mengopi buku Pak Ibrahim di Kopma yang tutup jam setengah sembilan malam. Salahnya juga. Kenapa bolos dua kali jam kuliah Pak Ibrahim. Hingga dia ketinggalan catatan dengan teman-teman kuliah lainnya. Untung saja Pak Ibrahim berbaik hati meminjamkan bukunya pada Riris.
“tapi kembalikan malam ini juga yah, Ris.” Pinta Pak Ibrahim. Riris mengiyakan saja. Sialnya, dia lupa meminta Keni menunggunya.
Hal yang paling ditakuti adalah melewati hutan kecil menuju jala raya. Nggak ada jalan lain. Riris bergidik. Membayangkan dia berjalan dalam kegelapan dalam hutan ini.
Sejak tahun 1988 kampus ini pindah di daerah pinggiran. Sebelumnya berada di pusat kota. Lama-lama tempat itu nggak cocok untuk tempat belajar. Akhirnya kampus ini pidah ke daerah pinggiran yang masih asri.
Riris celingak-celinguk sebelum memasuki hutan itu. berharap masih ada mahasiswa lain yang pulangnya kemalaman seperti dia. tapi nggak ada siapa-siapa lagi.
Riris membaca doa dalam hati. Mencoba menenangkan hatinya. Sebetulnya dia bukan penakut. Tapi berjalan sendiri di hutan ini. Ihh... Riris bergidik lagi. Ngeri!
Dia berjalan cepat-cepat. Tas ranselnya terayun-ayun mengikuti gerak tubuhnya. Riris panik. Membayangkan dia bertemu dengan makhluk-makhluk halus. Ihh...
“halo”
Ada suara menyapanya. Riris berhenti. Memasang telinganya baik-baik. Dia takut itu Cuma halusinya semata.
“halo, halo...”
Riris lemas. Kayaknya nggak ada siapa-siapa. Tapi dari mana suara itu datang. Riris berjalan lagi. Lebih cepat.
“Non, tunggu!” suara-suara langkah memburunya. Riris makin panik. Dipercepat langkahnya. Napasnya tersengal-sengal. Sialnya, jalan raya masih jauh! Sebuah tangan menarik ranselnya. Riris menjerit. Tubuhnya semakin lemah. Jantungnya bergerak lebih cepat. Ohh, Tuhan, tolong...! Dia sibuk berdoa.
“jangan takut,” sebuah suara berat terdengar. Riris memberanikan diri mengangkat wajahnya. Sosok itu tinggi menjulang. Tapi bukan hantu. Seorang cowok tengah memamerkan senyum termanisnya.
“sori yah aku udah bikin kamu takut. Aku Ben. Anak teknik. Aku Cuma mau bilang kalo kamu salah. Ini bukan menuju jalan raya. Tapi Rektorat. Kamu nggak ada urusan ke sana kan malam-malam gini?”
Riris tersipu malu. Aduuuh, saking paniknya!
“oke, kita jalan bareng, yuk. Sambil ngobrol,” cowok itu berjalan di sisinya. Perasaan Riris jadi tenang.  Walau dia nggak kenal cowok itu, tapi seenggaknya dia punya teman pulang.
“kamu kok baru pulang sih?” cowok itu membuka percakapan.
“aku anak D3 Fisip. Biasanya sih pulang kuliah paling telat jam delapan malam. Cuma aku harus ngopi dulu buku dosenku. Akhirnya jadi kemalaman. Kamu sendiri?”
“pulang tugas siaran di radio anak-anak teknik. Biasanya sih nginep di studio. Cuman malam ini aku harus ngerjain tugas gambar.”
“jadi kamu kos dong?”
“iya. Di Gober. Kamu sendiri?”
“Di Khairunnisa. Dekat stasiun Pondok Cina.”
“kamu tidur di stasiun?”
Riris tersenyum. Nih cowok ngocol juga.
“tadi kamu bilang foto copy buku dosen kamu. Berarti kamu sering bolos dong.”
“yah, abis gimana yah? Keadaan yang memaksa begitu. Aku kerja part time. Sebagai apa saja, stan guide, guru les privat, penjaga toko bahkan baby sister dikeluarga bule pernah aku jalanin.
Sekarang aku kerja di butik. Abis gimana yah, sebetulnya bapakku nggak sanggup biayain aku kuliah. Cuma aku yang ngotot pengen kuliah. Bapak bilang aku boleh kuliah asal bisa bayar uang kuliah sendiri. yah, terpaksa segala pekerjaan aku jalanin. Asal halal. Buktinya sampe semester tiga ini kuliah ku lancar-lancar saja,” ada rasa bangga dalam suara tersebut.
Ben memandang kagum gadis mungil disampingnya. Keliatannya sih gadis itu lemah. Tapi buktinya? Ben geleng-geleng kepala. Takjub.
“kamu sendiri?” Riris mengangkat wajahnya. Menatap Ben.
“ahhh, hidup kamu jauh lebih beruntung, Ris.” Desah Ben. Pandangannya menerawang. Menembus pekatnya malam.
“Ben, bukan bermaksud aku ikut campur. Kalo kamu gak mo cerita nggak apa apa kok.”
“nggak apa apa kok. Sebetulnya udah lama aku pengen punya teman ngobrol cewek. Abis gimana yah cewek itu kan lebih care. Tapi nyari temen cewek di teknik susah! Kalo pun ada pasti udah punya cowok.”
“yah udah. Anggap aja aku temen kamu.”
“kamu mau?” sepasang mata teduh itu berbinar, Riris menelan ludahnya. Cowok ini pasti sangat membutuhkan teman bicara.
“aku korban broken home. Ortu cerai sejak aku lulus SMA. Sebetulnya aku nggak minat kuliah. Buat apa. Toh mereka juga gak berharap aku jadi orang. Tapi bokap maksa. Malah ngancam akan mengusirku dari rumahnya. Terpaksa aku kuliah. Daripada aku jadi gelandangan. Tapi aku sering bolos. Sebetulnya aku nggak minat kuliah di teknik. Bokap yang maksain. Katanya biar perusahaan desain graphis-nya jatuh ketanganku. Tapi aku nggak peduli. Kuliah bagiku Cuma pelarian. Biar aku bebas dari rumah.”
Ben menghentikan ceritanya. Riris menunggunya dengan sabar. Angin berhembus kencang. Riris merasa dingin. Dirapatkan kerah sweaternya.
“dingin? Nih pake aja jaketku.” Ben telah menyodorkan jaket jeansnya. Riris nggak tega nolak. Wangi parfum khas cowok menyergap hidungnya. Macho. Semacho penampilannya.
“aku sering nongkrong di cafe-cafe. Disitu aku kenalan dengan anak-anak yang nasibnya nggak beda denganku. Mereka ngenalin aku dengan sesuatu yang bisa membuatku melupakan penderitaanku. Membuatku nyaman. Aku seperti melayang-layang. Ringan. Bebanku seperti lenyap. Aku bisa tertawa-tawa bahagia.”
“Ben, kamu ngedrugs?” tanya Riris hati-hati.
“yah, ngga ada cara lain menghentikan kesedihan itu, Ris. Aku frustasi. Aku seperti nggak berarti apa-apa.”
“sebetulnya kamu pengen kuliah dimana?”
“Aku seneng banget gambar. Aku udah di terima di ASRI Yogya. Aku pengen jadi seniman. Punya sanggar lukis sendiri. Tapi Bapak telah merusak impian itu. katanya, jadi seniman adalah hidup sia-sia. Cuma merusak nama ningrat keluarga Bapak.”
“ibumu?”
“dia udah punya keluarga sendiri. dari dulu ibu nggak tahan sama keluarga bapak yang terlalu membanggakan keningratannya. Aku sendiri heran. Di zaman yang udah semodern ini darah biru masih aja merupakan kebanggaan. Bagiku derajat manusia sama aja dimata Tuhan. Yang penting bagaimana dia menjalakan kehidupannya.”
“tapi kamu nggak pernah ngedrugs lagi kan?” tanya Riris. Hati-hati lagi. Takut menyinggung perasaan Ben.
“Kadang kala, Ris. Kalo aku lagi suntuk. Nggak tau mau ngapain.”
“kenapa nggak berdoa aja? Atau sholat?”
Ben tercenung. Lama.
“udah lama banget aku nggak pernah sholat, Ris. Paking kalo lebaran aja. Itupun sholat sendiri-sendiri. nggak pernah berangkat dan pulang bareng. Kalo lebaran aku malah sedih. Kapan keluargaku bakal rukun?”
“kenapa nggak kamu yang merukunkan mereka. Kamu malah melarikan persoalan kamu dengan ngedrugs. Apa dengan ngedrugs keluargamu bakal rukun kembali? Nggak kan? Sorry lho, Ben, bukan maksudku sok menggurui kamu.”
“tapi seenggak-nggaknya dengan itu aku bisa melupakan persoalan sebentar.
“iya, Cuma sebentar. Setelah kamu sadar lagi, persoalan itu masih terus saja ada.”
Ben mengangguk. Menyetujui pendapat Riris. Baru kali ini pemikirannya terbuka. “Thanks Ris. Aku sadar apa yang aku lakukan nggak akan mengubah keadaan. Malah bertambah kacau.”
“kamu janji nggak akan mengulanginya lagi?” tanya Riris berdebar-debar.
“aku janji, Ris. Demi kamu.”
Hati Riris berbunga-bunga. Langkahnya semakin ringan. Kayaknya udah lama dia mengenal Ben. Mereka ngobrol lagi. Yang ringan-ringan saja.
“udah sampe nih Ris. Kamu naik apa?”
“taksi aja deh. Abis udah malem sih. Kamu sih enak. Udah nyampe di kos?”
Ben mengangguk. Menunjukkan rumah bertingkat bercat putih. Kos khusus cowok.
“oya, nih jaketnya. Entar kelupaan lagi. Thanks yah.,” Riris melepas jaket jeans milik Ben.
Mereka berpisah. Riris merasa berat. Seandainya mereka bisa ngobrol lebih lama lagi. Ahhh, belom tentu tentu mereka ketemu lagi. Riris menyesal. Kenapa nggak ngasih nomor telepo kostnya?
Ketika Riris menoleh untuk memanggil Ben. Ben udah nggak keliatan lagi. Cowok itu menghilang! Secepat itu?

...

“Pulangnya buruan, yuk. Udah malem nih,” Keni menatap cemas jam Guess-nya.
“tenang deh, Ken. Ngga ada apa-apa kok,” Riris merapikan alat-alat tulisnya. Dimasukkan ke tas ranselnya.
“Ah, sok tahu lo,” Keni manyun. Diikuti langkah Riris keluar dari kelas mereka. Anak-anak yang lain udah bergegas pulang. Kebanyakan mereka nebeng dengan anak yang bawa mobil. Atau setia nunggu bis kampus yang akan lewat.
Tapi banyak juga yang memilih lewat hutan kecil itu. lebih cepat ke jalan raya. Setelah baru naik bis. “seminggu yang lalu gue malah kenalan ama anak teknik. Keren deh anaknya. Kayak Atalarik. Lo tau kan?”
“Atalarik kek, Brad Pitt kek, emang gue pikirin. Jalannya yang cepet dong, Ris, tuh kita ketinggalan jauh ama yang lainnya.”
“aduuh, Keni. Penakut amat sih. Percaya deh ama gue. Nggak ada apa-apa. Gue malah kenalan ama duplikat Atalarik itu. Namanya Ben.”
“Ris, lo sih nggak tau gosip yang beredar di kampus ini. Lo sibuk kerja sih jadinya nggak tau kan gosip terbarunya anak-anak?” tanya Keni tanpa memperdulikan omongan Riris.
“apaan sih, Ken? Paling-paling gosipnya Pak Hengki yang naksir Bu Lita. Atau Citra yang putus sama Emir. Ahhh, kalo Cuma itu sih bosen. Gosip nggak bermutu.”
“namanya juga gosip. Mana ada yang bermutu sih? Masalahnya bukan itu, Ris. Tapi kalo gue ceria lo juga bakal nggak percaya. Lagian gue takut cerita yang serem-serem di tempat seperti ini.”
“Ooo... jadi cerita serem nih?” tanya Riris cuek. Tanpa memperdulikan wajah Keni yang udah pucat.
“Ahhh, udah deh nggak usah dibahas. Gue takut kalo gue cerita besok lo nggak mo pulang lagi. Malah ngumpet aja di kelas.”
“emangnya gue kayak loe,” balas Riris nggak mo kalah. Keni diam aja.
“Dua hari yang lalu Putri shock lewat sini. Tapi dia nggak mo cerita.”
“trus gosip seremnya apaan dong?” tanya Riris penasaran.
“kan udah gue bilang, gue nggak mo cerita di sini. Entar-entar aja kalo gue udah berani lewat sini sendirian.”
“yah, sampe kapan dong?” lama-lama Riris jengkel juga. mo cerita aja sush amat.
“besok lo nanya aja ama anak-anak yang lain. Uff, utung udah nyampe deh! Mendigan mulai besok gue minta Hang jemput gue aja deh.”
“gue pulang sendirian dong?”
“lho, katanya lo berani?”
Riris cemberut. Mana enak pulang sendiri. mending kalo ketemu Ben. Riris jadi ingat cowok itu. dia udah nggak ketemu cowok itu lagi. Mungkin hampir tiap malam cowok itu nginep di studio.

...

“cowok itu emang cakep sih. Tapi kalau dia tersenyum, ihh... dingiin banget. Perasaan gue jadi nggak enak. Gue buru-buru kabur aja,” cerita Mitha di kantin.
Riris menikmati nasi gorengnya cuek. Pagi ini mereka ada kuliah. Menggantikan jam kuliah Pak Ibrahim yang berhalangan hadir tiga hari yang lalu. Terpaksa Riris minta ijin Mbak Risa, penanggung jawab butik itu. abis dia nggak boleh bolos lebih dari dua kali.
“gue juga sering ngeliat dia nongkrong di Balsem. Kayaknya sih bukan anak Fisip. Tapi dia kok demen banget disitu,” Sasa menimpali cerita Mitha.
“orangnya kayak gimana?” tanya Putri tertarik.
“jangkung, putih, wangi... pokoknya keren deh. Kayak foto model,” jelas Mitha.
“kayak atalarik?” bisik Sasa.
Riris mengangkat wajahnya. Siapa... Atalarik? Berarti Ben dong. Ben juga mirip-mirip Atalarik. Wah, gawat kalo mereka udah ketemu Ben. Ben bakal jadi rebutan!
“kita waktu itu ngobrol-ngobrol. Kasian deh. Dia korban broken home. Dia dipaksa kuliah disini padahal dia nggak minat. Waktu gue nanya nomor telepon rumahnya biar komunikasi terus berlanjut, dia nggak mo kasih. Begitu juga waktu gue kasih nomer telepon gue, dia cepet-cepet pergi. Tingkahnya aneh banget. Trus, ilangnya itu cepeeeet banget. Gue jadi curiga deh. Jangan-jangan dia...”
“udah, udah! Lo jangan nyebarin gosip dong, Mit! Gue kan jadi takut pulang lewat hutan itu,” Sasa merapat ke tubuh Riris.
Kepala Riris jadi pusing. Gosip? Gosip apaan sih? Banyak banget sih gosip yang beredar di kampus ini?
“mit, cerita dong,” pinta Riris serius.
Mitha menoleh ke Sasa. Tapi Sasa menggeleng. “jangan deh, please... hari ini gue kuliah sampe malem nih. Sopir gue nggak jemput lagi. Terpaksa gue naik Bis. Dan mo nggak mo gue kudu lewat jalan hutan itu,” keluh Sasa sambil narik napas panjang-panjang.
“ya, udah deh, kalo nggak mo cerita. Gue pusing nebak-nebak gosip yang beredar di kampus ini. Mendingan gue ke perpus aja. Ada buku yang mo gue pinjem.” Riris berdiri mo bayar makanannya ke ibu kantin.
Dengan santai Riris masuk ke perpus. Tumben sepi. Biasanya jam segini banyak yang baca buku di sini. Sebelum menuju rak buku perbankan, iseng-iseng Riris menjangkau koran ‘Gema Kampus’ milik anak-anak Fisip yang terbit seminggu sekali. baru kali ini ia sempat baca. Biasanya sih nggak pernah ketinggalan. Riris menelusuri satu per satu artikel-artikel yang ada di ‘Gema Kampus’. tiba-tiba matanya melotot. Dibawah kiri, ada artikel kecil. Plus sebuah foto keren. Riris seperti kenal dengan wajah keren ini. Ben...

Seminggu yang lalu ditemukan seorang cowok tewas tertabrak kereta api di jalur rel kereta api depan hutan kecil, dekat kampus Fisip pada pukul enam pagi. Walau beberapa saksi mata telah memperingati cowok itu supaya tidak menyebrang. Tapi sepertinya cowok itu tidak sadar diri. Diduga dia abis ngedrugs...

Riris melihat tanggalnya. Tanggal 17, berarti kejadiannya tanggal 10. Tepat malamnya ia bertemu dengan Ben. Kenalan, ngobrol-ngobrol... ih, Riris merinding.
Tiba-tiba matanya berkunang-kunang. Riris menjerit. Dari jendela perpus, dia melihat seorang cowok tengah duduk di bawah pohon beringin, dekat hutan kecil itu. tengah memandangnya dengan tatapan sedih dan menusuk hati. Dia mengenakan jaket jeans yang seminggu lalu Riris meminjamnya. Riris seperti mencium wangi parfum cowok itu yang macho.
Riris yakin cowok itu adalah.... Ben!


***

0 komentar:

Posting Komentar